Mohon tunggu...
Arief Sofyan Ardiansyah
Arief Sofyan Ardiansyah Mohon Tunggu... wiraswasta -

Hiduplah dengan senyuman

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mari Berhenti Membicarakan Jokowi

28 November 2014   17:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:37 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setiap hari kata Jokowi selalu terdengar dan terlihat di manapun. Baik di televisi, di media sosial, dalam berita harian surat kabar atau terpampang di jalan raya yang masih memajang atribut kampanye masa lalu.  Begitu tingginya tingkat intensitas kemunculan kata Jokowi sehingga kita terperosok begitu dalam dan akibatnya, kita mengkaitkan segala hal dengan sosok Jokowi. Seakan-akan Jokowi adalah pusat dari segalanya, sumber dari semua keputusan rezim. Lalu, masyarakat pun seakan-akan terbagi menjadi dua, pro dan anti Jokowi. Jokowi pun menjelma menjadi dewa sekaligus iblis. Kita lupa bahwa Jokowi hanyalah bagian dari rezim penguasa saat ini. kita lupa pada tokoh-tokoh lain yang juga menduduki posisi kunci dalam rezim saat ini.

Kita lupa pada tokoh-tokoh besar pendukung rezim yang berkontribusi besar pada kebijakan yang diambil rezim. Mereka, para tokoh yang duduk di kursi dewan pertimbangan presiden. Kita lupa pada para menteri yang bekerja di dalam rezim. Kita lupa pada tim sukses yang mendukung kampanye rezim di masa pemilu lalu yang dahulu memberikan bantuan baik dukungan dan dana. Kita lupa kalau negara selalu menjalin hubungan dengan pasar. Para elit rezim berhubungan dengan elit kapitalis baik lokal maupun asing, entah dengan tujuan baik atau buruk. Kita tak tahu, karena kita lupa mengawasinya. Kita hanya terfokus pada sosok Jokowi. Kita mengacuhkan sepak terjang para elit ini.

Perhatian kita hanya terfokus pada seorang anggota partai yang diberi tugas oleh pimpinan untuk menjadi presiden. Untuk apa kita membuang-buang waktu untuk membicarakan seorang petugas partai dan menghabiskan waktu untuk membahasnya seakan – akan dialah pusat dari segalanya.

Bukankah lebih baik kita gunakan untuk membicarakan sepak terjang rezim penguasa. Rezim yang terdiri dari para elit parpol dan pemodal. Bukankah lebih baik kita awasi manuver-manuver rezim dalam usaha melaksanakan bahkan mungkin dalam beberapa sisi memaksakan programnya kepada rakyat, seperti menaikkan harga BBM dan mencabut subsidi kereta api secara hampir bersamaan. Bukankah seharusnya subsidi BBM dialihkan kepada transportasi massal seperti kereta api. Harga BBM yang naik bisa membuat orang beralih pada transportasi massal yang lebih murah dan berkualitas. Jika ini terjadi maka, konsumsi BBM untuk kendaraan pribadi akan berkurang, kemacetan pun akan terurai serta ketergantungan kita alat transportasi pribadi produk industri otomotif asing akan berkurang.

Namun, justru subsidi kereta api pun dicabut. Akibatnya, naiknya harga BBM tidak membuat orang beralih pada transportasi massal yang akan mengurangi pemakaian bensin, solar untuk kendaraan pribadi. Ketergantungan kita pada industri otomotif yang didominasi asing pun semakin meningkat.

Itu hanyalah satu contoh dari manuver-manuver belakang panggung yang luput dari pengamatan kita selagi kita sibuk dengan sandiwara di atas panggung.

Mari berhenti membenci dan mencintai Jokowi secara berlebihan. Justru, mari kita bersimpati kepadanya. Sungguh ia berada dalam posisi yang tidak mudah.

Dapatkan kita membayangkan seseorang yang mendapat dua mandat sekaligus, yaitu mandat dari rakyat sebagai presiden dan mandat dari partai sebagai petugas partai. Posisinya sangat sulit dan terjepit. Bagaimana Jokowi bisa menentang partainya, jika partainya mencabut dukungannya pada Jokowi, maka otomatis Jokowi akan tersingkir. Karena, pemenang pemilu yang lalu bukanlah Jokowi tapi partai pengusungnya. Untuk memahami hal ini, kita bisa melihat pada UUD 1945 pasal 8 ayat 3 yang berbunyi,

Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersamasama. Selambatlambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

Sekarang kita dapat melihat betapa terjepitnya posisi Jokowi. Tanpa dukungan partai dan kapitalis media massa serta dukungan akun-akun bayaran di media sosial (pasukan cyber) Jokowi bukanlah siapa-siapa. Jadi, mari kita bersimpati pada nasib Jokowi dan berhenti membicarakannya. Lebih baik, gunakan tenaga dan pikiran kita untuk mengawal rezim penguasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun