Ada saatnya yang berlayar akan pulang, ada saatnya yang sungguh akan sirna ketika kesepian memanggil namannya disepanjang kehitaman dan gelepan yang menyerang, ada saatnya yang banyak berbicara akan diam ketika semuanya terlalu jauh engkau sadari.
Pagi ini, mentari menyinari dunia dengan catatan kehilangan (25) Â gugurnya bunga angsana yang ku lihat di atas meja tak lagi menarik, kicau burung perkutut menjadi tak lagi merdu, ku petik salah satu bunga mawar merah di halaman rumah kucabuti mahkotanya seraya menghitung praduga antara kamu akam kembali atau tidak.
Dimalam yang hening sendiri, getir membalut setiap luka melankolia yang ku kenal abadi tubuhku terkapar sigap meringkih kenang yang harus tetap merdeka, menanti doa doa kiriman keputusaan sebelum reda perjuangan membinasakan.
Bulir air mata tanpa aba aba menyusun relief sedih penuh nuansa pada stupa yang paling dalam adalah melankolia kesendirian layaknya arca dan percikapan dekapan surgawi,kita adalah bangun suci yang sudah usang menjadi pijakan asa yang di koyak koyak oleh serigala tanpa dosa menyikapi kejahatanya dengan tenang.
Puing puing kisa kita memang tak seindah syinderela,pun tak semegah pemujaan yang senantiasa luas untuk menyampaikan doa ialah kita yang akan di persatukan dengan doa tanpa kita saling ketahui.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H