Pagi, setelah subuhan, aktivitas bakar-bakar lemak berharap menjadi hal yang rutin. Bukan hanya sendiri. Mengajak anak pertama dan kedua itu butuh energi tambahan untuk mengondisikannya. Ditambah si anak tengah memang tidak begitu suka aktivitas yang fisik-fisik.
Track sengaja dipilih yang berpeluang didapati obyek pemandangan yang menarik. Yang menggelitik untuk melayangkan pertanyaan.Â
Masih gelapnya suasana menambah sensasi sendiri berlari menyusuri selokan Mataram. Kekhawatiran info trending merebaknya kobra keluar dari sarang mampu dikalahkan dengan tapakan langkah kaki-kaki.
Joging sendiri sama bareng-bareng tentulah beda. Jauh. Bumbu ngobrol membuat joging bertambah sedap. Apalagi si Mbarep yang ter-suspect berbakat dalam berkomunikasi, sudah bisa ditebak apapun yang dilihat akan ia komentari.
Rute memasuki jalan tembus di tengah persawahan yang meluas. Tiba-tiba muncul ide untuk buat tebak-tebakan, sambil lari. Tapi bukan teka-teki humor ala buku-buku yang sering diburu saat bazar. Teka-teki yang menurutku kurang bermutu karena terkadang menjurus ke yang saru. Porno.
Ini tebak-tebakan yang memancing logika. Bahasa kerennya hipotesis lah. Seperti saat melihat di kanan-kiri terdapat sawah yang hanya dibiarkan rumputnya meninggi tak tergarap. Kulayangkan pertanyaan, "Mengapa sawah ini tidak ditanami padi ?"
Kukasih pesan untuk menjawab dengan dugaan-dugaan karena yang bertanya sendiri pun tak tahu pasti jawabannya. Si Kakak mulai menduga. Menghipotesis.
"Mungkin mau dibuat tempat sepak bola," jawabnya.
Oke, kupersilakan yang kedua. Kali ini ia agak bingung. Maklum masih kelas dua SD. Tapi tetap kuminta jawab sejawab-jawabnya supaya aura ngobrol tetap stabil.
"Supaya ada rumput," jawab si kedua. Oke, kataku. Jawaban kakak pertama kukonfirmasi.
"Kalau untuk main sepak bola kenapa tak ada gawang dan rumputnya masih tegak rapi berdiri, Kak?"