Sebenarnya saya tidak berminat dengan dunia perpolitikan, apalagi membuat artikel atau catatan soal politik, bukan tidak berminat sih, tapi tidak berkompeten, alias tidak memahami dan tidak tahu-menahu soal politik. Tapi dengan adanya musim kampanye, mau tak mau saya yang tidak ngerti politik terus-menerus disodori hal-hal yang berkaitan dengan partai politik. Bagaimana bisa menghindar, keluar rumah langsung disuguhi gambar lambang partai berdampingan dengan foto-foto “para ahli politik”. Di tiap meter jalan, bahkan di jalan-jalan kecil dan sepi di kampung saya ini pun tak luput dari wajah-wajah mereka.Ya, terpaksa dong saya harus mengakrabkan diri dengan wajah para politikus tersebut.
Itu diluar rumah, begitu masuk ke dalam rumah, kita masih belum terbebas dari wajah politikus. Nonton berita, soal politik, nonton infotainment, banyak artis yang terjun ke dunia politik, nonton talk show, bintang tamunya calon legislatif. Ah, nonton film kartun saja bersama si kecil. Eh, jeda iklannya diisi kamanye partai politik.
Beberapa waktu lalu, saya malah sampai terngiang-ngiang lirik “Dari ujung Banda Aceh… Sampai tanah Papua… Kita Semua bersaudara… Satu Nusa satu bangsa… dan satu bahasa… Indonesia Manise….” (Pasti tahu kan, iklan apa?) Syair tersebut sering sekali terngiang tanpa diundang di kepala saya. Saking seringnya saya dengar, kadang saya mendendangkannya tanpa sadar. Menyebalkan sekali. Terang saja, sehari bisa sampai berapa puluh kali lirik tersebut masuk telinga saya. Si kecil kan senangnya cuma nonton kartun, stasiun tivi milik pak Ical Bakri rupanya sayang banget sama anak-anak. Dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore kartuuuuuun melulu, yang itu-itu melulu, Bernard Bear, Curious George, Little Krishna, Chotta Beem, Angry Bird, Mr. Bean, Masha & The Bear, Tom And Jerry, dan Gon (wow, saya sampai hafal!) 8 jam sehari disuguhi kartun yang itu-itu juga. Anak saya sih seneng-seneng aja, nggak bosen-bosen. Saya yang jenuh. Ditambah jenuh lagi dengan jeda iklannya. Acaranya jelas-jelas acara untuk anak, tapi kenapa tiap jeda iklan mesti ada iklan kampanye partai, sih? Partainya yang itu-itu juga, wajahnya yang itu-itu juga, kenapa mesti disiarkan tiap 15 menit sekali, sih?
Bahkan setelah versi Indonesia manise tidak disiarkan lagi, kadang masih terngiang juga. Sekarang versinya sudah ganti, jadi versi “Ojo lali nasibe rakyat Indonesya.” Nah, kalimat itu juga sekarang mulai sering terngiang-ngiang -_-. Yang saya herankan, ngomong kalimat basa jawa gitu aja kok ditepokin? Orang lain juga bisa ngomong ojolali-ojolali kayak gitu mah. Dia pikir hanya dengan memakai bahasa Jawa bisa sepopuler “seseorang”? Lagipula kalimat itu ditujukan untuk siapa? Idealnya kan, kalau lagi mempromosikan diri sendiri, jangan ada kalimat perintah atau larangan, tapi kalimat sangkalan, jadi “aku ora lali nasibe rakyat indonesia.” Mestinya begitu kan, lah dia ngomong “OJO” ditujukan sama siapa? Mestinya itu kalimat kita buat beliau kan? “Ojo lali nasibe wong Sidoarjo” hehehe…
Itu baru di satu stasiun TV, belum di stasiun TV lain yang pemiliknya juga jadi politikus. Yang itu sih malah lebih parah narsisnya saya rasa. Tapi yah, tidak akan saya bahas.
Tapi di antara sekian banyak iklan-iklan partai dan iklan capres, ada juga satu-dua iklan yang saya suka. Diantaranya iklan partai berbasis islam yang mengajak Shalawat untuk negeri, nah, itu saya suka, saya kan jadi ikut menyenandungkan shalawat. Kalau menyenandungkan shalawat, ke hatinya juga enak, dapat pahala pula (Insya Allah :) ) Ya, walaupun saya bukan simpatisan partai tersebut (sejauh ini saya masih netral) kalau cara penyampaian kampanyenya santun seperti itu, saya kan jadi pikir-pikir untuk memberi dukungan. Sayang sekarang sudah tidak ditayangkan lagi, dulu penayangannnya juga jarang-jarang. Sekarang ganti versi perkokoh persatuan, ini juga bagus, diiringi Shalawat juga.
Satu lagi Iklan Partai yang saya suka, yaitu iklan Partai Mbak Mega versi Tumpeng serba impor. Nah, itu juga bagus, kita jadi tahu dan terinspirasi, ternyata begini keadaan bangsa kita. Semangat kita pun jadi ikut terpacu untuk memperbaiki keadaan.
Kesimpulannya, iklan politik yang bijak menurut saya yaitu iklan yang menginspirasi, mengedukasi masyarakat, dan mengangkat informasi bangsa, bukan mengangkat keunggulan partainya maupun tokohnya semata. Walaupun kualitas suatu partai tidak bisa dilihat hanya dari kualitas kampanye, tapi paling tidak, cara seperti itu sudah menunjukan sedikit kepedulian. Bahwa partai tersebut tahu dan peduli pada persoalan bangsa dan negara dan mengajak seluruh rakyat untuk ikut tahu dan peduli juga. Iklan tersebut akan memiliki nilai plus tersendiri dibandingkan iklan yang cuma narsis dan melulu membanggakan keunggulan sepihak. Berarti yang dipikirkan partai tersebut ya cuma persoalan partainya saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H