Mohon tunggu...
Alexander Arie
Alexander Arie Mohon Tunggu... Administrasi - Lulusan Apoteker dan Ilmu Administrasi

Penulis OOM ALFA (Bukune, 2013) dan Asyik dan Pelik Jadi Katolik (Buku Mojok, 2021). Dapat dipantau di @ariesadhar dan ariesadhar.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bandara Baru Jogja: Antara Kebutuhan dan Kemudahan

12 Agustus 2012   03:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:54 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kemarin saya baca berita soal rencana pembangunan bandara Jogja yang kemungkinan besar 'diletakkan' antara daerah Pantai Glagah sampai Pantai Congot. Nama tempat ini sudah mengarah jelas ke sebuah tempat bernama Kulonprogo. Kabupaten ini, sesuai namanya, berada di kulon-nya kali Progo. Hehehe..

Saya iseng update status soal ini, dan beberapa teman memilih berkomentar sendiri-sendiri. Ada yang suka, karena rumahnya di Gombong. Ada yang nggak suka, karena rumahnya di Banguntapan. Ya, ini kan relatif.

Bagi orang-orang yang rutin main-main ke bandara di Indonesia pasti paham betapa mungil-nya bandara Adisucipto yang sekarang jadi akses masuk Jogja via udara. Saya sih hampir selalu ngeri kalau landing di Jogja. Kenapa? Landasannya itu terhitung pendek. Sehingga begitu menapak tanah, rem-nya berasa dalam. Beda ketika mendarat di bandara-bandara berlandasan panjang macam Soekarno Hatta, Minangkabau, atau SMB II.

Belum lagi, itu bandara sebenarnya juga dipakai oleh AU. Saya sempat berurusan dengan pihak AU ketika mahasiswa dan sempat masuk ke kantor-kantor di kompleks blok O dan paham betapa dekatnya kantor AU dengan bandara yang juga komersial.

Kalau mau take off di Jogja juga lama. Kenapa? Karena jalur take off dan landing-nya ya cuma 1. Jadi kita harus nunggu satu pesawat kelar dulu, baru bisa berangkat atau mendarat.

Belum lagi soal akses masuk yang juga mungil dan kalau musim liburan tak kalah dengan antri KPR *ini beneran, saya pernah ngalami dua-duanya* Hehe..

Itu bagian yang nggak enaknya.

Bagian yang enak? Tentu saja, bandara sekarang sangat access friendly. Saya dulu tinggal di Paingan yang paling banter 10 menit dari bandara. Akses ke kota juga terbilang tidak jauh. Demikian pula sistem integrasi yang mantap dengan perpaduan Damri, Trans Jogja, plus Kereta Api. Masih belum cukup, ketika kita keluar ke Jalan Solo, tinggal stop bis Solo Surabaya sudah bisa kemana-mana juga. Mudah sekali.

Jelas, sekarang bandara Jogja memang sangat memanjakan dalam soal jarak. Kalau di Padang, misalnya, 10 menit itu baru nyampe jalan akses. Kalau di Palembang, 10 menit itu baru sampai perempatan Alang-Alang Lebar, masih jauh dari kota. Kalau di Jakarta? Yah, 10 menit belum tentu keluar dari area bandara. Hehehe.. Tapi di Jogja, 10 menit itu sudah sampai Jalan Raya Janti yang sudah termasuk kota.

Nah, melihat traffic yang tinggi, sudah jelas, bandara mungil ini perlu dibesarkan. Tapi, jelas nggak bisa. Pengguna rutin pasti paham kalau di ujung-ujung bandara ini sudah benar-benar mentok. Nggak bisa diperpanjang lagi. Demikian juga diperlebar. Maka jelas, karena tidak bisa dibesarkan, harus dipindahkan.

Ini jelas kebutuhan karena penggunaan moda transportasi udara semakin lama semakin diperlukan, belum lagi mobilitas di era modern ini semakin tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun