Pada dasarnya setiap manusia mempunyai hasrat ingin mendapatkan atau memiliki sesuatu yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun bila hasrat ini kemudian menjadi sesuatu yang tidak dapat terkontrol maka yang tercipta kemudian yaitu sebuah hasrat untuk berkompetisi menjadi sesuatu yang lebih dari orang-orang disekililingnya dan menjurus kedalam gaya hidup konsumtif dan materialis. Hal ini kemuadian lambat laun dapat menjadi suatu bentukan budaya dan dianggap sebagai sesuatu yang wajar di kalangan-kalangan tertentu.
Di Indonesia, bukan lagi menjadi rahasia bila seseorang yang tergolong kalangan menengah ke atas yang mempunyai uang berlebih cenderung menggunakannya untuk membeli kendaraan, baik itu berupa motor maupun mobil. Kondisi seperti inilah yang akhirnya kita saksikan setiap hari di jalan raya di kota-kota besar, dimana terjadi 'invasi' besar-besaran oleh kendaraan pribadi yang membutuhkan proporsi ruang yang cukup luas, menyebabkan kapasitas jalan semakin sempit dan berujung terjadinya kemacetan.
Kendaraan Pribadi (sumber : celingakcelinguk.files.wordpress.com)
Dalam benak kita pun bertanya-tanya, apa sebenarnya yang melatarbelakangi orang sehingga membutuhkan kendaraan pribadi. Apakah itu sebuah kebutuhan penting atau sekedar mengikuti tuntutan gaya hidup zaman yang serba materialis saat ini?
Menurut data, pertumbuhan kendaraan bermotor roda dua saat ini sebesar 800 unit per bulan dan mobil sekitar 300 unit perbulan. Menurut Wakil Presiden Boediono saat membuka International Indonesia Motor Show mengatakan bahwa penjualan mobil ditargetkan mencapai 1 juta unit per tahun. Dari data tersebut tersebut kita dapat menarik hipotesa bahwa betapa budaya konsumtif semakin menggila dan menggerogoti pemikiran masyarakat kita saat ini.
Memiliki kendaraan pribadi sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang salah karena pada kenyataannya sampai saat ini pemerintah belum mampu mewujudkan moda transportasi massal yang nyaman dan aman bagi masyarakat. Hal ini kemudian mendorong sebagian kalangan terutama kalangan menengah ke atas untuk mendapatkan rasa aman dan nyaman tersebut dengan menggunakan kendaraan pribadi.
Disisi lain, efek dari memiliki kendaraan pribadi membuat pelakunya seolah-olah terjebak dalam lingkaran prestisius. Efek inilah yang memunculkan suatu gaya hidup baru dimana perilaku seperti gonta-ganti mobil dan berkompetisi untuk membeli mobil baru dan mahal menjadi suatu hal yang lumrah bahkan dianggap sebagai suatu keharusan demi menjaga prestise dan memperkokoh keeksistensiannya dalam lingkungan pergaulan. Perilaku seperti inilah yang menjadikan makin lebarnya kesenjangan social dalam masyarakat. Disatu sisi terdapat komunitas masyarakat yang sibuk memikirkan prestisius sementara di sisi lain terdapat komunitas masyarakat yang susah payah mempertahankan kehidupannya melawan kejamnya rimba kota.
Inilah secuil fakta social yang terjadi ditengah-tengah kita di zaman ini. Seharusnya pemerintah mampu membaca persoalan-persoalan seperti ini dan bereaksi sesuai harapan sebagian besar masyarakat dan bukannya berupaya untuk melanggengkan perilaku konsumtif suatu komunitas tertentu. Harapan terwujudnya suatu tatanan masyarakat yang adil, makmur serta dapat mengawal kebijakan-kebijakan penataan ruang kota dan mengurangi segala perilaku konsumtif dan materialistis yang sedang mencoba merusak struktur dan tatanan social masyarakat kita saat ini tentu masih menjadi harapan kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H