Sebuah tweet dari teman muncul, "setahun yang lalu kita lagi galau jadi wisuda atau nggak". Hmmm... Tiba-tiba saya ingat kisah perjalanan saya yang agak unik, tepat setahun silam. Kalau malam menuju Sabtu ini saya bisa nongkrong di Kompasiana, kalau setahun silam saya sedang menikmati perjalanan di KA Senja Utama, menuju Jogja. Ceritanya memang saya sudah mengajukan cuti untuk menghadiri wisuda di Jogja. Saya sudah beli tiket jauh-jauh hari untuk pulangnya, tapi baru beli tiket untuk berangkat ke Jogja pada belasan Oktober.Waktu itu masih belum ada apa-apa. Sampai kemudian ketika Oktober beranjak ke dua puluhan, aktivitas meningkat. Jarak aman terus ditambah. Saya belum berpikir apa-apa soal itu. Ketika erupsi terus terjadi saya mulai berpikir soal perjalanan ke Jogja ini. Waktu itu, saya minta cuti di hari Jumat. Jadi, Jumat pagi berangkat dari Palembang toh siangan dikit sudah sampai Jogja. Hotel sudah dibooking pula. Siap sekali pokoknya. Saya juga berjalan seolah biasa saja, meski tetap berpikir. Pagi itu, 5 November 2010. Masih pagi buta ketika saya mandi dan hendak berangkat ke bandara SMB II. Sambil bersiap, saya menyalakan televisi dan beritanya adalah: letusan terbesar Merapi dalam sekian tahun terakhir terjadi (jujur saya lupa, puluhan atau ratusan, maaf). Perasaan mulai nggak enak, tapi mau nggak mau tetap berangkat ke Jogja, toh tiket sudah di tangan. Penerbangan Palembang-Jakarta lancar, saya pun sudah siap di ruang tunggu ketika sejurus kemudian terdengar pengumuman: PENERBANGAN ANDA DIBATALKAN KARENA BANDARA DI JOGJA DITUTUP! Maka perjalanan yang sesungguhnya dimulai. Awalnya, saya bersama RATUSAN penumpang tujuan Jogja yang lain harus memperjuangkan kembali uang tiket yang dibatalkan itu. Ini bukan perkara mudah karena maskapai yang saya tumpangi adalah maskapai rakyat alias banyak rakyat yang sama-sama butuh duit. Desak-desakan terjadi, ada mungkin dua jam saya hanya sibuk berdesakan saja di depan loket maskapai. Saya hanya memandang pilu ketika stasiun TV swasta berkeliaran mencari mangsa untuk diwawancara, mereka pasti cari yang good looking, bukan dark looking macam saya. Sejak pembatalan sekitar jam 8 hingga 9, saya baru sampai ke depan kaca pukul setengah 12. Betapa uang 300 ribuan itu begitu sangat berharganya. Keluar dari antrian dengan keluhan tidak bisa langsung refund tiket pulang saya ke Palembang, saya malah dapat hoki, diwawancara TV! Yah, meskipun yang wawancara Bali TV, setidaknya saya sudah pernah diwawancara TV meskipun dalam keadaan galau begini. Mungkin lain kali saya bisa diwawancara dalam talk show sebagai bintang utama.. hehehe.. Perjalanan lanjutan adalah moda darat ke Senen. Kereta tambahan! Untunglah di Senen sudah ada teman yang sama-sama hendak ke Jogja dan sama-sama batal penerbangannya (tapi dia nggak sempat sampai bandara sudah dapat info cancel) yang sudah stand by di depan loket. Huh! Berjam-jam menanti, termasuk dimarahi petugas karena melompati kursi, akhirnya saya naik KA Senja Utama yang penuhnya minta ampun itu. Syukurlah saya masih duduk di kursi, tapi hawa ketika di kaki ada kepala orang sebenarnya cukup aneh, kalau tidak biasa. Untunglah saya lumayan biasa. Toh dulu saya pernah dari Cirebon ke Jogja nongkrong di perlintasan gerbong sambil berdiri.. hehehe.. Ketika pagi hari kereta sampai di Wates, saya mulai melihat efek abu vulkanis yang sudah jauh sekali. Bayangkan! Sampai Wates saja pohon-pohon pisang sudah layu, apalagi di Kaliurang sana? [caption id="attachment_141683" align="aligncenter" width="300" caption="Abu Vulkanis Merapi Menutupi Dedaunan (sumber: dokumentasi pribadi)"][/caption] Adik saya menjemput dengan maskernya, saya kebetulan nggak bawa, jadi sedikit-sedikit menghirup abu vulkanis. Jalanan Jogja betul-betul abu-abu. Bahkan sampai sejauh itu ke Selatan. Saya hidup di Jogja 7 tahun lebih sebelumnya, ikut serta merasakan Gempa 2006 pula, tapi tidak separah ini. Pantaslah memang disebutkan bahwa terbesar dalam sekian tahun. Saya lantas menghadiri wisuda di lapangan terbuka yang penuh abu vulkanis berterbangan. Warna wisuda itu sungguh abu-abu. Di tengah ancaman adanya erupsi yang lebih besar. Tapi entah mengapa, sejak dari SMB II, saya sudah merasa bahwa yang terjadi itu adalah yang paling besar, habis ini sudah. Dan untunglah, pada akhirnya memang demikian. Selesai? Belum. Sepulang wisuda, meski saya jelas punya tiket pesawat Jogja-Jakarta-Palembang, saya bergegas ke stasiun hendak membeli tiket KA ke Jakarta. Biarin deh punya dua tiket sekaligus meskipun resiko kalau besok ada penerbangan, maka tiket KA itu hangus atau sebaliknya. Minggu pagi buta, maskapai SMS kalau penerbangan cancel. Saya masih simpan SMS itu sampai sekarang. Disitulah saya bersyukur pernah membuat pilihan yang dilematis karena akhirnya dengan itu saya punya pilihan. Saya lantas bergegas ke Bandara Jogja untuk mengurus refund dan mencari tiket Jakarta-Palembang. Karena kalau saya naik kereta berarti akan sampai di Jakarta pagi hari dan sebenarnya hari itu saya tidak cuti, maka saya harus cari penerbangan yang tepat waktu. Maka saya lantas memilih penerbangan paling mahal, jam 11-an dengan harapan sesudah makan siang saya sudah siap ngantor di Palembang, tentunya izin terlambat (banget) sama bos. Demikianlah akhirnya saya meninggalkan Jogja dengan KA. Suasana stasiun teramat sangat ramai malam itu, dan saya bertemu dengan beberapa teman yang senasib karena penerbangannya batal. Yah, itulah kondisinya, nggak bisa dipaksa kan? [caption id="attachment_141684" align="aligncenter" width="300" caption="Suasana Stasiun Tugu Pada Minggu Malam (7 Nov 2010) (Sumber: dokumentasi pribadi)"][/caption] Saya tiba di Senen pagi hari, bergegas ke Gambir untuk mencari Damri ke Bandara Cengkareng. Di terminal maskapai yang agak mahal itu saya tampak lusuh sendiri. Gembel dari mana yang muncul dan cek in di terminal elit ini? Harap maklum, saya BELUM MANDI! Tapi apa itu penting? Toh saya bayar kok. Penerbangan memang tidak delay. Saya sampai Palembang pada waktu yang direncanakan. Jam 1 tepat saya sudah berseragam biru dan sudah duduk di depan komputer di kantor. Itu cerita perjalanan saya setahun silam. Saya yakin pasti banyak yang lebih dramatis. Tapi lewat tulisan ini saya hanya ingin mengenang kejadian 1 tahun Erupsi Merapi 2010. Jangan kita lupa, bahwa kita hidup di cincin api, dengan segala manfaat, dengan segala konsekuensinya. Salam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H