Paus Fransiskus menyerukan pesan pertobatan ekologis dalam ensiklik kedua, "Laudato si", yang berawal dari pertanyaan "bumi seperti apa yang akan kita warisi kepada anak cucu kita?". Sebuah seruan yang aktual di tengah-tengah gempuran dahsyat konsumerisme, pembangunan yang tak terkendali, terjadinya kerusakan lingkungan dan pemanasan global. Seruan yang membuktikan bahwa gereja tak eksklusif hanya melulu mengurusi soal teologia dan ritual semata, tapi membuka diri bersama umat manusia sedunia untuk mengambil aksi global yang terpadu dan segera, mencegah kondisi planet Bumi menuju kehancuran.
Apabila kita membaca laudato si 152, maka dengan jelas dinyatakan di sana:
"152. Kekurangan perumahan adalah masalah serius di banyak bagian dunia, baik di daerah pedesaan maupun di kota-kota besar, karena anggaran negara sering hanya cukup untuk sebagian kecil dari permintaan. Bukan hanya orang miskin, tetapi bagian besar masyarakat mengalami kesulitan serius untuk memperoleh rumah milik sendiri. Kepemilikan rumah sangat erat kaitannya dengan martabat manusia dan pembangunan keluarga. Ini merupakan masalah sentral ekologi manusiawi. Bila di tempat tertentu sudah berkembang kawasan kumuh dan berantakan, diperlukan terutama peremajaan kawasan itu, bukan pembongkaran dan pengusiran. Bila orang-orang miskin tinggal di kawasan kumuh yang tak sehat atau dalam bangunan yang berbahaya, “di mana tak ada jalan lain selain memindahkan mereka, agar jangan menumpuk penderitaan di atas penderitaan, perlu diberikan informasi yang memadai terlebih dahulu dan ditawarkan tempat tinggal lain yang layak huni, dan mereka yang terkena mesti dilibatkan secara langsung dalam proses”.
Pada saat yang sama, diperlukan kreativitas untuk mengintegrasikan lingkungan kumuh ke dalam kota yang ramah. “Betapa indahnya kota-kota yang mampu mengatasi kecurigaan yang melumpuhkan, mengintegrasikan orang-orang yang berbeda, dan menjadikan integrasi ini suatu faktor baru dari pengembangan! Betapa menariknya kota-kota yang, bahkan dalam rancangan arsitekturnya, penuh dengan ruang yang menghubungkan, menciptakan relasi dan mendukung pengakuan akan yang lain!”
Garis bawahi pesan Paus, bahwa peremajaan, pemberian informasi, dialog dan partisipasi aktif adalah seruan untuk mengatasi kekumuhan dan keberantakan. Seperti yang sudah lama dilakukan oleh Romo Mangun di Kampung Kali Code, oleh Romo Sandyawan di Komunitas Ciliwung. Sungguh sesuatu yang ironis dan paradoks ketika mereka yang mengagumi Paus Fransiskus, lebih menyukai pilihan pembongkaran, pengusiran, pemindahan paksa, menutup informasi, menutup dialog, menolak partisipasi masyarakat miskin demi jargon pembangunan. Betapa dengan mindset ini, Romo Mangun pun akan di-bully hanya karena membela yang miskin dan lemah ini, bahkan dituduh melanggengkan kemiskinan. Lebih rendah lagi bila ternyata mindset ini berasal dari sekedar suatu kepentingan politis demi pelanggengan kekuasaan yang sifatnya sementara.
Teknologi informasi bisa berperan di sini, dalam sebuah kerangka "smart city". Smart city tidak hanya berupa sebuah aplikasi yang memberi laporan "lampu jalan di jalan anu mati", "kompleks anu banjir", atau sekedar untuk memantau kinerja aparat. Lebih dari itu, smart city dibangun di atas pondasi smart communities yang diberi ruang partisipasi oleh smart government melalui smart instruments. Ada faktor interaksi antara penghuni kota dengan pemerintah, bahwa mereka bukanlah customer layaknya hubungan antara konsumen dengan produsen, mereka adalah warga (citizen) yang memiliki hak lebih dari sekedar layanan eKTP cepat. Dan dalam smart city, ada pengambilan keputusan yang merupakan resultan dari partisipasi warga dan data yang disediakan oleh perangkat TI, demi keberlangsungan ekologi kota tempat mereka hidup.
Dokumen lengkap seruan Paus Fransiskus ini dapat diakses di:
http://www.sesawi.net/2015/09/02/catatan-khusus-ensiklik-laudato-si-versi-indonesia/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H