Di rumah kami, lemari di pojok dapur adalah dunia kecil tempat Bapak menyembunyikan harta karunnya. Bukan emas atau berlian, tapi celana-celana yang sudah lewat masa jayanya. Sebagian besar penuh dengan bercak cat, sobekan kecil di lutut, dan kantong yang setengah lepas.
"Kenapa enggak dibuang saja, Pak?" tanyaku suatu sore, sambil merapikan cucian.
Bapak hanya tersenyum. Matanya tidak lepas dari jendela, melihat gerimis yang turun pelan-pelan di halaman. "Celana-celana ini pernah ikut kerja keras, Nak. Mana mungkin dibuang begitu saja."
Aku tertawa kecil. Alasan Bapak selalu seperti itu. Dulu, waktu aku masih kecil, celana yang sekarang teronggok di lemari itu adalah celana kebanggaan. Bapak akan memakainya ke sawah, bengkel, atau bahkan ke acara keluarga. "Praktis," katanya.
Aku ingat sekali celana abu-abu dengan kancing perak yang selalu Bapak pakai saat menjemputku di sekolah dasar. Celana itu penuh kantong, cukup untuk menyimpan uang jajan ekstra yang dia selipkan ke tanganku tanpa sepengetahuan Ibu.
"Beli permen ya, jangan bilang-bilang," katanya sambil berkedip.
Sekarang, celana itu lusuh dan hampir kehilangan warnanya. Tapi, entah kenapa Bapak masih menyimpannya. Mungkin, pikirku, celana itu lebih dari sekadar kain baginya.
"Ada kenangan di tiap sobekan ini," Bapak pernah berkata, sambil menunjuk jahitan kasar di bagian lutut. "Yang ini waktu aku jatuh dari sepeda pas mau ke sawah. Yang ini bekas luka dari paku waktu bikin kandang ayam."
Kadang aku merasa Bapak terlalu sentimentil. Tapi bukankah itu yang membuatnya istimewa? Bapak bukan hanya menyimpan celana, tapi juga cerita. Cerita yang membuatku ingat bahwa hidup ini tidak selalu rapi, tapi penuh warna.
Sore itu, saat Bapak akhirnya mengeluarkan celana-celana lamanya untuk dicuci, aku tersenyum. Mungkin aku tidak mengerti semua cerita di balik kain-kain itu, tapi aku tahu satu hal: celana Bapak adalah cara dia mengingat bahwa hidup, meski keras, selalu layak disyukuri.