Mohon tunggu...
Arief Sofyan Ardiansyah
Arief Sofyan Ardiansyah Mohon Tunggu... wiraswasta -

Hiduplah dengan senyuman

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penyakit “Tak Bisa Move-on” Menyerang Pendukung Jokowi-Prabowo

28 November 2014   16:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:37 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sekarang ini bangsa Indonesia terbagi ke dalam dua golongan besar, yaitu:

1.Kelompok penderita penyakit “tak bisa move-on

2.Kelompok yang merdeka dan melihat masa depan bangsa

Kelompok pertama ini merupakan kumpulan individu yang masih terjebak dalam romantisme masa lalu saat pemilu. Mereka berpikir dalam logika Jokowi vs Prabowo. Gejala penyakit ini sangat mudah dikenali, salah satu indikasinya, mereka selalu menilai orang dengan label pro Jokowi – pro Prabowo. Misalnya, jika ada sekumpulan mahasiswa yang berdemo menolak program rezim saat ini yang menaikan harga BBM  maka mereka akan diberi label anti Jokowi – Pro Prabowo.

Penyakit ini mampu menyerang siapa saja, dari mulai anak SMA sampai guru besar, dari mulai individu awam sampai awak media. Untuk yang terakhir kita bisa melihat dengan jelas pada media massa yang selalu melihat segala konflik di Indonesia dalam kacamata Jokowi vs Prabowo. Seperti ketika Kompas dan Tempo memberitakan konflik antara dalam tubuh DPR antara oposisi dengan pro-rezim, mereka selalu menyebutnya sebagai konflik antara kubu Prabowo dengan kubu Jokowi. Mereka lupa bahwa DPR itu wakil rakyat, bukan wakil partai.

Begitu masifnya penyebaran penyakit “tak bisa move-on” ini di media sosial. Semua orang menciptakan statusnya berdasar logika sesat Jokowi vs Prabowo, hingga membuat pengguna media sosial lainnya terpengaruh (paling tidak ikut membaca status) dan membuatnya menjadi “tak bisa move-on pasif”. Prinsipnya sama dengan perokok pasif, yang terkena dampak negatif dari merokok walaupun mereka tidak merokok.

Singkatnya, penderita penyakit ini lupa bahwa sebenarnya kita berjuangan demi Indonesia, demi masa depan bangsa dan otomatis, demi masa depan diri kita sendiri juga. Anda tak bisa begitu saja mengatakan kelompok nelayan yang kelaparan akibat tak bisa melaut gara-gara program rezim menaikkan harga BBM dan kemudian berdemo menentang rezim dan menyebut mereka sebagai anti Jokowi – Pro Prabowo. Jika anda memang demikian adanya, maka tak diragukan lagi, penyakit “tak bisa move-on” anda telah memasuki stadium kritis akut tingkat dewa.

Sedangkan golongan kedua merupakan kebalikan dari golongan pertama. Mereka mampu membebaskan diri dari jebakan masa lalu dan optimis menatap masa depan. Mereka melihat berbagai kejadian di Indonesia dengan kacamata nasionalisme. Terbebas dari dikotomi Jokowi vs Prabowo. Mereka memandang dirinya sebagai pengawal rezim penguasa saat ini. Bila rezim tetap mengemban amanah dan bekerja demi rakyat, mereka akan mendukungnya. Namun sebaliknya, bila rezim penguasa menyimpang, maka dengan segera kelompok ini segera meluruskannya lewat berbagai bentuk kritik, demonstrasi dan mungkin status di media sosial.

Memberi kritik kepada rezim penguasa merupakan hal yang wajar dilakukan oleh warga suatu negara. Semua orang di dunia melakukannya. Menjadi sangat aneh bila kritik terhadap rezim disebut sebagai tindakan anti Jokowi dan lebih lucu lagi sampai geli jika kritik itu disebut tindakan para pendukung Prabowo yang tak legowo..untuk yang satu ini saya ngakak sampai sakit perut.

Kritik juga bukan selalu tanda kebencian. Seperti layaknya orang tua dalam mendidik anaknya. Bila anak berbuat baik, orang tua akan mendukung namun bila nakal, orang tua akan memarahi dan menghukum. Namun bukan berarti orang tua tak sayang dengan anaknya. Memarahi dan menghukum justru wujud dari kasih sayang.

Cinta tak selalu ditunjukkan dengan dukungan, terkadang kritik atau bahkan demonstrasi merupakan perwujudan cinta sejati. Cinta yang membangun dan selalu menjaga rezim untuk selalu mengemban amanah kepada rakyatnya dan memenuhi janji-janjinya kepada rakyat Indonesia. Bukan cinta buta yang naif, yang selalu membenarkan segala hal yang dilakukan idolanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun