Mohon tunggu...
ratna astuti
ratna astuti Mohon Tunggu... -

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2010

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kebebasan Pers, Antara Keobjivitasan Berita dan Kepentingan Politik Media

25 September 2012   23:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:41 1139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MAKALAH

KEBEBASAN PERS, ANTARA KEOBJEKTIVITASAN BERITA DAN KEPENTINGAN POLITIK MEDIA

Disusun Oleh:

Ratna Pujiastuti

10210049

PRODI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

2012

PENDAHULUAN

·Latar belakang Masalah

Setelah rezim Orde Baru 1998 jatuh, kehidupan pers di Indonesia memasuki era kebebasan yang nyaris tanpa restriksi (pembatasan). Bila di era Orba terjadi banyak restriksi, di era reformasi ini pers menjadi bebas tanpa lagi ada batasan-batasan dari kebijakan pemerintah. Tetapi justru karena itu pula semakin sering kita dengar keluhan dari publik tentang adanya media yang membuat pemberitaan sepihak, tidak objektif dan semacamnya.

Dalam sebuah public sphere, yang lebih dipentingkan adalah objektivitas intermedia bukan hanya objektivitas intramedia. Sulit untuk mengjarapkan agar setiap media membuat pemberitaan yang objektif. Hal lain yang penting diamati dalam pemberitaan media massa saat ini, terutama sekali adalah masalah sejauh mana mereka telah berfungsi menciptakan dirinya sendiri sebagai bagian dari public sphere. Ini bisa dikaji melalui pengamatan tentang sejauh mana kemampuan untuk memiliki media semakin terpusat di tangan kaum yang itu-itu saja, sejauh apa media di tangan mereka itu telah bersedia memberikan akses berimbang ke tiap unsur publik terkait tanpa pemberian privilage untuk kelompok tertentu.

·Rumusan Masalah

1.Apa yang dimaksud dengan keobjektivitas berita?

2.Apa faktor yang mendukung berita itu objektif?

3.Mengapa media dan politik saling berkesinambungan?

4.Apa yang mempengaruhi media ikut berpolitik?

5.Bagaimana politik media dilakukan?

PEMBAHASAN

Menjelaskan Isi Media

Bagaimana isi media harus dijelaskan? Ketika media memberitakan suatu peristiwa dengan orientasi tertentu, bagaimana kita menjelaskannya? Dalam studi media, ada tiga pendekatan untuk menjelaskan isi media[1]. Pertama, pendekatan politik ekonomi yang berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik diluar pengelolaan media. Faktor seperti pemilik media, modal, dan pendapatan media dianggap lebih menentukan peristiwa apa saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam pemberitaan, serta ke arah mana kecenderungan pemberitaan sebuah media hendak dilahirkan.

Kedua, pendekatan organisasi yang melihat pengelola media sebagai pihak yang aktif dalam proses pembentukan dan produksi berita. Dalam pendekatan ini, berita dilihat sebagai hasil dari mekanisme yang ada dalam ruang redaksi. Praktik kerja, profesionalisme dan tata aturan yang ada dalam ruang organisasi adalah unsur-unsur dinamik yang mempengaruhi pemberitaan. Ketiga, pendekatan kulturalis yang merupakan gabungan antara pendekatan ekonomi dan pendekatan organisasi. Proses produksi berita di sini dilihat sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media (rutinitas organisasi media) sekaligus juga faktor eksternal di luar diri media.

Keobjektivitas berita

McQuail (1987 : 129) mengatakan bahwa objektivitas pada umumnya berkaitan dengan berita dan informasi. Objektivitas merupakan nilai sentral yang mendasari disiplin profesi yang dituntut oleh para wartawan sendiri. Dengan demikian, objektivitas diperlukan untuk mempertahankan kredibilitas. Siahaan (2001 : 100) mengatakan bahwa objektivitas pemberitaan adalah penyajian berita yang benar, tidak berpihak, dan berimbang. Proses pembentukan berita, sebaliknya adalah proses yang rumit dan banyak faktor yang berpotensi untuk mempengaruhinya. Mengapa ruang pemberitaan (news room) tidak dipandang sebagai ruang hampa? Karena banyak kepentingan dan pengaruh yang dapat mengintervensi media, sehingga niscaya akan terjadi pertarungan dalam memaknai realitas dalam presentasi media.

Apa yang disajikan media, pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh yang beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese, meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan. Mereka mengidentifikasi ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi. Pertama faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak.  Kedua, level rutinitas media yang berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang ada di dalamnya. Ketiga, level organisasi yang berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang yang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Keempat, level ekstramedia. Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Ada beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar media, pertama sumber berita, kedua sumber penghasilan media. Siregar (2001 : 66) mengatakan bahwa untuk mengukur objektivitas pemberitaan pada dasarnya menakar sejauh mana wacana fakta sosial identik dengan wacana fakta media. Sebab berita adalah fakta social yang direkontruksikan untuk kemudian diceritakan. Cerita tentang fakta social itulah yang ditampilkan di media cetak. Motif khalayak menghadapi media cetak adalah untuk mendapatkan fakta sosial. Untuk itu, prinsip utama dalam jurnalisme adalah objektivitas Atkins (1977) mengatakan bahwa perspektif mengenai objektivitas yaitu jurnalis haruslah tidak memihak dalam mengumpulkan, memproses dan memberikan berita yang dapat menjadi nyata dan konkrit sehingga dapat dibuktikan oleh pembacanya (De Beer dan Merrill, 2004 : 168). McQuail (Siahaan, 2001 : 64-65) mengatakan bahwa untuk mengukur objektivitas pemberitaan adalah melalui dimensifactuality. Dimensi factualitymemiliki dua sub dimensi, yaknitruthdanrelevance. Sub dimensitruthadalah tingkatan kebenaran atau keterandalan (reliabilitas) fakta yang disajikan, ditentukan olehfactualness(pemisahan yang jelas antara fakta dan opini), danaccuracy(ketepatan data yang diberitakan, seperti jumlah tempat, waktu, nama dan sebagainya). Sedangkan sub dimensirelevancemensyaratkan perlunya proses seleksi menurut prinsip kegunaan yang jelas, demi kepentingan khalayak.Relevanceatau tidaknya aspek- aspek yang diberitakan bisa ditentukan berdasarkan salah satu atau kombinasi empat kriteria, yakninormative standards,journalistic, audience, danreal world indicators.

Media dan Politik

Kesamaan utama antara politik dan media ada pada hubungannya dengan orang banyak. Kedua ranah tersebut membutuhkan dan dibutuhkan oleh masyarakat, yang anonim, dalam melakukan operasi-operasi rutinnya. Politik berurusan dengan ideologi, dan topik ideologi tentu saja menyangkut kehidupan sosial rakyat. Sementara media adalah jembatan antara topik atau tema yang diangkat dengan rakyat yang tersebar.

Secara teoritis, keduanya bisa berjalan dengan harmoni. Media massa bisa memediasi kegiatan politik dari para politisi kepada masyarakat. Dan sebaliknya, media juga bisa memediasi opini, tuntutan, atau reaksi masyarakat kepada para politisi. Media massa adalah ruang lalu lintas bagi segala macam ide-ide yang menyangkut kepentingan orang banyak.

Politik dan media memang ibarat dua sisi dari satu mata uang. Media memerlukan politik sebagai makanan yang sehat. Media massa, khususnya harian dan elektronik, memerlukan karakteristik yang dimiliki oleh ranah politik praktis: hingar bingar, cepat, tak memerlukan kedalaman berpikir, dan terdiri dari tokoh-tokoh antagonis dan protagonis. Politik juga memerlukan media massa sebagai wadah dalam mengelola kesan yang hendak diciptakan. Tidak ada gerakan sosial yang tidak memiliki divisi media. Apapun bidang yang digeluti oleh sebuah gerakan, semuanya memiliki perangkat yang bertugas untuk menciptakan atau berhubungan dengan media. Dunia politik sadar betul bahwa tanpa kehadiran media, aksi politiknya menjadi tak berarti apa-apa. Bahkan menurut C. Sommerville, dalam bukunya Masyarakat Pandir atau Masyarakat Informasi (2000), kegiatan politik niscaya akan berkurang jika tidak disorot media. Media memang memiliki kemampuan reproduksi citra yang dahsyat. Dalam reproduksi citra tersebut, beberapa aspek bisa dilebihkan dan dikurangi dari realitas aslinya (simulakra). Kemampuan mendramatisir ini pada gilirannya merupakan amunisi yang baik bagi para politisi, terutama menjelang pemilu. Yang menjadi masalah bagi politisi adalah bagaimana ia menjalin hubungan muatualisme dengan pihak media; bagaimana ia membangun kesan tertentu dengan memilih latar belakang (pada televisi) saat bercakap-cakap dengan media; bagaimana ia mampu meyakinkan media bahwa ia dan aksinya adalah penting. Semua dilakukan dengan mengharapkan imbalan berupa publisitas. Namun pada saat yang sama, media massa juga harus berpikir bahwa ia tidak diperkenankan mengadopsi kepentingan-kepentingan tersebut secara berlebihan. Salah-salah, ia akan menjadi bagian dari program politik sebuah golongan politik. Dan tak mudah memang membuat garis demarkasi apakah sebuah media prorakyat atau tengah ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu yang juga mengklaim sebagai pejuang kerakyatan. Contoh yang sering terjadi adalah ketika nasionalisme menjadi isu sentral dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai tokohnya. Dari versi TNI, dirinyalah yang harus didukung karena ia sedang berjuang menghadapi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), misalnya. Dan keinginan itu kerap dilakukan dengan memonopoli kebenaran. Meski bisa jadi versi TNI benar, tapi ketika ada upaya menghalangi versi lain untuk berbicara tentang siapa yang terkena tembakan atau berapa korban yang jatuh dalam kontak senjata antara TNI dan GAM, maka fakta menjadi tak bermakna.

Politik media yang dilakukan

Kita ambil saja contoh yang sedang hangat yakni pilkada DKI Jakarta antara Jokowi-Ahok dengan Foke- Nara. Kedua kandidat calon Gubernur tersebut berjuang keras untuk mendapatkan suara terbanyak salah satunya dengan kampanye lewat media. Kita hanya akan membahas tentang poltik media yang dilakukan oleh Jokowi salah satunya dengan membuat game “Selamatkan Jakarta”. Menurutnya, game tersebut untuk menyadarkan warga masyarakat agar tidak terlena dengan rayuan manis pemimpin dan untuk mengajarkan cara berpolitik yang cerdas karena selama ini mereka hanya disuguhkan dengan intrik-intrik politik palsu. Jelas bahwa media juga sangat membantu kepentingan politik dari penguasa tertentu. Media yang berpolitik bisa menyesatkan para pembaca, pendengar, atau pemirsa. Sebab, pemilihan narasumber, pemilihan waktu atau ruang bagi suatu sosok atau peristiwa, serta keseimbangan pelaporan atas suatu fakta akan menjadi bias dengan sengaja. Yang menjadi lawan politik dari pemilik media dengan sendirinya akan tereliminir. Cara pandang politisi dan wartawan terhadap informasi berbeda.

KESIMPULAN

Keobjektivitasan berita memang sangat dipeerlukan dalam dunia jurnalistik, karena juga mempengaruhi kredibiltas seorang wartawan dan pihak yang menjadi sorotan publik. Akan tetapi keobjektivitasan tersebut terkadang diabaikan oleh karena kepentingan politik dari suatu media tertentu yang mengharuskan para wartawan meliput berita dari kepentingan orang atau kelompok lain tanpa mempertimbangkan kepentingan orang atau kelompok lain juga. wartawan sebaiknya memisahkan diri dari dunia politik. Ia harus memilih antara kedua ranah tersebut. Alasannya, keduanya memiliki fungsi dan idealisasi yang berbeda. Keduanya tak dapat berjalan seiringan karena tak selamanya kepentingan sebuah golongan politik menyuarakan kepentingan yang lebih besar atau nasional; sementara media yang menjadi kendaraan politik beroperasi secara lebih besar.

DAFTAR PUSTAKA

1.Sudibyo,Agus. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana. LkiS: Yogyakarta

2.http://id.shvoong.com/social-sciences/communication-media-studies/2223779-pengertian-objektivitas-pemberitaan-dan-pengukurannya/#ixzz27TBXJYQl

3.http://suara-santri.tripod.com/files/nasional/nasional5.htm

4.http://tengkudhaniiqbal.wordpress.com/2006/08/04/media-politik-atau-politk-media-sebuah-keniscayaan/

[1] Lihat Brian McNair, News and journalism in the UK: A Textbook, London and New York, Routledge, 1994, terutama hlm. 39-58

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun