Hai, Kompasianers!! (Cie, sok akrab) Senangnya…  akhirnya saya bisa posting tulisan di blog rame-rame ini. Sudah lebih dari satu tahun saya cuma jadi silent rider, eh silent reader. Boro-boro posting artikel, ngasih komentar atau vote pun saya belum pernah. Bukannya apa-apa, selama ini saya online hanya pake ponsel cepe’an yang paling low end, hehe…  jadi yang mudah diakses dari hape saya selain Facebook ya Cuma Kompasiana. Yang lain-lain sih selain super lelet-let-let juga ngabisin kuota dan pulsa.
Tapi tak apa, saya sudah cukup senang bisa mengenal Kompasiana walau hanya jadi ‘pemuja rahasia’.  Saya mendapatkan banyak pengetahuan dengan bermodalkan akses internet pas-pasan dan mengeluarkan pulsa beberapa ratus perak saja. Tapi terkadang hati saya geregetan ingin sekedar memberi  tanggapan atau persetujuan atas tulisan kompasianer yang sudah saya baca.
Saya pernah sengaja bikin akun Kompasiana di warnet. Tapi ternyata saya tidak bisa login via hape. Saya tidak tahu masalahnya dimana, tapi yah… tidak terlalu saya pikirkan. Yang terpenting kan bisa akses dan bisa membaca isi postingan-postingan kompasiana walau tanpa login akun.
Lagipula waktu itu saya merasa belum punya bahan tulisan yang cukup bermutu untuk di share di laman sekeren kompasiana. Takutnya cuma nambah-nambah tulisan sampah. Saya masih mikir-mikir, apa ya yang kira-kira bisa saya tuliskan, soalnya saya hanya ibu rumah tangga biasa yang kerjaannya ya ngurus rumah dan ngurusin tetangga, hehe… Saya bingung apa yang mesti saya share. So’al politik? Jelas saya buta soal politik. Lagipula masalah politik sepertina termasuk sensitif. Salah-salah, malah kena masalah. Dihujat lah, dibully lah, paling parah, kena somasi, hiii… Artikel Kesehatan? Saya tidak punya banyak pengetahuan soal kesehatan, nanti bisa diprotes ahli medis kalau saya bikin artikel asal-asalan soal kesehatan. Wisata? Haha.. saya sehari-hari cuma travelling keliling kasur, sumur, dan dapur , tidak banyak mengenal dunia luar. Fiksiana? Hmmm… walaupun banyak melamun, tapi daya imajinasi saya untuk dituangkan dalam karya fiksi tampaknya masih seret. Kanal  Muda? Jelas saya sudah bukan anak muda lagi, juga tidak update dengan dunia anak muda masa kini. Teknologi? Media? Sama, nggak update juga. Handphone aja masih make yang teknologi sepuluh tahun ke belakang. Olahraga? Waduh, sepanjang karir saya sebagai pelajar sekolah, saya paling lemah dalam pelajaran Penjaskes/Olahraga. Ekonomi? Memang sih tiap hari bersinggungan dengan dunia perekonomian, tapi memangnya siapa yang peduli dengan artikel tentang harga cabe rawit di warung sebelah rumah, atau harga tabung gas yang semakin naik? Hiburan? Naaah…. Di kanal ini sepertinya saya punya banyak bayangan untuk bahan tulisan. Yah namanya juga FTM, Full Time Mother (Biar keren kedengarannya), kesehariannya enggak jauh-jauh dari api dan tipi. Kayaknya punya banyak bahan yang bisa dituliskan. Paling tidak saya bisa menambah nilai plus tipi saya yang Cuma 14’ itu. Selain bahan tontonan juga jadi bahan tulisan. Jadi kalau mau, kita bisa mengoptimalkan fungsi barang-barang di rumah kita (nggak nyambung juga, sih ^^)
Saya suka heran pada tetangga saya yang punya tivi berlangganan, pesawat televisinya pun gede dan paling canggih. Eh, putrinya yang mahasiswi malah nonton sinetron. Yaaaah… Maksudnya sayang aja gitu bayar langganan tiap bulan, kalau cuman buat nonton sinetron aja sih pake antene biasa aja. Kalau saya punya tipi segede dan secanggih itu sih mau dipake nonton film-film bagus, biar serasa di bioskop, terus siarannya mau pilih chanel-chanel yang bermutu. Lagipula anak mahasiswa kok nontonnya sinetron? Bukannya nggak boleh sih, tapi apa enggak ada tontonan yang lebih elit untuk kalangan terpelajar, gitu…
Termasuk postingan-postingan di kompasiana. Sayang gitu kalau mahasiswa atau orang bertitel sarjana cuma posting cerita gosip-gosip artis dan acara televisi. Bukannya enggak bagus, tapi  gosipin artis atau ngomentarin tayanagan televisi sih jatahnya emak-emak kurang kerjaan seperti saya, hehehe…
Para pelaku dunia pendidikan sih bagusnya sharing materi-materi yang lebih serius, misalnya materi yang baru diberikan dosen di kampus. Tulis dengan gaya bahasa sendiri. Kan bisa bagi-bagi ilmu buat orang –orang yang nggak bisa ikut kuliah.
Enak aja, udah bayar kuliah mahal-mahal masa ilmunya dibagikan Cuma-Cuma? Itulah yang namanya sedekah. Sedekah kan bukan dengan uang atau barang saja, tapi bisa dengan ilmu yang kita punya. Apalagi pahala dari sedekah ilmu yang bermanfaat akan tetap mengalir walau kita sudah dikubur sekalipun. Selain itu, posting materi kuliah juga bisa dijadikan ajang memperdalam materi. Siapa tahu malah nanti ada kompasianer lain yang bisa menambahkan atau mengoreksi kesalahan.
Lagipula, biaya kuliah itu yang mahal bukan ilmunya, tapi ijazahnya kali, ya? Itu sih menurut saya yang  tak punya ijazah kuliah.
Eh, ma’af kalau tulisan saya menyinggaung pihak-pihak tertentu, hehe… bukan niat saya begitu. Angggaplah itu cuma racauan orang  frustasi yang gagal menggapai bangku kuliah. Makanya buat adek-adek mahasiswa-mahasiswi, manfaatkanlah kesempatan yang kau dapatkan  semaksimal dan seefektif mungkin. Karena diluar sana banyak orang-orang yang hanya bisa ngiler memandang bangunan kampus tanpa bisa menikmati isinya.
Sampai disini dulu artikel pembuka sebagai salam perkenalan dari saya. Mudah-mudahan ke depan saya bisa seperti teman-teman kompasianer yang konsisten bersedekah ilmu dan berbagi pengetahuan tanpa memandang untung rugi materi. Lagipula seperti saya singgung di atas, untuk bersedekah tidak perlu menunggu jadi konglomerat atau atau pejabat. Cukup berbagi dengan apa yang kita punya dan apa yang kita bisa. Ya… Hanya ini yang saya punya dan hanya segini  yang saya bisa, ruang fikir yang sempit dan buah ilmu yang sedikit.
Semoga bermanfaat.
Kota Manis, 30-01-2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H