Mohon tunggu...
Arief Setiawan
Arief Setiawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

pecinta kegilaan http://arieflmj.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tubuh, Alam, dan Kemanusiaan

23 Januari 2011   18:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:15 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Manusia dengan kelebihan yang dimilikinya memunyai keinginan sangat besar dan kompleks terhadap kehidupan. Sifat homo economicus-nya senantiasa melekat sehingga perlu untuk diarahkan sehingga tak liar. Tanpa adanya pengaturan, bayangan Hobbes akan homo homini lupus dengan gambaran pertarungan David Vs Goliath dapat tak terelakkan. Darwinisme social yang kejam akan membunuh rasa dan karsa sebagai manusia secara utuh.

Dalam masyarakat post-industri seperti saat ini, penguasaan terhadap manusia lebih pada bentuk hegemoni. Menguasai pikiran-pikiran manusia sehingga terbentuklah, dalam bahasa Herbert Marcuse, manusia satu dimensi. Manusia yang seolah-olah punya banyak pilihan, tapi sesungguhnya pilihan tersebut terbatas, tunggal. Keseragaman pola, tingkah laku, dan pikiran menjadikan manusia terkungkung meski hal itu tak pernah disadari.

Penjara bagi manusia ini seringkali terkait dengan tubuh yang mereka miliki. Di era pasca modernitas ini, tubuh adalah alat paling mudah untuk dipengaruhi. Tanpa disentuh oleh siapa pun, dan penjara itu ada. Tentu saja, kapitalisme lanjut memunyai peran signifikan dalam membentuk penjara atas tubuh ini. Keinginan manusia yang tak terbatas dibangkitkan dengan bayang-bayang kenyamanan dan keindahan instan. Dalam perspektif Baudrillard dalam bukunya Masyarakat Konsumsi, manusia diciptakan tergantung dari sisi konsumsi. Media massa dalam hal ini punya peran besar karena telah menciptakan impulsion atau hiperrealitas.

Tubuh pun tak bebas lagi bergerak sesuai keinginan. Pikiran sebagai “otak” dari jalannya tubuh ini teracuni oleh bayang-bayang konsumerisme. Dari sisi lain, derivasi pemikiran Foucoult dapat jadi penguat argumen ini. Konsep hukuman tanpa menyentuh badan (panoptik) menyebabkan “ketakutan” tersendiri. Pengetahuan yang telah terbentuk mengkonstruksi sedemikian rupa perilaku manusia agar sesuai dengan keinginan tubuh mereka. Tubuh yang rasis dan terlilit kekuasaan pengetahuan yang membelenggu.

Rasisme tubuh ini tak hanya berdampak pada satu sisi. Banyak aspek yang terimbas oleh kerakusan tubuh akibat infiltrasi kapitalisme lanjut. Keberadaan alam pasti jadi korban untuk memenuhi rasisme tubuh ini. Menurut Andre Groz dalam bukunya Anarkhi Kapitalisme, ekologi merupakan korban dari kejahatan kapitalisme. Eksploitasi terhadap alam mengakibatkan rusaknya daya dukung dan keseimbangan lingkungan. Tentu saja, hal ini dapat berdampak langsung maupun tidak terhadap manusia, dan dalam jangka panjang dapat menghancurkan kehidupan.

Tak heran, dalam setiap kesempatan mengkritik kapitalisme global, aktivis-aktivis lingkungan juga turut serta didalamnya. Keserakahan kapitalisme adalah perusak dari ekologi dan ekosistem yang ada di bumi. Rusaknya lingkungan berarti suramnya kehidupan manusia ke depan; tanpa harapan, tanpa masa depan. Manusia tak bisa dipisahkan dari alam, sangat tergantung untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Ekploitasi terhadap alam ternyata tak hanya membahayakan keseimbangan lingkungan. Juga dapat mengancam martabat kemanusiaan karena hilangnya kesempatan manusia untuk hidup. Bencana, kekeringan, dan kelaparan dapat terjadi, dan itu terbukti benar terjadi saat ini. Pemanasan global akibat menumpuknya karbondioksida di angkasa menyebabkan rusaknya lapisan ozon. Bencana terjadi di mana-mana dan banyak masyarakat yang dirugikan oleh karenanya. Harus ada upaya bersama untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan dalam skala lebih luas, global (Sandler, 2004).

Ancaman terhadap kemanusiaan akibat rasisme tubuh ini tergambar jelas dalam bencana yang akibat ulah manusia. Termasuk bencana akibat kelalaian manusia dalam memerhatikan semestanya. Lingkungan yang hancur dan pikiran yang terkontaminasi jadi penyebab bencana-bencana ini. Alhasil, kemanusiaan beserta martabat didalamnya turut hancur pula sebagai akibat keserakahan tubuh. Tubuh pun ternyata menyimpan potensi besar untuk menghancurkan dirinya sendiri tanpa disadari. Siap meledak bagaikan bom waktu yang sumbunya telah diatur sebelumnya.

Tubuh kita penuh misteri. Tubuh yang rasis ini ternyata dapat menjadi senjata untuk mengakhiri dirinya sendiri.

Dimuat juga di blog pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun