Sektor minyak dan gas telah menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan energi global yang meningkat. Namun, karena cadangan minyak daratan dan perairan dangkal mulai menipis, eksplorasi dan produksi gas dan minyak semakin bergerak ke wilayah laut dalam. Zona laut dalam yang terletak di kedalaman lebih dari 200 meter memiliki potensi cadangan energi yang besar. Namun, eksplorasi di daerah ini menghadirkan sejumlah masalah, baik secara teknis maupun lingkungan, saat melakukan eksplorasi.
Lautan dalam memiliki biodiversitas yang sangat tinggi dan merupakan ekosistem yang unik. Berbagai spesies langka hidup di sana karena dapat beradaptasi dengan kondisi ekstrim seperti tekanan tinggi, suhu rendah, dan sedikit cahaya. Namun, ekosistem ini sangat rentan dan sulit diperbaiki jika terganggu. Kerugian seperti kerusakan habitat, polusi, dan gangguan akustik adalah akibat umum dari aktivitas eksplorasi minyak dan gas. Akibatnya, untuk menyeimbangkan kebutuhan energi dengan perlindungan lingkungan, diperlukan strategi pengelolaan yang berkelanjutan.Â
Ada banyak sekali dampak dari aktivitas eksplorasi minyak dan gas, yang pertama adalah habitat dasar laut yang rusak akibat aktivitas pengeboran dan pemasangan infrastruktur seperti pipa dan jangkar. Karang dingin, juga dikenal sebagai karang air dingin, adalah ekosistem bawah laut di mana pertumbuhan sangat lambat terjadi di dasar laut dengan suhu rendah. Banyak organisme laut menggunakan habitat ini sebagai tempat hidup dan berkembang biak. Struktur dasar laut ini dapat rusak atau hancur selama eksplorasi minyak dan gas. Karena karang dingin tumbuh sangat lambat, kerusakan ini mungkin permanen atau akan membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk pulih. Material seperti lumpur atau serpihan batu yang dibuat selama proses pengeboran juga sangat meganggu organisme karena tidak jarang bahan-bahan ini ditimbun di dasar laut di sekitar lokasi pengeboran. Organisme bentik, termasuk cacing, kerang, dan bintang laut, dapat terganggu ketika sedimen ini menumpuk. Mereka mungkin kehilangan kesempatan untuk mendapatkan oksigen atau makanan, atau mereka mungkin terkubur hidup-hidup di bawah sedimen. Ini mengurangi keanekaragaman hayati dan merusak ekosistem lokal.
Dampak dari aktivitas eksplorasi minyak dan gas selanjutnya adalah terjadinya polusi kimia yang mencakup limbah pengeboran yang mengandung bahan kimia beracun yang dapat mencemari rantai makanan. Cairan pengeboran, juga dikenal sebagai drilling mud, mengandung bahan kimia beracun, seperti logam berat, yang berpotensi mencemari rantai makanan. Di antara efeknya adalah gangguan reproduksi dan kematian spesies laut. Serta, air produksi yang keluar bersama minyak dan gas sering mengandung logam berat serta hidrokarbon aromatik yang berbahaya bagi ekosistem. Serta, selama eksploitasi minyak, air produksi sering mengandung hidrokarbon aromatik dan logam berat seperti merkuri. Senyawa ini dapat menyebabkan bioakumulasi dalam jaringan organisme laut dan membahayakan kesehatan ekosistem jika dilepaskan ke laut.
Gangguan Akustik juga merupakan dampak dari aktivitas eksplorasi minyak dan gas. Meskipun survei seismik adalah salah satu cara yang paling populer untuk mengidentifikasi reservoir minyak di bawah laut, gelombang suara yang kuat dapat menyebabkan masalah. Suara ini sering mengganggu makhluk hidup seperti paus dan lumba-lumba, yang di mana mereka sangat bergantung pada sonar untuk berburu dan navigasi. Akibatnya, mereka dapat tersesat atau menjauh dari tempat tinggal mereka. Suara seismik juga dapat menimbulkan cedera fisiologis. Hal ini dikarenakan gelombang suara yang terlalu kuat dapat merusak organ pendengaran hewan laut, menimbulkan stres, dan bahkan dapat membunuh spesies tertentu. Pencemaran sinar matahari juga merupakan dampak dari aktivitas eksplorasi minyak dan gas. Pola alami spesies laut dapat terganggu oleh lampu yang digunakan pada kendaraan operasional dan struktur bawah air. Hal ini mengganggu migrasi vertikal plankton. Plankton biasanya bergerak naik-turun sesuai dengan siklus siang dan malam. Pola ini dapat diubah oleh cahaya buatan, yang berdampak pada predator seperti ikan kecil dan makhluk yang lebih besar.
Eksplorasi minyak dan gas di laut dalam sering kali membawa dampak negatif yang signifikan terhadap ekosistem bawah laut yang unik dan rapuh. Dampak tersebut meliputi gangguan habitat, polusi kimia, gangguan akustik, dan pencemaran cahaya yang dapat mengancam biodiversitas laut. Untuk mengurangi dampak tersebut, berbagai solusi dapat diterapkan dengan pendekatan holistik yang melibatkan pengelolaan berbasis ruang, teknologi ramah lingkungan, pengelolaan limbah yang lebih baik, pengendalian gangguan akustik, monitoring yang ketat, serta kolaborasi antara berbagai pihak terkait.
Salah satu pendekatan yang efektif adalah penerapan pengelolaan berbasis ruang, yang dapat melindungi ekosistem sensitif melalui berbagai strategi. Zona larangan aktivitas, misalnya, dapat diterapkan pada kawasan konservasi laut untuk melindungi habitat penting seperti karang dingin dan spons laut. Selain itu, penetapan buffer zone dengan jarak minimal dua kilometer dari habitat kritis, seperti yang direkomendasikan oleh Cordes et al. (2016), dapat secara signifikan mengurangi risiko kerusakan langsung dari aktivitas industri. Pendekatan ini memberikan perlindungan langsung terhadap area-area yang rentan sekaligus menjaga keseimbangan ekosistem secara keseluruhan.
Penggunaan teknologi ramah lingkungan juga menjadi kunci dalam upaya mitigasi dampak eksplorasi. Teknologi seperti sistem pengeboran tertutup memungkinkan pengumpulan dan pengolahan limbah pengeboran sehingga tidak langsung dibuang ke laut, mengurangi potensi pencemaran air dan kerusakan ekosistem. Selain itu, pemantauan otomatis menggunakan sensor berbasis kecerdasan buatan (AI) dapat memberikan data real-time mengenai kondisi lingkungan, yang dapat membantu mendeteksi dan mencegah kerusakan lebih lanjut. Penggunaan teknologi ini tidak hanya meningkatkan efisiensi operasional tetapi juga memberikan jaminan keberlanjutan lingkungan.
Pengelolaan limbah yang lebih baik juga menjadi langkah penting dalam mengurangi dampak eksplorasi. Limbah cair, misalnya, dapat dikembalikan ke formasi geologi di bawah tanah melalui proses injeksi kembali, yang secara efektif mencegah pencemaran laut. Limbah padat dan cair juga dapat diangkut ke fasilitas pengolahan di darat, di mana bahan kimia berbahaya dapat diolah dan dinetralkan. Dengan demikian, potensi pencemaran lingkungan dapat diminimalkan secara signifikan.
Dampak akustik dari aktivitas eksplorasi juga perlu dikendalikan untuk melindungi mamalia laut dan spesies lainnya. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah penggunaan teknologi suara rendah dalam survei seismik, yang dapat mengurangi intensitas suara dan dampaknya terhadap kehidupan laut. Selain itu, pengaturan waktu survei yang menghindari musim migrasi atau kawin spesies tertentu juga dapat membantu melindungi populasi hewan laut. Langkah ini memadukan teknologi dengan pendekatan berbasis ekologi untuk meminimalkan gangguan terhadap fauna laut.
Monitoring dan evaluasi yang ketat merupakan elemen krusial dalam mengelola dampak eksplorasi. Penilaian awal terhadap kondisi ekosistem, atau data baseline, memberikan gambaran yang jelas mengenai dampak eksplorasi yang terjadi. Pendekatan Before-After-Control-Impact (BACI) dapat digunakan untuk memantau perubahan akibat proyek eksplorasi dan mengevaluasi efektivitas upaya mitigasi yang dilakukan. Monitoring jangka panjang dengan metode ini tidak hanya memberikan data empiris yang berharga tetapi juga memastikan bahwa tindakan korektif dapat segera diambil jika diperlukan.