Mohon tunggu...
Arie Saptaji
Arie Saptaji Mohon Tunggu... -

Penulis serabutan, peternak teri, dan tukang nonton. Ia juga aktif menerjemahkan, menyunting naskah, mengerjakan ghostwriting, dan mengadakan pelatihan menulis dengan metode ART. Untuk bekerja sama, silakan menghubungi ariesaptaji@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jangan Menjual Motor Rusak

8 Desember 2011   11:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:40 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Enggak jadi dijual motornya, Pak?” tanya montir seusai mengerjakan servis motorku.

“Enggak, Mas,” jawabku.

Rupanya ia masih ingat rencanaku akan menjual motor itu beberapa waktu lalu.

Sudah lebih dari lima belas tahun motor ini menemaniku. Sejak aku masih lajang sampai sekarang beranak dua. Menelusuri jalan-jalan dan lorong-lorong kota Jogja. Siang, malam. Hujan, panas. Seingatku ia pernah dua kali tabrakan, tapi dua-duanya ketika bukan aku yang mengendarainya. Kadang juga bocor ban atau kehabisan bensin di tengah jalan atau macet karena businya kotor. Selebihnya hubungan kami manis dan harmonis.

Bagaimanapun, lama kelamaan ia makin ringkih. Bantalan joknya mengeras meski sudah dua kali kuganti. Sudah tidak nyaman untuk berboncengan berempat, apalagi saat anak-anak bukan balita lagi. Ada rencana hendak menjualnya, untuk modal beli yang baru, paling tidak yang lebih kokoh. Rencana tinggal rencana karena rezeki belum kunjung mampir.

“Tidak usah dijual saja, Pak. Dipakai sampai rusak,” kata montir itu.

Aku meneleng tertarik.

“Saya juga ada satu motor bekas di rumah,” lanjutnya. “Sudah rusak. Saya biarkan saja. Untuk menghormati. Hitung-hitung ‘kan sudah berjasa juga.”

Apa? Montir ini menghargai jasa motornya?

Aku memang bukan perawat motor yang baik. Tetapi pikiranku melintas ke arah lain: Bagaimana dengan—merawat hubungan? Apakah aku cukup menghormati orang yang menyertaiku dalam suka dan duka? Ataukah aku memperlakukannya serupa dengan barang: manis saat masih berguna, dan siap-siap menyingkirkannya ketika hubungan itu berbalik jadi merepotkan?

Sore itu langit mendung, tetapi tampaknya tidak akan segera turun hujan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun