Secara akademisi kami belajar POLITIK semenjak Bangku Kuliah jenjang S1 hingga meraih S2 di negeri jiran belajar tentang Politik. Bahkan sebelum itu, kami di keluarga di kelilingi kehidupan PRAKTISI politik. ALM kakek kami dulu adalah mantan Wakil Ketua DPRD. Sampai Kedua saudara Bapak Kami pernah menjadi Anggota DPRD, bahkan sampai pernah ikut bertarung dalam konstelasi PILKADA. Namun hasilnya tidak memuaskan. Karena kami selalu berbicara Tingkat Politik Seni, yaitu Lobbying dan Gagasan.
Bicara Akademisi, tidak akan "klimaks" kalau belum ada namannya TRYING AND ERROR atau terjun langsung ke lapangan sebagai subjek. Karena secara Praktisi kami tidak sanggup ikut berpartisipasi dalam Politik Praktis dewasa sekarang ini.
Semua berlandaskan kekuatan "KAPITAL" bukan seni - seni politik yang mengandalkan lobbying atau gagasan seperti keluarga kami lakukan berpolitik selama ini. Namun karena ada berbagai dorongan kami pun ikut dalam konstelasi PEMILLU Legislatif dengan DAPIL yang saya pilih paling sulit medan dan logistik karena ada 4 kecamatan yang harus dilalui.
Tidak seperti DAPIL lain yang hanya rata - rata dua Kecamatan dengan demografi saling berdekatan. Yang sebenarnya saya hidup kecil, berkomunitas berada di DAPIL kota atau DAPIL 1. Saya mencoba tantangan berjalanlah waktu, ikut lah saya berbagai fase - fase kampanye yang di lakukan kandidat lain. Dengan suara yang Lumayan Memuaskan dengan sedikit logistik dan keterbatasan pengenalan diri. Meski kalah kami bisa berbangga diri dengan keterbatasan Kapital.
kritik kami dengan sistem PILEG yang ada seperti itu untuk penyelenggara PEMILLU. Tentu yang menjadi pemenang terus akan orang - orang dengan Kapital besar. Untuk itu menurut kami, sebagai akademisi, politik sekarang tidak ada seninnya. Karena masyarakat di suguhkan hanya sebuah APK Baliho dan Desas desus seberapa banyak isi "AMPLOP"nya.
Bukan gagasan apa yang mau dia bawa. Karena penyelenggara Pemillu, tidak menyediakan fasilitas misal "Debat Caleg Terbuka' di Fasilitas terbuka. Mungkin masyarakat lambat laun akan terdukasi sebagai pemilih. Karena kerusakan sebuah peradaban karena Money Politics, itu banyak bukti Empirismenya. Yang tidak bisa kami jabarkan satu - satu di sini. Banyak para pemimpin yang jadi karena "Kapital" yang besar keluar karena pemenangan tentu secara naluri manusia akan berlomba mengembalikannya. Karena kekuasaan itu akan menjadi kehausan seorang pemimpin, ketika dia belum selesai dengan dahagannya sendiri.
Meski masukan ini sering di abaikan orang lain, sebagai cibiran - cibiran para elit politik, namun tidak salahnya kami selalu mengingatkan. Karena manusia ini sosialnya, saling membantu dan saling mengingatkan. Sama halnya bagaimana dulu Aristoteles menghayal sebuah konsep "DEMOKRASI' dan keterwakilan daerah. Sebagai sebuah Eutopia menurut kalangan waktu itu, namun pada akhirnya terpakai sistem tersebut yang sebagai trend Global sekarang.
PILKADA
Pilkada tahun ini memang istimewa karena ini Pilkada pertama di mana berpadu PILGUB DAN PILBUB di lakukan satu waktu serta di lakukan secara serentak. Kembali ke pemikiran kami yang Fakir KAPITAL ini namun berharap banyak dengan Pilkada sebagai sarana transformasi pembangunan.
Namun masih Elit - elit politik berpikir classic, pasang - pasangan politik dengan penyandingan besarnya sebuah Kapital. Memang kapital, itu sebuah keharusan primer dalam konstelasi politik. Namun banyak contoh Pilkada - Pilkada sebelumnya banyaknya Kapital tumbang dengan orang yang memakai gagasan dan lobbying.
Saya lebih salut dengan elit politik seperti itu. Menang karena gagasan bukan besarnya Kapital. Besarnya kapital dia menang. Itu bukan "Strategi" Politik itu market politik. Tidak usah kita mengkaji politik dalam - dalam kalau masih berpikir seberapa besar kapital kalian.