Melalui bukunya yang berjudul "Naar de Republik Indonesia" (1925), Tan Malaka mencita-citakan lahirnya Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Karena itu, beliau mendapatkan gelar sebagai Bapak Republik Indonesia karena menjadi orang pertama yang cetuskan negara-bangsa bernama "Indonesia".
Sejarah resmi Indonesia memang tak menulis jejak Tan Malaka dengan gempita. Nama Tan Malaka hanya diletakkan di pinggiran, bahkan seringkali dikonotasikan sebagai pemberontak. Iya benar, pemberontak. Pemberontak terhadap kolonialisme dan imperialisme Belanda.
Mengapa bisa demikian? Tak bisa dipungkiri, jejak politiknya menjadi alasan. Tan Malaka merupakan salah satu pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) di era 1920-an. Bahkan pernah menjabat sebagai anggota Comintern pada era 1920-an. Pada Kongres Comintern IV 1922, Tan Malaka berpidato tentang "Komunisme dan Pan-Islamisme". Thesis ini sejatinya bertentangan dengan Lenin yang pernah utarakan perlawanan terhadap Pan-Islamisme pada Kongres Comintern II.
Tak bisa dipungkiri, pencetus berdirinya Republik Indonesia yaitu Tan Malaka. Seorang komunis, pimpinan PKI, dan anggota Comintern, serta Pahlawan Nasional Indonesia. Suka atau tidak inilah fakta sejarah embrio berdirinya Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat (silahkan dikoreksi dengan referensi sejarah lain jika memang ini tak tepat).
Partai yang dipimpin Tan Malaka juga mencatat sejarah sendiri. PKI menjadi organisasi politik pertama di tanah air yang gunakan "Indonesia" sebagai nama resminya. Pada 1924, Partai Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia. Artinya, nama "Indonesia" pertama kalinya digunakan secara resmi di tanah air. Jika mencakup luar negeri, Perhimpunan Indonesia yang didirikan di Belanda pada 1922 lah yang gunakan "Indonesia" untuk pertama kalinya.
Dengan melihat kondisi yang ada saat ini, ada pertanyaan mendasar tentang berbagai fenomena politik yang sedang terjadi. Terutama, terkait gugatan logo di uang kertas rupiah baru yang diduga bergambar palu-arit. Apa yang akan kita lakukan terhadap fakta sejarah jika demikian adanya? Saya konsisten dengan fakta sejarah ini sebelum adanya anti-thesis terhadapnya. Bagaimana dengan teman-teman semua?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H