Saat ini, di tengah hingar bingar berita kecurangan pemilu ada satu berita lagi yang tak kalah hebatnya. Berita mengenai aborsi yang diperbolehkan bagi korban pemerkosaan. Berita ini sangat mengejutkan karena pada dasarnya ia melegalkan aborsi dalam kondisi apapun. Salah satu logika yang mendasarinya adalah hak kontrol atas tubuh perempuan.
Lalu, ia juga melemparkan sebuah logika terbalik yang tak masuk akal. Bagaimana mungkin sang bayi yang tidak mengetahui apapun, dan merupakan sebuah bentuk kehidupan paling suci yang diharapkan oleh banyak orang menjadi pihak yang harus dibunuh lewat aborsi sedangkan penjahat yang bersalah hanya di hukum penjara. Di dalam penjara sang penjahat mendapatkan pelayanan baik, makan teratur , diperhatikan hak asasinya bahkan ditentang hukuman matinya. Apakah dunia ini memang sudah benar-benar gila?
Kontrol Atas Tubuh
Tubuh telah menjadi tema yang ramai dibicarakan, terutama tubuh perempuan. Banyak literatur akademik yang membahas keterjajahan tubuh perempuan. Di mana perempuan tak berhak mengontrol tubuhnya karena ia di bawah dominasi laki-laki. Penjajahan atas tubuh ini bermacam-macam bentuknya, misalnya pernikahan yang dipaksaan, penghargaan pada keperawanan sedangkan laki-laki tak dituntut mempertahankan keperjakaan, sebagai objek alat KB dan lainnya. Ada juga penjajahan lewat pandangan, seperti menjadikan perempuan sebagai objek seks. Praktek kasarnya, laki-laki memandang perempuan sebagai objek seks dan memperlakukannya seperti itu dalam imajinasinya. Lalu, hamil dan melahirkan pun menjadi wacana yang dibicarakan.
Dalam masyarakat berkembang wacana yang mengatakan hamil dan melahirkan dianggap sebagai bentuk kesempurnaan bagi perempuan. Perempuan yang mandul akan dianggap masyarakat bukanlah perempuan seutuhnya. Hal ini bisa dilihat dalam banyak sinetron di mana perempuan mandul diceraikan atau terpaksa harus menyetujui pernikahan kedua suaminya. Tak jarang, sang istri sendiri yang mengajui ketidaksempunaannya dan secara sukarela mencarikan istri kedua bagi suaminya. Saya mengambil contoh sinetron karena itulah yang tampak paling jelas dan apa yang terjadi di sinetron dalam beberapa sisi merupakan representasi dari realitas. Bagi feminis, inilah salah satu bentuk penjajahan atas kontrol tubuhnya di mana reproduksi menjadi bagian darinya.
Berbagai macam kasus di atas adalah praktek-praktek penjajahan tubuh perempuan. Para feminis pun (baik laki-laki dan perempuan) berjuang lewat berbagai macam cara untuk membebaskan perempuan dari penjajahan ini. Salah satu bentuknya lewat penentangan terhadap pandangan hegemonik tentang kehamilan perempuan. Para feminis menciptakan wacana tandingan bahwa kehamilan dan melahirkan adalah hak perempuan. Mereka hamil untuk kepentingan diri bukan karena keinginan laki-laki. Tubuh berada dalam kontrol kesadaran perempuan sepenuhnya, termasuk aborsi. Karena tubuh perempuan adalah milik perempuan sepenuhnya, maka perempuan boleh menyangkal hak bagi manusia lain atas tubuhnya, bahkan jika manusia itu adalah bayi yang dikandungnya. Di sinilah perdebatan mulai memanas dan perdebatan ini telah berjalan selama beberapa dekade di seluruh dunia.
Pandangan aborsi bebas sebagai perwujudan kontrol penuh atas tubuh perempuan itu telah lama diwacanakan dan mendapatkan perlawanan sengit, terutama di barat yang menjadi tempat awal munculnya wacana. Gereja Katholik menjadi lawan utama dari wacana kebebasan aborsi ini. Jadi janganlah ada anggapan aborsi bebas itu budaya barat. Katholik mempunyai pandangan yang sama dengan Islam yang mengutuk aborsi kecuali untuk menjauhkan calon ibu dari penyakit yang membahayakan nyawa. Pertentangan ini bersumber pada pilihan yang harus diambil, yaitu,
·Apakah kita menganggap tubuh perempuan adalah hak perempuan sepenuhnya atau
·Tubuh perempuan juga hak bagi bayi dalam kandungannya?
Saya yakin, bagi banyak orang pilihan ini sangat kejam dan memisahkan dua tubuh yang berada dalam satu kesatuan. Namun, ini bukanlah buah simalakama
Bayi adalah manusia dalam keadaannya yang paling murni dan bernyawa. Membunuhnya tanpa alasan yang jelas merupakan bentuk pembunuhan. Sejatinya tubuh bayi dan perempuan yang mengandungnya adalah satu kesatuan. Lebih dari segalanya, aborsi merupakan tindakan yang membahayakan nyawa perempuan dan memiliki banyak efek negatif bagi tubuhnya sendiri. Tindakan aborsi bebas justru melanggar hak tubuh untuk mendapatkan kesehatan dan perlakuan baik dari pemiliknya.
Kemudian, bila dokter dipaksa untuk melakukan aborsi maka sama saja memaksa dokter untuk melakukan pembunuhan. Bukankah kita semua mengecam kekerasan yang terjadi kepada anak-anak? Lalu kenapa kita justru melegalkan pembunuhan pada bayi. Apakah karena ia belum muncul ke dunia lalu kita menganggapnya tidak ada? Bayi memiliki hak untuk hidup. Penyangkalan hak hidup bayi atas nama kebebasan perempuan dari penjajahan atas tubuhnya adalah paham yang tak dapat diterima bahkan dalam beberapa sisi dapat dianggap tindakan egois perempuan.
Pelaku Aborsi sebagai Korban
Kebanyakan kasus aborsi terjadi akibat ketakutan akan hukuman dari masyarakat (bila anak itu berasal dari hubungan di luar nikah) dan ketakutan tidak mampu menafkahi anaknya. Pada titik inilah sebenarnya masyarakat ikut bersalah dengan “memaksa” perempuan menggugurkan kandungannya lewat gosip/ghibah. Menganggap perempuan hamil di luar nikah sebagai pelaku kejahatan bukan sebagai korban. B ukankah masyarakat sendiri yang melarang pernikahan dini dan meperbolehkan pacaran. Padahal sejak SMP keinginan berhubungan seksual sudah muncul. Jaman dulu menjadi hal biasa pemuda 15 tahun menikah, tapi sekarang hal itu seakan menjadi tabu. Maka sejatinya, jika sampai terjadi hubungan seksual di luar nikah sang pelaku tak bisa disalahkan begitu saja, karena bagaimanapun mereka korban dari masyarakat yang melarang mereka menjalin hubungan cinta yang sah.
Lalu dengan ketakutan akan kemiskinan juga merupakan salah negara dalam beberapa sisi yang tidak adil dalam membagi kekayaan dengan membuat ekonomi berjalan timpang hanya menguntungkan kelompok elit dan para komprador. Selain itu, pemaksaan gaya hidup dan cap kemiskinan yang diberikan oleh masyarakat juga menjadi andil ketakutan itu. Bila masyarakat kita masih menganut ide kebersamaan dan saling membantu seperti dulu, ketakutan itu akan berkurang bahkan menghilang. Ketakutan akan kemiskinan timbul salah satu penyebabnya karena kemiskinan menjadi bahan cercaan dan dilihat sebagai penyakit masyarakat. Karena beredarnya mitos kesuksesan dan kekayaan hanya bisa diraih dengan kerja keras yang sebenarnya mengatakan bahwa kemiskinan muncul dari kemalasan. Padahal kita tahu banyak orang menjadi kaya karena cara yang tidak baik. Misalnya, bapak memasukkan anaknya di tempat kerjanya.
Jadi, aborsi seringkali lebih disebabkan oleh hal di luar dirinya yang pada akhirnya tekanan itu membuat sang ibu memutuskan untuk membunuh bayinya. Sungguh sangat di sayangkan
Aborsi pada Korban Perkosaan
Jika kita meyakini bahwa bayi memiliki hak untuk hidup maka kita akan melihat aborsi pada korban perkosaan adalah hal yang keliru.
Perkosaan memang sebuah tindakan biadab yang meninggalkan trauma mendalam pada korbannya. Terlebih jika dia sampai hamil dari pemerkosaan itu. Benih itu pasti akan mengingatkan atas penganiayaan terhadapnya. Akibatnya, bisa saja trauma yang dialami akan lebih mendalam. Namun, satu hal yang harus dipahami oleh kita bersama bahwa trauma itu bukanlah salah sang bayi. Secara sederhananya kita ambil contoh kecil tentang trauma. Ada artis sangat takut pada balon, karena ia pernah mengalami kejadian buruk dengan balon. Tapi hal itu tak membuat kita harus menghancurkan semua balon, karena sejatinya bukan balon yang membuatnya trauma buktinya banyak orang suka balon dan balon juga tak membahayakan. Tindakan negatif yang menyertakan balon lah yang menjadi awal kemunculan trauma.
Di sini kita melihat bahwa tindakan perkosaanlah penyebab munculnya trauma. Sang penjahat kelamin adalah tokoh utamanya. Dia adalah orang yang harus disalahkan. Kenyataannya, sang pelaku pemerkosaan biasanya hanya dihukum penjara dalam waktu singkat umumnya 3-5 tahun. Hukuman yang tak cukup inilah yang juga menjadi penyebab kemarahan sang korban. Seharusnya, hukuman atas penjahat pemerkosaan haruslah setara dengan hukuman mati atau kebiri. Hukuman harus setimpal dengan tindakan yang dilakukan. Hal ini tentu akan mengurangi ketakutan dan trauma perempuan karena yakin akan penegakkan hukum. Yakin bahwa hukum telah berbuat adil dan selalu melindunginya.
Selain itu, kita bisa mengajukan solusi lain jikalau trauma itu masih saja dialami misalnya mengusulkan untuk dianggarkannya dana khusus dari APBN untuk membiayai konsultasi psikologis bagi korban perkosaan. Hal ini tentu akan disambut gembira oleh praktisi psikolog dan lebih aman bagi perempuan korban perkosaan.
Melakukan aborsi pada korban perkosaan bisa saja menjadi sebuah tambahan trauma bagi perempuan itu di masa depan, karena bukan tidak mungkin perempuan itu akan menganggap aborsi yang dilakukannya sebagai tindakan yang salah setelah ia lepas dari trauma. Tindakan aborsi juga dapat dianggap tindakan perkosaan yang kedua karena masuknya berbagai alat penghancur bayi kedalam rahim yang kemungkinan besar dapat merusak rahim dan menghancurkan impian masa depan perempuan untuk dapat memiliki anak yang lucu muncul dari perutnya.
Jika negara memang memperhatikan nasib perempuan, maka sudah seharusnya kebijakan yang dikeluarkan ditujukan demi kebaikan perempuan. Bukannya malah mengeluarkan kebijakan yang menimbulkan polemik dan penderitaan berkelanjutan terhadap perempuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H