Mohon tunggu...
Arief Sofyan Ardiansyah
Arief Sofyan Ardiansyah Mohon Tunggu... wiraswasta -

Hiduplah dengan senyuman

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

After-Feminism: Membebaskan Feminisme dari Jeratan Modal

25 September 2014   00:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:39 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebuah karya tulis mengkritik sebuah film yang menampilkan perempuan dalam posisi subordinat. Tertindas di bawah patriarki. Seorang ibu rumah tangga yang mendapatkan tindak kekerasan dan tidak bisa melawan karena tergantung sepenuhnya dengan suaminya karena ia tak bekerja. Sang kritikus kemudian menyerukan perlunya perubahan posisi subjek perempuan dalam film. Semua atas nama kesetaraan. Perempuan seharusnya memiliki posisi yang sama dengan laki-laki untuk mencari pekerjaan dan berperan di lingkungan sosial. Tak hanya terpenjara dalam isu domestifikasi dan ketertindasan.

Perjuangan pun berlanjut dan meluas. Ribuan orang di seluruh dunia kemudian menyuarakan hal sama, baik itu laki-laki atau perempuan. Perubahan kemudian terjadi, perempuan masuk ke dalam lapangan kerja. Walaupun di banyak tempat, hambatan double burden masih mengganjal. Perempuan boleh bekerja asal tak melupakan tugas utama sebagai ibu rumah tangga. Namun, pengakuan dalam bidang sosial terutama kebebasan dari kekangan budaya membuat perempuan bisa bermimpi lebih indah, tidur lebih nyenyak dan berharap hari esok akan penuh kebahagiaan. Perubahan ini, (saya memilih kata perubahan dari pada kemajuan karena memiliki keyakinan bahwa kemajuan hanyalah mitos zaman pencerahan yang dihidup-hidupkan) tentu menggembirakan. Hanya saja, ada satu hal yang mengganjal dalam pikiran. Sebuah hipotesis sederhana tentang hukum komoditas.

Tenaga Kerja adalah Komoditas

Melihat keadaan ini, maka perempuan yang bekerja kemudian menjadi bagian dari buruh yang menjual tenaga kerja. Dengan berjuang untuk lepas dari jeratan patriarki, perempuan justru masuk ke dalam pasar komoditas yang dahulu hanya menjual tenaga kerja laki-laki. Dan masalah akan muncul ketika kita memasukkan hukum pembentukan harga dari komoditas. Hukum sederhana yang seringkali kita dengar, ketika penawaran naik sedang permintaan turun maka harga akan turun kemudian jika penawaran sedikit sedang permintaan sangat banyak harga akan naik. Singkatnya, jika barang melimpah maka harga akan turun.

Feminisme membuat perempuan membanjiri pasar tenaga kerja sebagai komoditas yang tentunya membuat supply meningkat sangat tinggi. Dengan persediaan tenaga kerja yang begitu tinggi sedangkan pihak kapitalis yang menyerap tidak bertambah, otomatis harga pun turun.Harga tenaga kerja disebut upah/gaji.

Bersandar pada Althusser lewat tulisannya tentang reproduksi kondisi produksi, prinsip pembentukan upah/gaji didasarkan pada reproduksi kekuatan produktif (sumber daya manusia).

Bagaimanapun, begitulah sebenarnya cara reproduksi material sumber daya manusia bekerja, mengingat bahwa upah hanya merepresentasikan sebagian dari nilai – yakni nilai yang diproduksi dari pengeluaran sumber daya manusia semata – yang tidak dapat diabaikan demi reproduksi dirinya: dan seterusnya, nilai yang tidak dapat diabaikan bagi rekonstitusi tenaga kerja (uang untuk memenuhi sadang, pangan, papan, atau singkat kata, untuk memastikan bahwa keesokkan hari, sang buruh dapat mempersembahkan dirinya di altar suci pabrik yang bersangkutan, dan di setiap hari yang masih akan dilaluinya, sebagai manusia yang masih hidup, dengan seizin Tuhan tentunya); dan dapat kita tambahkan, nilai yang tak dapat diabaikan demi membesarkan dan mendidik anak-anak yang merupakan reproduksi dari kaum proletariat sebagai sumber daya manusia itu sendiri (2008, 07)

Inilah yang kemudian menjadi upah minimun regional (UMR). Upah sangat berguna bagi kapital untuk mampu membuat buruh bisa kembali lagi bekerja ke esokkan harinya dan memberikan biaya pendidikan bagi anak buruh yang merupakan calon buruh. Satu hal yang harus disadari, di sini diperlihatkan buruh hidup dalam sebuah institusi keluarga yang tentunya terdiri dari ayah, ibu dan anak. Upah harus mencukupi kebutuhan masing-masing pihak dalam keluarga sehingga mereka bisa memainkan peran/posisi subjek sosial dalam reproduksi kekuatan produksi (sumber daya manusia).

Keadaan ini kemudian berubah semenjak perempuan masuk dalam dunia kerja. Jika dahulu kapital membayar sang suami sekarang ia juga dapat membayar sang istri. Keadaan inilah yang menjadi masalah inti dalam tulisan ini. untuk lebih mudahnya, mari kita ambil sebuah analogi sederhana.

Sebelumnya sebuah keluarga membutuhkan uang 1 juta untuk bertahan hidup dalam kondisi minimal. Kapital memberikan gaji pada sang ayah 1 juta. Lalu, setelah menerima uang, buruh (sang ayah) secara otomatis menggunakan uang itu untuk mereproduksi kekuatan produksi kapital, dan begitu seterusnya. Kemudian, suatu saat, sang istri juga bekerja. Idealnya, keluarga ini mendapatkan 2 juta per bulan karena memiliki dua buruh dalam 1 keluarga. Namun, bukan begitu cara kerjanya. Secara makro, jumlah buruh meningkat 2 kali lipat dan pembeli tenaga kerja tidak meningkat signifikan. Peningkatan komoditas dua kali lipat dapat membuat nilai gaji/upah turun hingga 50%. Sehingga begitu, buruh perempuan (sang istri) mulai masuk dunia kerja upah akan turun hingga hanya 500 ribu. Sehingga satu keluarga ini tetap mendapatkan uang 1 juta per bulan. Bukankah kapital hanya memberikan upah untuk buruh supaya mereka dapat mempersembahkan dirinya kesokkan hari dan seterusnya dan selamanya (anak mereka merupakan calon buruh). Sekarang, modal bisa membeli 2 buruh dengan hanya membayar 1 juta dan tetap menjaga konsumsi terus berjalan

Sebuah Kasus di Amerika

Robert Reich menteri tenaga kerja di pemerintahan Bill Clinton dalam film dokumenter berjudul “Inequality For All” memberikan sebuah data menarik (menit ke 55 dalam film). Pada 1970an, ketika awal postfordism lalu gerakan sosial baru (walaupun dia hanya berbicara dari sisi ekonomi semata) upah pekerja tidak naik, justru stagnan padahal produktivitas dan konsumsi terus meningkat. Artinya, profit perusahaan terus tumbuh. Padahal, profit dan produktivitas digerakkan konsumsi dan konsumen terbesar adalah kelas menengah yang menjadi karyawan. Apabila upah tetap maka, seharusnya pertumbuhan ekonomi menjadi stagnan. Ada sesuatu yang terjadi di tahun 1970an, yaitu perempuan mulai masuk angkatan kerja.Dengan itu, keluarga memiliki dua sumber penghasilan dan di sini kita kembali pada tulisan Althusser dan hukum komoditas di atas.

Sebenarnya ada satu hal lagi yang memang menjadi dasar dari segalanya, yaitu sifat dasar dari pertumbuhan profit kapitalis. Karl Polanyi berkata, ketika perekonomian kapitalis mulai berdiri dan tumbuh di Inggris pada abad 17-18, pada saat itulah kemiskinan muncul.

Sampai pada era Speenhamland tidak ada jawaban yang memuaskan tentang dari mana orang miskin berasal. Namun, bagaimanapun juga terdapat semacam kesepakatan umum diantara pemikir abad ke delapan belas bahwa kepapaan dan kemajuan tidak terpisah satu sama lain. Jumlah terbesar orang miskin tidak akan ditemukan di negeri-negeri yang tandus atau diantara negeri-negeri yang tidak beradab namun di negeri yang paling subur dan paling beradab, tulis John M’Farlane pada 1782. Giammaria Ortes, ahli ekonomi Italia, mengatakan dalam sebuah aksioma bahwa kemakmuran sebuah bangsa berhubungan dengan jumlah penduduknya; dan penderitaan berhubungan dengan kekayaan yang dimilikinya (1774). Dan bahkan Adam Smith dengan berhati-hati menyatakan bahwa upah tenaga kerja tertinggi tidak terdapat di negara paling kaya. Jadi, M’Farlane, tidak sedang mengujicobakan sebuah pandangan yang tidak lazim ketika mengemukakan keyakinan bahwa karena sekarang Inggris sedang mendekati puncak kebesarannya “jumlah orang miskin akan terus meningkat” (2003, 140).

Saya menyimpulkan dari tulisan Karl Polanyi, bahwa semakin perekonomian (profit) tumbuh , semakin dalam kemiskinan penduduk karena dari merekalah profit berasal. Bukan hanya penyedotan nilai surplus namun penghisapan dan eksploitasi nilai “kehidupan”. Kembali pada Polanyi yang menyatakan tenaga kerja adalah komoditi fiktif karena bentuk sebenarnya dari tenaga kerja adalah kehidupan manusia itu sendiri (2003, 98) yang tidak dibuat oleh pabrik. Jika, kehidupan adalah bentuk sebenarnya dari tenaga kerja maka nilai upah yang ditetapkan di atasnya adalah fiktif. Nilai yang dibangun dari konstruksi angka. Maka profit sebenarnya adalah bentuk matrealisasi dari penyerahan kehidupan penduduk kepada kapitalis. Semakin besar profit, semakin dalam penghisapan kehidupan. Di sini saya masih sangat bingung bagaimana menjelaskannya. Namun saya memiliki hipotesis, semakin kapitalisme tumbuh (ekonomi tumbuh) semakin dalam penghisapan kehidupan terjadi. Orang-orang akan bekerja lebih keras dan semakin keras dari waktu ke waktu namun upah akan terus menurun.

Saat ini gambaran mengenai upah yang lebih besar dari sebelumnya sebenarnya hanya tipuan dari sistem moneter. Sekarang penghasilan penduduk Indonesia perkapita mencapai sekitar kurang lebih 3000 dollar, sangat jauh dibandingkan tahun 1996 yang hanya 800 dollar. Namun perlu diingat, saat itu harga bensin tak mencapai 1000. Saya masih ingat, pada waktu itu, dengan uang 1500 sudah bisa makan mie ayam. Uang 1000 bisa membeli baksa. Peningkatan jumlah pendapatan per kapita hanyalah gelembung ekonomi yang di dapat dari inflasi hebat. Apalagi saat ini rasio gini Indonesia mencapai angka 4,1. Ketidakadilan pembagian kue ekonomi sedang berada di puncak ketimpangan. Maka, nilai gaji UMR yang mencapai 2 juta di Jakarta sebenarnya sangat rendah. Sebuah bukti dari stagnasi upah.

Perubahan Demi Penghisapan Terus-Menerus

Akibat dari semakin dalamnya penghisapan “kehidupan” dan orang akan semakin dalam tereksploitasi maka kapitalis harus menciptakan sebuah situasi dan kondisi yang memungkinkan kondisi ini untuk terjadi. Seperti kata Emile Durkheim, untuk menggapai tujuan, maka pembangunan sarana yang digunakan untuk mencapainya merupakan sebuah tujuan yang harus dicapai (dalam Giddens, 2009, 115). Sarana untuk menindas manusia lebih dalam harus diciptakan. Pada awalnya di Inggris pada abad pertangahan, sarana ini dibangun dengan menutup lahan terbuka dan menetapkan hukum private property. Petani dipaksa keluar dari lahan dan terlunta di kota-kota. Mereka tak memiliki apapun selain tenaga untuk di jual. Mereka itulah buruh pertama kapitalis (Giddens 2009, Polanyi 2003). Sarana ini diwujudkan dengan menghancurkan institusi agama (Gereja) dan feodalisme lewat berbagai perang pemikiran dengan menggunakan media sebagai meriam dan filsafat serta budaya sebagai pelurunya.

Saat ini, perubahan sosial demi terciptanya eksploitasi kehidupan yang semakin dalam terus terjadi namun dinamakan kemajuan. Untuk itu, sarana-sarana baru harus terus diciptakan dan penghancuran institusi sosial yang tersisa harus dilakukan. Di sini, saya melihat feminisme adalah bagian dari hal tersebut. dengan catatan, bila feminisme hanya berteriak untuk bisa bebas dari patriarki, namun tak menyiapkan langkah untuk kebebasan dari ketergantungan termasuk ketergantungan terhadap kapitalis.

Jadi, saat ini pertanyaan yang penting bukanlah apakah perempuan bisa dan sebaiknya bebas dari laki-laki tapi lebih kepada apa yang akan dilakukan dan didapatkan setelah bebas nanti. Dalam kasus lain mungkin dengan kasus Irian Jaya. Bukan apakah Irian Jaya harus memerdekaan diri atau tidak dari Indonesia tapi lebih kepada, kalau sudah merdeka apakah Irian Jaya akan benar2 bebas atau hanya akan masuk ke mulut Australia, Amerika dan lainnya. Seperti pepatah lama, keluar dari mulut harimau, masuk mulut buaya.

After Feminism: Sebuah Jalan Lain

Melihat hal ini, maka perlu adanya bentuk kritik yang berbeda dalam feminisme (dan juga dalam cultural and media studies). After feminism adalah istilah untuk membangun langkah yang harus dilakukan setelah nanti kebebasan dari patriarki di raih. Apa yang akan dilakukan setelah feminisme tercapai dan lebih baik lagi, ketika berfikir ke mana arah perjuangan feminisme yang diinginkan. Tanpa melihat hal ini, impian kesetaraan buka tidak mungkin akan menjadi bencana. Seperti ketika tentara merah berhasil mendirikan Uni Soviet, bukan kemakmuran namun justru pembantaian Gulag yang tercipta. Lalu setelah membunuh puluhan juta orang, sistem itu roboh dengan menyisakan negara-negara dunia yang menanggung hutang besar Marshall Plan juga sebagai akibat dari ketakutan yang tercipta selama perang dingin. Setelah itu, kapitalisme masuk dalam era postfordis dan globalisasi. Penindasan dan penghisapan menjadi lebih dalam dari sebelumnya.

Jangan sampai alat untuk melawan penindasan ini justru digunakan untuk menciptakan sarana atas penindasan bentuk baru. Kecurigaan ini memang masih berupa hipotesis yang bahkan masih lemah, namun bukan berarti tidak mungkin. Buktinya, saat ini gerakan feminis dan gerakan budaya lain justru dibiayai oleh donatur yang mendapatkan uangnya dari penghisapan dan eksploitasi. Donatur terbesar adalah kapitalis sejati.

Di sini saya takkan mencoba menerapkan prinsip moralitas dan tanggung jawab akademik, benar dan salah, karena saya tak memiliki kapasitas untuk itu. Namun, lebih kepada perlunya sebuah studi mengenai tindakan/praxis dari cultural dan media studies. Melihat bagaimana keberlanjutan efek dari kritik yang dilontarkan. Sebuah studi yang memungkinkan kita untuk menilai secara keseluruhan atau paling tidak sebagian, ekses dari kritik/perjuangan yang kita lakukan. Melihat lebih dalam bagaimana kritik ini kemudian membentuk masyarakat ke depannya.

Epilog

Hari terus berganti dan perjuangan terus berlanjut. Harapan akan masa depan yang lebih baik bagi kaum subordinat dan menciptakan keadilan terus memenuhi hati. Harapan itu, entah hanya sekedar utopia kosong atau ideologi yang menjadi dogma, namun sekecil apapun ia tetaplah sebuah asa yang menyalakan api semangat, sekecil apapun itu.

Daftar Pustaka

Althusser, Louis.(2008). Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra (Penerj.Olsy Vinoli Arnof)

Giddens, Anthony.(2009). Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Jakarta: UI-Press (Penerj.Soeheba Kramadibrata)

Polanyi, Karl.(2003). Transformasi Besar: Asal-Usul Politik dan Ekonomin Zaman Sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Penerj.M.Taufiq Rohman)

Film:

InEquality For All di produksi oleh Weinstein Company & 72 Productions (2013)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun