Gadget, benda-benda mati itu sekarang beredar luas dan bahkan bertanggung jawab langsung pada kelangsungan banyak makhluk hidup. Handphone, Laptop, PDA, atau apapun itu, mereka nyata-nyata benda mati, dibanting juga rusak. Tapi hitung berapa banyak benda hidup yang merasa tidak bisa hidup tanpa benda-benda mati itu.
Saya sedikit mau berbagi saja sedikit milestones hidup saya soal gadget.
Gadget pertama yang saya tahu adalah tamagochi pinjaman dari teman.
Itu pengalaman pertama soal gadget.
Jaman dahulu kala, saya pernah jalan kaki dari sekolah ke rumah pada malam hari, gara-gara bapak saya tidak menjemput di sekolah. Jadilah saya menyusuri Jl. Sudirman Bukittinggi sampai ke rumah di Pulai Anak Air. Sebenarnya sih tidak jauh-jauh amat, cuma nuansa di malam buta tentu beda.
Atau pada jaman yang sama, ketika nenek saya meninggal. Saya mendapatkan kabar itu dari tetangga di ujung kompleks yang adalah satu-satunya pemilik telepon rumah di situ. Untunglah kebetulan yang punya rumah adalah wali murid bapak saya, jadi nebeng telepon masih dimungkinkan.
Itu kejadian waktu rumah saya belum punya telepon rumah.
Masih jaman dahulu kala, saya merantau ke Jogja. Setiap awal bulan, saya bisa bolak-balik ATM 5-7 kali. Untuk apa? Saya benar-benar butuh duit bulanan, maklum anak kos. Dan saya tidak tahu, apakah bapak saya sudah mengirim uang kehidupan itu atau belum. Satu-satunya cara ya cek saldo. Maka di awal bulan yang fana itu, saya bisa 5-7 kali antri panjang, karena ternyata banyak pelajar dan mahasiswa yang senasib dengan saya. Dan saya bisa 4-6 kali kecele karena saldo yang dimaksud masih 20 ribuan alias belum ada kiriman. Nah, giliran sudah dapat, maka saya akan lari ke wartel dan lantas menelepon ke rumah dengan biaya bisa 10 ribu untuk pembicaraan beberapa menit saja.
Itu kejadian waktu saya belum punya handphone.
Akhirnya di kelas 3 SMA saya punya handphone. Tapi masih satu berdua dengan adik saya. Maka hidup saya adalah seminggu ber-gadget dan seminggu tidak. Begitu seterusnya. Nah, suatu kali saya mudik, naik pesawat dalam keadaan sadar untuk pertama kalinya sejak usia 2 tahun (Padang-Jakarta-Jogja). Dan jatah handphone ada pada adik saya. Nah lo... maka saya melakoni perjalanan itu tanpa gadget betul-betul. Bahkan jam pun saya nggak punya. Tapi nyatanya ya sampai-sampai saja kok ke Jogja.
Itu kejadian waktu saya sudah punya handphone tapi masih setengah.
Suatu kali, bertahun-tahun kemudian. Saya sudah beberapa kali ganti handphone, dan waktu itu pegang sebuah handphone yang kata orang lebih mirip remote AC. Tak apa, yang penting sliding. Sayangnya baterainya bermasalah. Setiap ada panggilan, mati dia. Dan suatu kali, salah satu manager di tempat saya dulu bekerja, menelpon saya, dan seketika handphone itu mati. Saya gelagapan minta ampun. Dan besoknya saya langsung beli handphone.
Itu kejadian waktu saya sudah punya handphone.
Adik saya tinggal di asrama yang tidak memperbolehkan handphone. Dan waktu adik saya yang lain lagi wisuda, saya bertugas menjemput adik saya yang di asrama itu di terminal Jombor Jogja karena dia datang dari Magelang. Saya cuma bingung saja, adik saya ini SMA, masa pertumbuhan, siapa tahu saya pangling wajahnya? Lalu saya juga bingung bin galau di Jombor sana karena nggak tahu adik saya sudah sampai mana. Sudah berangkat atau belum? Untung dia kemudian pakai baju yang pernah saya belikan.
Itu kejadian waktu bergaul dengan adik saya yang nggak punya handphone.
Dan sampai saat ini, sebisa mungkin saya akan membawa si Compaq laptop saya kemana pun. Waktu di Palembang, itu laptop saya bawa bertualang naik bis, kereta api, pesawat, hingga bajaj. Dan kini di Cikarang pun, laptop itu saya bawa menyusuri pantura dan jalur selatan. Karena saya butuh untuk menulis, itu saja.
Dan benda-benda mati itu, tiba-tiba menjadi syarat untuk hidup? Astaga!
Kadang-kadang saya iri dengan adik saya yang bisa hidup tanpa banyak gadget hehehe...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H