Hembusan angin musim gugur tak menghentikan langkahku untuk mencoba mempertemukan keluarga yang telah lama berpisah. Mereka berpisah bukan karena salah satu pihak enggan bertemu. Bukan juga karena ada kebencian di antara mereka. Mereka berpisah karena keadaan, dipaksa untuk tak bisa berkumpul. Siapa lagi kalau bukan negara melalui tangan-tangan kekuasaannya yang menjadi pelaku pemisahan tersebut.
Bandara Internasional Vnukovo di pinggiran Moskow saat itu tampak tenang. Bandara ini memang tak seramai Domodedovo atau Sheremetyevo yang juga berlabel internasional di Moskow. Namun, kala itu ada yang berbeda dari bandara sepi ini. Dari kejauhan tampak sepasang suami istri dengan wajah khas Indonesia tiba melalui bandara ini. Wajah lelah setelah perjalanan jauh sangat terlihat sekali, tapi hal ini tak menyurutkan niat mereka.
“Ayo mas, kita langsung ke rumah Pak A. Kita ke hotel nanti saja setelah dari rumah beliau,” ujarnya dengan penuh antusiasme setelah kami bekenalan satu sama lain. Aku pun langsung bergegas dan mengatur perjalanan tersebut agar dapat segera sampai di tujuan.
Suasana Moskow saat itu cukup bersahabat bagiku. Namun bagi dua orang yang hendak menggenapi rindunya ini, Moskow tak bersahabat. Maklum, musim gugur sudah tiba dengan angin dingin yang cukup menusuk tulang. Aku pun bisa memaklumi hal ini. Sangat wajar jika ada orang yang hidup di daerah tropis singgah atau menepi di Moskow kala musim gugur, dingin, dan semi.
Keluar dari stasiun metro (subway) tujuan, aku langsung menunjuk lokasi rumah keluarga mereka yang sudah lama tak bersua ini. Tak jauh, cukup sebatang rokok dengan jalan kaki udah sampai di pintu utama apartemen. “Sebentar pak, saya harus tanya kode pintu ke Pak A dulu. Saya lupa kodenya,” kataku ketika berada di depan pintu utama.
Setelah berhasil membuka pintu utama, kami langsung naik lift menuju lantai rumah Pak A. Ketika pintu lift terbuka di lantai tujuan, Pak A dengan wajah berseri dan tatapan penuh rindu menyambut kami di depan pintu apartemennya. Beliau tak langsung memeluk dua orang anggota kjeluarganya, tapi mempersilahkan masuk terlebih dulu dan memakai sandal yang telah disediakan.
Berpelukan menjadi fragmen selanjutnya. Aku tak bisa menghindari untuk melihat pertemuan bersejarah ini. Dalam hati, aku sebenarnya menangis haru, tak bisa membayangkan rindu yang telah mereka pupuk selama 50 tahun lebih. Aku berusaha untuk tak larut dalam suasana ini. Aku hanya menunduk agar tak melihat bagaimana cara mereka melepas rindu dan mengingat setiap fragmen yang terjadi sebelum perpisahan 50 tahun silam terjadi.
“Saya terakhir kali bertemu dia ketika hendak berangkat ke Moskow pada 1958. Saat itu, dia masih kecil dan mungkin sudah lupa dengan wajah saya ketika terakhir bertemu itu,” ujar Pak A mencoba menjelaskan siapa orang yang datang ke rumahnya dan kapan mereka terakhir kali bertemu.
Berbagai kisah terlontar sejak perpisahan tersebut terjadi. Pastinya, masing-masing memberi kabar bagaimana keadaan keluarga di Indonesia dan Rusia. “Mas, saya hanya tahu nama Pak A karena sering disebut-sebut dalam keluarga. Mereka bercerita jika Pak A berada di Moskow dan dipaksa tak bisa pulang. Saya juga hanya sedikit ingat dengan pertemuan terakhir tersebut, yaitu ketika sedang bermain,” papar orang Indonesia ini.
Perbincangan pun terus berlanjut hingga larut. Ketika jam sudah menunjukan pukul 21.00, kami pun pamitan pergi ke hotel. Dengan wajah sumringah,Pak A mengantar kami hingga pintu utama. Wajah penuh suka cita sangat tampak sekali di antara mereka. “Господин, до завтра,” pamitku kepada Pak A ketika memelukku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H