Rintik gerimis di senja yang menguning, ditambah merahnya mentari yang kian tenggelam. Aku melamun bersama pedihnya harap, ditemani senja yang selalu menyapaku disetiap sore menjelang, dan mentari yang selalu pamitan ketika malam datang.
Aku selalu rindu ketika senja datang. Benar kata orang, senja itu tak pernah berbohong, ia selalu datang tepat waktu. Tidak seperti dirimu yang selalu menghilang bersama tanyaku. Mungkin itulah alasan kenapa aku selalu merindukan senja.Â
Angin sore yang menghantarkan rindu, membangunkan lamunanku dengan sapaan mesranya.Â
"Buat apa kamu memikirkan dia, belum tentu dia juga memikirkan kamu?"
Aku hanya tersenyum dengan perkataannya. Aku pikir, ada benarnya juga. Buat apa aku menghabiskan waktu hanya memikirkan dia yang belum tentu.
"Hei, sudahlah! Lihat teman-temanmu, mereka sudah menyempurnakan separuh agamanya. Bukankah menyegerakan ibadah itu disarankan oleh agama?" Aku mengangguk mendengar celotehannya. Membiarkan ia memberikan wejangan sore sebelum mentari meninggalkan bumi.Â
Angin itu pergi berlalu, bersama senja yang kian menjauh. Memberikan jingganya untuk sekedar memberikan kabar, bahwa ia akan pergi meninggalkan aku dan kesendirianku.Â
Aku tersenyum, tertawa. Mencermati perkataan tadi, aku merenung ditengah tawaku, "Apakah aku harus seperti Khodijah, melamarnya dengan perantaraku?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H