Mohon tunggu...
Arief Setiawan
Arief Setiawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

pecinta kegilaan http://arieflmj.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Saatnya Perempuan Berkata, “Tidak!”

3 Maret 2011   13:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:06 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Tiada masyarakat manusia satupun dapat berkemajuan, kalau laki-perempuanyang satu tidak membawa yang lain, karenanya janganlahmasyarakat laki-laki mengira, bahwa ia dapat maju subur, kalau tidakdibarengi oleh kemajuan masyarakat perempuan pula.” Sarinah, hal. 17

Ketika seorang perempuan sedaang menunggu angkutan umum saat larut malam, ia bisa ditangkap aparat pamong praja. Ia bisa dituduh berbagai macam hal, terutama berprofesi, maaf, sebagai PSK. Aparat bisa menangkapnya hanya berdasarkan “anggapan” belaka. Tak perlu pembuktian detil untuk tuduhan tersebut, cukup dengan curiga saja. Penolakan hanya berbalas paksaan untuk mengaku atau denda meski tuduhan tersebut tak terbukti sama sekali.

Sungai Cisadane juga jadi saksi bagaimana perempuan diperlakukan tak adil. Pada 2009, Fifi (42) harus meregang nyawa dibawa arus sungai cisadane. Ia lari ketakutan bersama rekannya karena takut ditangkap aparat pamong praja yang melakukan pengejaran. Ia pun loncat ke sungai cisadane dan meninggal karena tenggelam terbawa arus. Tak ada upaya untuk menolong nyawa perempuan naas itu oleh petugas yang mengejarnya. Tanpa bawa KTP, perempuan yang terkena operasi KTP bisa dikenai banyak tuduhan. Bukan sekedar melanggar karena tak bawa identitas, tapi bisa dituding sebagai PSK. Tak perlu pembuktian rumit, cukup dengan alasan curiga saja.

Kisah pada paragraf pertama di atas menimpa seorang pramusaji yang harus menelan pil pahit akibat kebijakan diskriminasi terhadap perempuan. Ia ditangkap karena dianggap sebagai PSK. Ya, hanya dengan curiga, ia ditangkap dan dipaksa untuk mengaku sebagai PSK. Tentu saja ini sangat mengenaskan karena tuduhan tersebut hanya berdasar curiga saja, tanpa ada pembuktian yang sungguh-sungguh. Dengan curiga, perempuan dengan mudah dituduh macam-macam.

Paparan semua kisah di atas hanyalah segelintir dari diskriminasi perempuan dengan alat Perda. Dengan Perda, kaum perempuan dibatasi ruang geraknya. Mereka bisa dituduh melakukan perbuatan melanggar hukum hanya dengan bukti “curiga.” Komnas Perempuan mencatat, pada 2010 terdapat 189 buah Perda diskrimintif terhadap perempuan. Jumlahnya naik 35 buah dari tahun sebelumnya. Perempuan dalam hal ini dianggap sebagai biang masalah. Bukan karena tindakannya, tapi karena dia seorang perempuan.

Gambaran buram diskriminasi tersebut dapat dilihat dalam Perda Pemda Tangerang, Banten. Perda No. 8/2005 tentang Pelarangan Pelacuran membolehkan aparat pamong praja menangkap seseorang hanya dengan tuduhan kecurigaan. Mereka boleh menangkap siapa saja yang dicurigai melakukan pelacuran. Tak perlu alat bukti apa pun, cukup curiga saja. hal tersebut dapat dilihat dari Pasal 4 Perda tersebut yang sejatinya sangat lentur bak karet seperti pada aturan subversif era Suharto yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Inilah bunyi Pasal 4 Perda No. 8/2005 tersebut:

(1) Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong lorong jalan atau tempat-tempat lain di Daerah.

(2) Siapapun dilarang bermesraan, berpelukan dan/atau berciuman yang mengarah kepada hubungan seksual, baik di tempat umum atau di tempat-tempat yang kelihatan oleh umum.

Perempuan sejatinya yaang paling dirugikan akibat keberadaan Perda bak karet ini. Perempuan dengan mudah dituduh hendak/melakukan tindak asusila (pelacuran). Kondisi demikian hadir sebagai dampak dari konstruksi sosial yang bias gender. Perempuan dianggap “perusak” moral karena pelacuran diidentikkan dengan perempuan sebagai pelaku utamanya. Karena itu, siapa pun dia asalkan perempuan bila berada di tempat-tempat yang mencurigakan bisa ditudu macam-macam. Mereka bisa dituduh seperti pramusaji atau Fifi atau perempuan yang kebetulan sedang tak bawa KTP seperti kisah di atas.

Ketentuan ini sepertinya tak berlaku bagi laki-laki. Barangkali, Fifi atau pramusaji tersebut tak akan bernasib naas andaikan mereka laki-laki. Dia tak bakal dicurigai sebagi pelacur bila ia berjambang. Andaikan berkelompok pun, mereka tak bakal dituding sebagi pelacur. Paling mungkin mereka bakal dituduh sedang berjudi. Mereka bakal ditangkap bila bukti perjudian memang ada, tak sekedar atas dasar curiga belaka. Inilah wujud nyata jebakan dari Perda diskriminatif yang dengan mudah menjadikan perempuan sebagai pelanggar aturan bukan atas dasar perbuatannya.

Dengan kenyataan adanya 189 buah Perda diskriminatif terhadap perempuan, suatu tindakan harus diambil. Kaum perempuan harus bergerak, tak boleh hal itu terus terjadi. Kekerasan atas dasar seksualitas tersebut harusnya tak boleh terjadi. Kaum perempuan harus berkata “TIDAK” terhadap semua peraturan diskriminatif tersebut. Tak ada alasan apa pun untuk membatasi ruang gerak perempuan karena keperempuannya. “Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya se-ekor burung. Jika dua sayap itu sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali,” kata Sukarno dalam bukunya Sarinah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun