Bibir itu, dulu, Â
adalah perahu yang membawaku melintasi badai. Â
Lembut seperti janji yang kau bisikkan di malam gerimis, Â
tajam seperti kata perpisahan yang kau lempar tanpa ampun. Â
Aku masih ingat, Â
gula yang larut dalam teh di sudut kafe, Â
di mana kau tersenyum dengan aroma kayu manis. Â
Aku pikir, cinta seharusnya bertahan lebih lama Â
dari sekadar sisa busa di bibir cangkir. Â
Tapi waktu tak pernah kompromi. Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!