Saat awal paspor dicabut oleh Pemerintah Indonesia via KBRI Moskow merupakan masa yang cukup berat bagi para mahasiswa di Uni Soviet. Informasi tentang kondisi tanah air harus dicari dari media lain. KBRI Moskow sudah tertutup bagi mereka karena sudah tak diakui lagi sebagai WNI. Radio dan koran menjadi satu-satunya sarana yang paling memungkinkan. Indonesia pun terasa semakin jauh dah sulit dijangkau.
Kabar tentang Indonesia saat itu simpang-siur adanya. Lambat laun seiring perjalanan waktu, informasi tentang kondisi Indonesia pasca transisi politik berdarah (1965) dapat mereka peroleh. Akhirnya, mereka pun sadar. Harapan untuk bisa pulang kembali ke Indonesia demi tepati janji ketika berangkat ke Uni Soviet semakin kabur. Namun, ada juga yang masih menyisakan harapan untuk bisa pulang. “Barangkali, 3-5 tahun lagi kondisi akan normal kembali.” Itulah sejengkal harapan yang ada di tengah ketidakpastian.
Jika masih ada tanggungan studi, mau tak mau harus tetap fokus dan menyelesaikannya. Jika sudah lulus dan berkeluarga, bekerja apa pun itu bentuknya harus dilakukan. Inilah hidup, c’est la vie. Semuanya harus dihadapi dengan penuh keberanian seperti halnya ketika secara sadar menolak orde baru. Juga ketika menolak mendeskreditkan Sukarno atas peristiwa G 30 S/1965. Semua harus dihadapi dengan penuh keberanian.
Rindu terhadap keluarga dan kampung halaman menjadi keniscayaan di negeri beruang merah ini. Berkumpul bersama teman senasib-sepenanggungan menjadi obat mujarab. Berkunjung bersama-sama ke rumah orang Indonesia yang dihormati untuk sekedar berbincang dan berkeluh-kesah menjadi sarana untuk menjaga kewarasan. “Banyak mahasiswa yang paspornya dicabut berkumpul di sini. Ketika di rumah, ada larangan keras, yaitu membicarakan persoalan politik,” ujar salah satu eksil.
Persoalan politik merupakan hal tabu untuk dibicarakan kala bersilaturahmi. Bukan karena apolitis, tapi menjadi sarana berkomunikasi mengenai kehidupan sehari-hari yang semakin berat akibat menjadi stateless. Juga menjadi sarana untuk berkeluh-kesah mengenai problematika kehidupan sehari-hari agar kewarasan bisa tetap terjaga di tengah tekanan kekuasaan dari tanah air.
Tak bisa dipungkiri, para mahasiswa yang paspornya dicabut tak seragam pemikiran politiknya. Ada empat kategori yang ada di kalangan mahasiswa kala itu: pendukung komunisme Soviet, komunisme China, nasionalis/marhaenis (Sukarnois), dan bukan golongan mana-mana. Karena itu, perbincangan tentang persoalan politik hanya akan bisa memperuncing keadaan dan membuat situasi tak nyaman. “Rumah kami tempat yang netral. Semua orang Indonesia yang paspornya dicabut butuh dukungan semangat,” tegasnya.
Friksi di antara kelompok mahasiswa tersebut pun tak bisa dihindari. Konteks sosial-politik memaksa mereka untuk bersaing satu sama lain, terutama antara pendukung komunisme Soviet dengan komunisme China. Meski menjadi pendukung dua negara komunis ini, mereka tak ada sangkut-pautnya dengan peristiwa G 30 S/1965 yang terjadi di tanah air. Sangat tak masuk akal mengait-ngaitkan para mahasiswa tersebut dengan peristiwa berdarah tersebut. Sangat mengada-ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H