Pertanyaan mendasar, mengapa saya tidak suka sinetron? Tapi pertanyaan yang lebih mendasar lagi, siapa saya sampai perlu memaparkan mengapa saya tidak suka sinetron? Yah, saya cuma seorang bocah biasa, tidak lebih. Saya cuma hendak berbagi beberapa poin yang menjadi titik tolak saya tidak suka sinetron. [caption id="attachment_141887" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: Facebook"][/caption] Dulu kala, saya adalah penikmat sinetron. Harap dimaklumi, di Bukittinggi pada tahun 1995, satu-satunya stasiun televisi SWASTA yang masuk adalah RCTI, itupun di rumah saya dapat siaran itu karena adanya antena dengan bahan baku TUTUP PANCI. Astaga! Jadi sangat wajar kalau saya jadi penikmat Angin Tak Dapat Membaca, Jin dan Jun, Tuyul dan Mbak Yul, Jinny oh Jinny, Bulan Bukan Perawan, Janjiku, sampai Panji Manusia Milenium dan Bidadari. Saya jelas tidak menjadi penikmat Noktah Merah Perkawinan dan Tersanjung, karena saya nggak dapat jaringannya. Harap maklum. Titik tolak pertama saya tidak suka sinetron adalah waktu kelas 3 SMP. Sebagai lelaki baru gede, seharusnya memang saya tidak suka sinetron, tapi berhubung televisi yang ada cuma satu, ya mau nggak mau dong? Nah, suatu kali, waktu saya sedang pelajaran olahraga, adik saya yang waktu itu masih TK berkeliaran di lapangan tempat saya ikut pelajaran olahraga. Harap maklum karena sekolahan kami sekomplek dan orang tua kami kerja di tempat yang sama. Jadi balita galau itu sedang menunggu bapaknya selesai mengajar. Adik saya yang waktu itu mungkin baru sepinggang saya berkeliaran membawa sebuah botol minuman berkarbonasi. Waktu itu masih penggunaan botol kaca minuman soda ini masih sering. Sambil membawa botol, adik saya mencari siku, dan ditemukanlah undak-undakan semen. Apa yang dia lakukan kemudian? Bokong botol itu dia pecahkan! PERSIS sama dengan adegan di sinetron untuk scene membunuh orang di kafe! Sejak saat itu mulai muncul kebencian saya pada sinetron. Okelah kita bicara BIMBINGAN ORANG TUA. Kalau orang tua bilang itu nggak baik, apa itu anak akan langsung memaknai itu nggak baik? Nggak kan? Apalagi kalau adegan macam itu diulang-ulang. Ya pasti masuk memori otak. Titik balik kedua adalah sinetron Bawang Merah Bawang Putih. Ini mungkin bukti bahwa peran antagonisnya sukses karena karena peran-peran antagonis di situ sukses membuat saya mencoret sinetron dari daftar tontonan saya. Ketika SMA, saya jarang nonton televisi, jadi nggak tahu sinetron sampai dimana kabarnya. Saya baru bertemu lagi ketika kuliah dengan sinetron. Itu karena saya sudah punya TV tuner yang colok ke PC. Sebenarnya tujuannya ya buat nonton bola, yang lain sampingan. Malam-malam iseng membuka channel sinetron. Apa yang saya temukan? Jujur, saya PUSING nonton sinetron. Kenapa? Karena scene-nya cuma dari KEPALA, lanjut ke KEPALA, lalu ke KEPALA lagi. Belakangan saya tahu karena itu sinetron kejar tayang, maka scene-nya pisah-pisah. Maka kepala kepala itu di-shoot terpisah untuk kemudian dijadikan 1. Apa ibu-ibu penikmat sinetron nggak pusing melihat kepala demi kepala nongol di layar televisi? Inilah titik balik ketiga saya terhadap sinetron. Saya lebih menikmati nonton FTV yang meskipun temanya suka aneh tapi dari segi shooting masih lebih oke. Mungkin karena tidak kejar tayang. Yah, ini hanya sekadar pendapat saja, karena jujur saya tidak menemukan faedah nonton sinetron masa kini, kecuali sinetron-sinetron religi yang masih menyelipkan sedikit nafas iman. Lainnya? Ah, lebih baik saya nonton SHAUN THE SHEEP! Mbeekkkkkk.....
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI