Disebuah desa yang terletak jauh dari hiruk-pikuk kota, ada seorang anak gembala bernama Surya. Di balik wajahnya yang teduh, ia menyimpan pemikiran-pemikiran yang tak lazim untuk anak seusianya. Setiap hari ia menggiring kambing-kambing melewati padang rumput yang luas, namun pikirannya melintasi cakrawala yang jauh lebih luas.
Suatu sore, di bawah pohon akasia yang tua, Surya duduk sambil memandang langit. Di sebelahnya, seekor kambing tua bernama Bima berdiri tenang, seakan menjadi pendengar setia. Surya memulai percakapan yang tidak biasa.
"Bima, apakah kau tahu mengapa kita ada di sini?" Surya memandang mata Bima yang cokelat kelam.
Bima hanya mengembik pelan, tapi Surya tersenyum. Ia menganggap suara itu sebagai jawaban. Â
"Aku juga tak tahu," katanya sambil tertawa kecil. "Tapi aneh sekali, ya? Kita semua menjalani hidup, tapi tak ada yang tahu apa tujuannya."
Bima mengunyah rumput, acuh tak acuh. Namun Surya terus berbicara, seolah-olah kambing itu adalah sahabat lamanya. Â
"Ayah bilang aku harus menjadi laki-laki yang kuat, tapi apa gunanya kuat kalau dunia ini absurd? Setiap pagi aku menggiring kalian, Bima, tapi apa artinya semua ini jika akhirnya kita semua akan mati?"
Langit mulai berubah warna. Jingga merambat seperti percikan api yang melahap cakrawala. Surya merasakan keindahan itu, tapi juga kegetiran di dalamnya. Â
"Langit begitu indah saat senja, tapi aku tahu keindahan ini hanya sementara. Sama seperti kita, Bima. Hidup ini tak lebih dari bayangan senja---singkat dan berakhir gelap."
Bima kali ini diam, seakan memahami kedalaman kata-kata Surya. Â