Mohon tunggu...
Arie Saptaji
Arie Saptaji Mohon Tunggu... -

Penulis serabutan, peternak teri, dan tukang nonton. Ia juga aktif menerjemahkan, menyunting naskah, mengerjakan ghostwriting, dan mengadakan pelatihan menulis dengan metode ART. Untuk bekerja sama, silakan menghubungi ariesaptaji@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Di Balik Fenomena Crop Circle: Bukan Masalah Ada atau Tidak Ada

24 Januari 2011   23:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:13 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anda ingat Contact? Novel laris Carl Sagan yang kemudian diangkat ke layar perak ini merupakan salah satu upaya serius dan menonjol untuk menjelaskan kemungkinan adanya peradaban lain di luar bumi. Pakar astronomi yang pernah meraih Pulitzer itu melukiskan betapa besar skala pekerjaan mencari apa yang diyakini sebagai ET (Extra-Terrestrial). Sebuah pekerjaan yang bukan saja memerlukan keahlian, namun juga biaya raksasa.

Dalam kenyataannya, ilmu pengetahuan memang telah berusaha mengumpulkan data dari penjelajahan ke ruang angkasa. Tahun 1997 Pathfinder berhasil mendarat di Mars dan memancarkan citra-citra permukaan planet merah itu ke bumi. Pesawat ruang angkasa Galileo juga terus beredar mengamati planet Yupiter dan bulan-bulannya. Betapapun, sejauh ini tanda-tanda kehidupan belum terdeteksi.

Di kalangan yang lebih luas, kehausan orang dapat terlihat pada maraknya perhatian terhadap unidentified flying objects (UFO) dan alien. Buku-buku, film, acara teve, situs internet dan pernik-pernik yang berkaitan dengan UFO dan makhluk luar angkasa terus bermunculan. Belakangan, di Indonesia pun telah terbit majalah yang khusus mengulas soal UFO.

Dan, Senin (24/1), Indonesia digegerkan oleh munculnya crop circle di persawahan Jogotirto, Berbah, Sleman, Yogyakarta. Fenomena crop circle dipercaya sebagian orang sebagai petunjuk kunjungan alien. Begitukah?

***

Tingginya minat masyarakat ini menunjukkan kehausan kita untuk mengetahui, apakah manusia bumi hidup sendiri di jagat raya ini. Bila dicermati, pertanyaan tentang ada tidaknya makhluk luar angkasa serta bagaimana dampaknya bagi penghuni bumi bukanlah sekadar sebuah kemelitan ilmiah. Ilmu pengetahuan mungkin bisa membantu memberikan jawabannya, namun pertanyaan itu sendiri telah merambah ke dalam ranah filsafat ketuhanan.

Mengambil contoh kasus novel Contact tadi, yang disodorkan oleh ilmuwan humanis tersebut lebih dari sekadar fiksi ilmiah. Ann Druyan, janda Carl Sagan (Carl meninggal tahun 1996), menjelaskan latar belakang penulisan novel tersebut. “Saya dan Carl memimpikan menulis fiksi yang dapat menggambarkan bagaimana kiranya perjumpaan dengan makhluk cerdas dari luar angkasa itu, sesuatu yang akan menyingkapkan sebagian dari kemegahan alam yang sebenarnya. Namun, karya itu juga akan mengungkapkan ketegangan antara agama dan ilmu pengetahuan, sesuai dengan minat kami terhadap filsafat dan intelektualitas.”

Penyelidikan ET, dengan demikian, adalah sebuah pergumulan filsafat dan intelektual. Dalam ranah ini, pertanyaan yang lebih esensial bukan sekadar ada tidaknya makhluk itu, melainkan bagaimana presuposisi kita terhadap umat manusia dan alam semesta ini. Lebih lanjut, bagaimana pula dampak cara pandang tersebut bagi kehidupan kita.

***

Dalam Cosmos, buku nonfiksinya yang tak kalah laris, Sagan antara lain menguraikan penolakannya terhadap gagasan penciptaan alam semesta. Ia menggarisbawahi pendapat seorang filsuf India tentang kemustahilan penciptaan. “Beberapa orang bodoh menyatakan, bahwa Sang Pencipta menjadikan dunia ini. Ajaran, bahwa dunia ini diciptakan, adalah kekeliruan yang seharusnya disangkal. Kalau Tuhan menciptakan dunia, di manakah Ia sebelum dunia dijadikan?... Bagaimana mungkin Tuhan menciptakan dunia ini tanpa bahan mentah apapun? Kalau Anda mengatakan, Ia membuat ‘anu’ dulu sebelum menciptakan dunia, Anda akan terus mundur tanpa ujung pangkal.... Ketahuilah, bahwa dunia ini tidak diciptakan, sebagaimana halnya waktu, tanpa awal dan tanpa akhir.”

Namun, di bagian lain, ia mengakui, “ukuran dan usia Kosmos jauh melampaui pemahaman manusia biasa.” Bagaimana mungkin manusia yang tidak berarti di atas planet yang tidak berarti dalam galaksi yang tidak berarti, membuat sebuah kredo tentang ketiadaan Tuhan?

Kesimpulan Sagan menggarisbawahi skeptisme yang digulirkan oleh humanisme sekuler. Dalam beberapa dekade belakangan ini, kaum skeptis kembali mengarahkan mata dan telinganya ke angkasa -- bukan untuk mencari Tuhan, melainkan mengharapkan suatu pesan dari luar angkasa, dari suatu bentuk kehidupan yang lebih tinggi, untuk mendapatkan semacam ‘penjelasan’ mengenai cara kerja alam semesta ini. Mereka berharap, ada sesuatu di luar sana yang dapat memberikan makna bagi keberadaan kita. Makhluk yang diperkirakan berperadaban lebih maju ini akan memperkenalkan kecakapan medis, teknis dan arsitektur yang jauh lebih canggih, sehingga umat manusia mengalami lompatan luar biasa dalam perkembangan evolusi.

Potret pencarian manusia modern itu antara lain terwakili dalam sosok Ellie Arroway, tokoh utama Contact. Dibesarkan sebagai anak yang penuh rasa ingin tahu, iadihardik gurunya sebagai murid bodoh ketika menanyakan ketakterukuran bilangan phi. Kepahitanitu – ditambah kehidupan keluarganya yang tidak harmonis – mendorongnya kian suntuk menekuni ilmu pengetahuan: satu-satunya hal yang dianggapnya sanggup memberikan penjelasanmutlak bagipertanyaan yang menggelayutinya selamaini. Begitu terobsesi dengan ilmu pengetahuan,hubungan seksual pun dipandangnya sebagai sekadar eksperimen. Pada sisi lain, kenangan masa kecilterus menghantuinya dalam berhubungandengan rekan-rekannya. Inikah yang mendorongnya menekuniSETI? Gagal di bumi, ia pun berusaha menengadah ke langit.

***

Sekarang, bagaimana bila kita mengakui adanya Sang Pencipta? Dalam sudut pandang Kristen, keberadaan kita bermakna karena kita diciptakan menurut rupa dan gambar-Nya. Makna keberadaan kita tidak ditentukan oleh ada tidaknya makhluk di luar bumi sana. Kitab Kejadian menunjukkan, manusia adalah crown of the creation, puncak segala ciptaan. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, Tuhan tidak memilih menciptakan peradaban lain untuk menolong kehidupan di bumi. Namun, Ia memutuskan untuk memulihkan umat manusia dengan karya penebusan melalui Anak-Nya. Karenanya, kehidupan dan peradaban kita hanya akan mengalami ‘lompatan yang luar biasa’ sewaktu kita mengalami ‘perjumpaan ilahi’ dengan Pencipta kita. Seperti diungkapkan oleh Santo Agustinus, "Engkau telah menjadikan kami bagi diri-Mu sendiri, dan hati kami gelisah sebelum mendapatkan perhentian di dalam diri-Mu."

Betapapun, fenomena ET yang kian memasyarakat bisa jadi akan mengusik kita, bagaimana seandainya makhluk-makhluk itu ada? Berdasarkan ajaran ortodoks yang dianut sepanjang sejarah gereja, Alkitab tidak berbicara tentang fenomena tersebut. Dalam teologi sistematis, memang ada bahasan tentang malaikat (angelology) dan roh jahat (demonology), namun mereka tampaknya bukan jenis makhluk yang dinantikan para penyelidik ET. Sebuah ‘skenario kemungkinan’ yang menarik justru disodorkan, lagi-lagi, melalui novel fiksi ilmiah.

Jauh sebelum Contact, tahun 1938 C.S. Lewis, sarjana sastra Inggris dan penulis apologetika Kristen, menerbitkan Out of the Silent Planet, bagian pertama dari trilogi luar angkasa. Tokoh utamanya, Ransom, ditangkap oleh Devine dan Weston, lalu diterbangkan ke planet Mars. Mereka bermaksud menyerahkannya kepada penghuni planet itu untuk dipersembahkan kepada dewa mereka. Ternyata, penduduk Mars adalah makhluk-makhluk berbudi luhur. Mereka juga menyembah Tuhan sama seperti Ransom. Bedanya, Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa karena ketidaktaatan dan diusir dari firdaus, sedangkan penduduk Mars tidak mengenal dosa.

Ransom berhasil meloloskan diri dan mengembara di sana sampai akhirnya diminta datang ke ruang pengadilan Oyarsa, penghulu malaikat planet itu. Devine dan Weston sedang disidang karena membunuh seorang makhluk Mars. Oyarsa menyatakan, para makhluk Mars tidak sanggup membedakan antara benar dan salah. Karenanya, kedua pembunuh itu dipulangkan ke bumi. Ransom sendiri diberi kesempatan untuk tinggal di planet yang penuh keharmonisan itu, namun ia memilih untuk menyusul kedua rekannya, kembali ke bumi, planet yang sunyi senyap.

Planet yang sunyi senyap mengacu pada bumi yang dikarantinakan. Bumi diisolasi sehingga tidak dapat berkomunikasi dengan planet-planet lain, agar kerusakan akibat dosa tidak menjalar ke seluruh alam semesta. Sebuah skenario yang patut direnungkan: Seandainya terjadi perjumpaan makhluk antargalaksi, kita akan ‘mengimpor’ peradaban yang lebih maju, atau sebaliknya, justru ‘mengeskpor’ aneka krisis dan korupsi moral yang kian merajalela?

Cerita dengan cara pandang serupa itu sempat muncul secara kocak dalam salah satu episode komik Walt Disney. Dikisahkan, Lang Ling Lung diculik makhluk luar angkasa dan diadili dalam piring terbang mereka. Pasalnya? Mereka ketakutan kalau-kalau profesor itu menciptakan alat untuk membantu makhluk bumi menginvasi mereka. Nah, lo! ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun