Mohon tunggu...
Arief Sofyan Ardiansyah
Arief Sofyan Ardiansyah Mohon Tunggu... wiraswasta -

Hiduplah dengan senyuman

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rezeki, Penghisapan Nilai Surplus dan Riba

26 Juli 2014   18:09 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:06 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rezeki merupakan kata yang banyak menghias Al-Quran dan menjadi bagian dari doa umat muslim. Semua orang ingin mendapat tambahan rezeki yang seringkali dikaitkan dengan uang dan kesehatan. Sebenarnya, makna rezeki yang diyakini ini sangat sempit kalau tidak bisa dikatakan kurang tepat. Secara bahasa rezeki bermakna segala yang dapat diambil manfaatnya. Artinya, rezeki tidak mewujud hanya pada barang atau keadaan tapi pada pengambilan manfaat. Uang dapat dikatakan rezeki kalau dapat diambil manfaatnya. Bila ia dihamburkan untuk sesuatu yang sia-sia bahkan merugikan diri sendiri seperti membeli narkoba maka tak lagi menjadi rezeki. Begitu juga dengan kesehatan.

Ketika melihat dalam konteks yang lebih luas konsep rezeki berkaitan dengan usaha yaitu upaya manusia untuk mengambil manfaat. Sebatang lidi dapat menjadi rezeki bila ia dapat dimanfaatkan untuk mengambil sisa makanan yang terselip dalam gigi. Manfaat yang ada pun dapat ditingkatkan kadarnya atau diubah. Lidi bisa dimanfaatkan sebagai alat bantu dalam membaca Al-Quran, dijadikan sapu lidi, dibuat kerajinan dan lainnya. Sejak rezeki merupakan sebuah usaha manusia maka rezeki merupakan tindakan kerja yang memproduksi manfaat. Usaha memperoleh rezeki merupakan sebuah proses aktif. Sesuatu yang membutuhkan usaha, tak cukup hanya berdoa. Rezeki tidak ditunggu tapi diusahakan. Rezeki pun tidak terbatas. Segala sesuatu di sekitar kita bisa menjadi rezeki. Sampah adalah rezeki kalau kita bisa mengambil dan bahkan meningkatkan manfaatnya.

Tak hanya sesuatu yang bersifat ekonomi, senyum adalah rezeki ketika ia menyehatkan tubuh dan mempererat hubungan persaudaraan. Rezeki bahkan bisa diciptakan dengan memberi, misalnya dengan memberi hadiah, zakat, shodaqoh karena akan mampu membangun hubungan baik, lalu dalam konteks makro uang yang disalurkan lewat zakat dan ibadah sejenis lainnya dapat menggerakkan ekonomi yang selanjutnya semakin meluaskan rezeki.

Rezeki sangatlah baik, namun menjadi masalah ketika manfaat yang kita ciptakan dan usahakan melalui tindakan produksi yang aktif justru diambil paksa oleh orang lain. Manfaat yang seharusnya menjadi hak kita menjadi berkurang atau hilang sama sekali. Ketidakadilan ini telah ada semenjak zaman manusia bermula. Tindakan – tindakan jahat berupa penipuan, pencurian, perampokan dan segala variannya serta berbagai tindakan curang yang merugikan orang lain. Dalam beberapa sisi tindak kejahatan ini bisa dilawan lewat aparat penegak hukum seperti kepolisian. Hanya saja, institusi ini hanya mempu menangani sedikit saja kejahatan pencurian manfaat. Itupun hanya manfaat yang bersifat materiil, yaitu usaha untuk menciptakan manfaat yang telah diubah  menjadi barang, seperti uang misalnya. Penegak hukum tak mampu menangani jenis pencurian manfaat lainnya. Seperti misalnya pencurian manfaat oleh para pengusaha atas usaha produktif buruhnya. Inilah yang menjadi keprihatinan besar Karl Marx dalam konsep yang disebut penghisapan nilai surplus.

Penghisapan Nilai Surplus

Secara sederhana pencurian manfaat menurut Karl Marx dapat dilihat dalam kasus di bawah ini,

Seorang buruh bekerja meningkatkan manfaat tembakau dengan mengolahnya menjadi rokok. Setelah menjadi rokok, produk inipun memiliki 2 manfaat yaitu manfaat penjualan dan manfaat kegunaan, atau yang disebut oleh Karl Marx sebagai nilai tukar dan nilai guna. Namun kedua manfaat yang diusahakan oleh kerja buruh sebelumnya justru tak dapat dinikmatinya. Buruh harus menyerahkan semua manfaat itu pada pengusaha pemilik pabrik rokok tempat ia bekerja. Manfaat yang dihasilkan buruh ditukar dengan gaji semata yang jumlahnya diukur dalam jumlah minimum (UMR : Upah Minimum Regional) walaupun buruh memberikan kerja maksimal. Kita tahu bahwa manfaat yang diberikan buruh jauh lebih besar dari gaji yang diterimanya. Itulah yang menjadi sumber keuntungan sang pengusaha. Padahal ia tidak bekerja, buruhlah yang bekerja memproduksi rokok. Tindakan aktif buruh dalam menciptakan dan meningkatkan manfaat ini kemudian dicuri oleh pengusaha.

Analisis Karl Marx ini bersumber pada teori mengenai konflik kelas antara buruh sebagai pihak yang tak memiliki alat produksi dengan kaum borjuis/pengusaha yang memiliki alat produksi. Salah satu hal yang disayangkan dari Karl Marx adalah dia hanya membahas pencurian manfaat oleh pengusaha terhadap buruhnya. Ia melupakan pencurian manfaat lain yang terjadi di seluruh sendi kehidupan manusia salah satunya yang dilakukan oleh lembaga keuangan seperti bank, leasing, BPR, BMT dan lainnya lewat sesuatu yang disebut bunga. Pencurian manfaat dilakukan dengan sangat sistematis. Untuk memahaminya kita dapat ajukan sebuah contoh sederhana,

Budi meminjam uang dari Charles sebesar 1.000.000 dengan bunga sebesar 5% setiap bulan. Budi mengembalikan uang itu sebulan kemudian sejumlah 1.050.000 sesuai perjanjian. Di sini Charles mendapatkan 50.000 tanpa melakukan apapun. Namun sebenarnya, 50.000 itu adalah manfaat yang diusahakan oleh Budi yang kemudian dihisap oleh Charles.

Maka di sini kita melihat bank yang diwakili Charles mendapatkan keuntungan dengan menyedot manfaat yang dihasilkan dari tindakan produktif manusia peminjam yang dimatrealisasikan dalam bentuk uang. Ini adalah bentuk ketidak adilan yang rasanya kurang tepat bila hanya direduksi dalam teori konflik kelas ala Karl Marx. Karena dasar penghisapan bukanlah bersumber pada dominasi kelas tetapi pada penggunaan uang sebagai bentuk legitimasi untuk mencuri manfaat yang dihasilkan manusia lain demi kepentinan pribadi yang disebut profit. Solusinya menurut saya ada tiga yaitu penggunaan sistem bagi hasil untuk kerja, penghapusan segala macam tambahan atas hutang dan meninjau kembali konstruksi makna mengenai uang.

I.Bagi Hasil versus Konflik Kelas

Konsep utama dari rezeki adalah usaha manusia dalam mengambil manfaat. Semua usaha dalam memperoleh rezeki harus dihargai sekecil apapun usaha yang dilakukan. Dalam produksi pabrik harus diakui proses produksi tak hanya melibatkan buruh produksi tapi juga buruh di bidang pemasaran, manajer, CEO serta pemilik modal. Semua bekerja sama dalam kadar tertentu karena memang fitrah manusia untuk bergotong – royong saling membantu. Karena itulah semua pihak seharusnya mendapatkan bagian dari sesuatu yang sudah diusahakan olehnya. Konsep bagi hasil tentu jauh lebih berguna diterapkan di sini.

Bagi hasil mendasarkan pembagian manfaat pada pembagian kerja dan mengakui peran semua orang yang terlibat. Sedangkan teori konflik kelas Karl Marx bersifat meniadakan satu pihak demi kehidupan pihak yang lain. Membagi manusia menjadi dua kelompok besar yang saling bertentangan yaitu kelas proletar dan kelas borjuis. Hal ini bertentangan dengan sifat dasar manusia yang sesungguhna condong pada kasih sayang. Semua manusia tentu ingin dicintai, disayangi dan hidup dalam damai. Lagipula, konflik kelas yang seringkali diubah namanya menjadi perjuangan kelas untuk membangkitkan semangat heroik dalam bermusuhan, tidak mengakui sumbangsih satu pihak dalam produksi manfaat. Buruh tidak mengakui pengusaha dan sebaliknya. Penghilangan pengakuan peran pihak lain merupakan bentuk ketidak adilan lainnya. Sungguh sangat disayangkan bila kita ingin menghilangkan ketidak adilan namun dengan cara menciptakan ketidak adilan baru bahkan bersamaan dengan itu menciptakan bibit konflik antar kelompok yang hanya akan menghancurkan satu sesama.

II.Zakat, Pinjaman dan Riba

Sebelumnya saya sempat menyinggung sedikit mengenai keuntungan zakat antara lain mampu menggerakkan roda ekonomi. Misalnya, A menerima zakat 100.000. Ia lalu membelanjakannya di pasar untuk membeli kebutuhan pokok. Pedagang pasar menerima uang itu dan menggunakannya untuk kepentingan lain. Begitu seterusnya. Uang itu berputar dan menggerakkan perekonomian.

Berbeda dengan pinjaman. Dalam pinjaman, uang harus dikembalikan. Artinya, uang tersebut tidak menggerakkan perekonomian yang menjadi bagian dari muamalah. Uang akan kembali pada sang pemilik. Sedangkan riba jauh lebih buruk lagi. Riba tak hanya tidak menggerakkan perekonomian, lebih dari itu, riba menyusutkan gerak roda ekonomi dengan cara mengambil uang yang dipinjamkan beserta bunga dan memasukkannya ke dalam dompet pribadi.

Mari ambil contoh sederhana. Kita ambil contoh sebelumnya. Sebelumnya dijelaskan Charles sang lintah darat mengambil bunga 50.000 dari Budi. Bunga itu adalah tambahan hutang di mana jika Budi ingin melunasinya maka ia harus mengambil manfaat dalam bentuk uang di tempat lain dan memberikannya pada Charles. Uang yang tadinya berputar menggerakkan ekonomi diambi Budi lewat usaha dan masuk kekantong Charles beserta uang 1.000.000 hutang Budi. Otomatis, uang yang berputar dan menggerakkan ekonomi kini telah berkurang 50.000. Bayangkan bila Charles memberikan hutang kepada 1.000.000 orang lain dengan jumlah uang dan bunga yang sama maka ia akan menyedot 50.000.000.000 (lima puluh milyar) uang yang beredar tanpa menciptakan nilai tambah apapun. Jumlah uang beredar akan menyusut dan membuat ekonomi berjalan semakin lambat karena uang yang berada ditangan masyarakat semakin sedikit. Belanja masyarakat akan menurun lalu keuntungan penjual pun menyusut bahkan merugi. Semakin banyak bunga yang dihisap oleh saku Charles, semakin lesu perekonomian. Salah satu jalan keluar yang sering dilakukan adalah dengan mencetak uang baru yang akan memenuhi pasar, menggerakkan ekonomi namun di saat yang sama menurunkan nilai mata uang. Itulah yang membuat harga semakin naik. Sejatinya, bukan harga barang yang semakin mahal, tetapi nilai uang yang terus merosot sehingga dibutuhkan semakin banyak uang untuk membeli barang yang sama.

Charles adalah perwujudan dari bank, leasing, BPR. Saat ini puluhan juta penduduk Indonesia meminjam uang dari tempat itu dan harus membayar bunga. Uang pun terkumpul di pundi-pundi bank. Semakin maju sektor usaha perbankan ini, semakin miskin masyarakat Indonesia.

Maka, sungguh benar ayat Allah yang menghukum para ahli kitab yang menimbun harta dan melaknat pemakan riba. Karena kesemuanya menjadi parasit yang menghisap rezeki orang lain yang bukan menjadi haknya. Ironisnya, ekonomi ribawi inilah yang menggerakkan perekonomian dunia saat ini dan terus-menerus membawanya ke dalam krisis. Tak jarang bank dengan cap syariah pun menjadi bagian darinya.

III.Konstruksi Konsep Uang

Pada dasarnya, uang bukanlah benda bernilai. Nilai yang ada padanya sebenarnya hanyalah persepsi belaka. Mari kita lihat contoh berikut,

Suatu saat Badrun mendapatkan uang sebesar 10,000.000.000 (sepuluh miyar) dalam mata uang Ethiopia. Ia lalu membawa uang itu untuk berbelanja di pasar tradisional dekat rumah untuk membeli dodol. Penjual dodol tak mau menerima uang itu. Penjual itu baru mau menerima bila uang itu diubah menjadi rupiah. Padahal di Ethiopia sana, uang itu dapat membeli apapun. Tak menyerah, Badrun segera pergi ke Money Changer untuk menukar uang menjadi rupiah. Sayangnya, tak ada satupun Money Changer yang mau menerimanya. Lalu, uang dengan nilai 10 milyar itupun menjadi sama sekali tidak bernilai. Mungkin nilainya di Indonesia bisa disamakan dengan uang monopoli. Lalu, kemanakah perginya nilai 10 milyar yang tadinya melekat itu?

Jawabnya hanya satu, sebenarnya uang itu tak bernilai sama sekali. Beda dengan air misalnya yang memiliki nilai di manapun ia berada. Uang itu mendapatkan nilainya dari jaminan pemerintah dan sistem moneter global serta lokal yang mengatur nilai uang. Bisa dibilang, uang adalah sihir paling nyata yang menipu manusia seluruh dunia.

Perlu diingat, bahan dasar pembuatan uang adalah kertas. Uang hanyalah kertas yang diberi angka. Ia bisa dicetak sebanyak apapun, sama seperti kertas lainnya. Namun, karena sihir yang begitu nyata, kertas ini bisa digunakan untuk membeli apapun. Uang menjadi ukuran dari tindakan produktif yang mengandung tenaga kerja dalam menciptakan dan meningkatkan manfaat yang bisa diambil. Kita membiarkan diri kita dibeli oleh benda yang tak bernilai dan menjadikan benda itu sebagai matrealisasi tindakan produktif. Bahkan kita menjadikan uang sebagai tuhan, sebagai berhala-berhala kecil yang kita puja melebihi Tuhan Sang Pencipta. Akibatnya, pencurian manfaat dari rezeki kita mendapatkan alasan pembenar. Tak ada kata lain, kita harus berjuang untuk menciptakan sistem moneter yang lebih berkeadilan.

PENUTUP

Rezeki adalah segala yang dapat diambil manfaatnya. Sungguh rezeki Allah tak terbatas. Namun berbagai bentuk pencurian manfaat yang dilakukan pihak lain menyempitkan rezeki kita. Pencurian yang dilakukan lewat penghisapan nilai surplus, dan ekonomi ribawi yang didukung oleh sistem moneter global. Ketidakadilan ini harus segera diakhiri dan kita harus membebaskan rezeki Allah yang tertahan tangan-tangan setan. Untuk mampu melawan tentu pertama kali kita harus memahami bagaimana ketidakadilan terjadi. Itulah tujuan dari tulisan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun