Setelah para pemuka agama menyatakan presiden bohong terkait capaiannya pada 2010, upaya untuk menangkis tuduhan itu terus dilakukan. Para pembantu presiden berusaha sekuat tenaga menangkis semua tuduhan tersebut. Salah satu kebohongan yang dinyatakan oleh para pemuka agama yakni tentang penegakkan HAM. Kebohongan lama yang belum jelas jluntrung-nya hingga sekarang.
Kebohongan presiden tentang HAM ternyata benar adanya. Kebohongan tersebut diulangi ketika presiden memberi sambutan pada Rapat Pimpinan TNI dan Polri pada 21 Januari lalu. Presiden menyatakan, sejak 2004, tidak ada lagi pelanggaran HAM berat. Tak ada gross violence on human rights. “Ini sejarah, ini babak baru bagi Indonesia,” ujar Presiden Yudhoyono dalam sambutannya.
Benarkah itu kenyataan yang terjadi? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kiranya kita membuka dokumen lama soal pelanggaran berat HAM sejak 2004. Apakah benar tak pernah terjadi atau pernyataan itu hanya lah rangkaian kebohongan belaka. Data pembanding sangat penting untuk mengecek kebohongan ini agar siapa pun tak terjebak retorika pencitraan a la Presiden SBY ini.
Setelah mengecek beberapa dokumen, saya menemukan kejanggalan dari pernyataan SBY dalam Rapim tersebut. Ternyata SBY (kembali) berbohong soal ketiadaan pelanggaran berat HAM sejak 2004 hingga sekarang. Dalam hal ini, pelaku tak sama dengan pelanggaran yang terjadi saat rezim Suharto berkuasa. Tak lagi melibatkan aparat keamanan, tapi korporasi. Apalagi kalau bukan semburan lumpur panas Lapindo yang menenggelamkan beberapa desa di Porong, Sidoarjo, jawa Timur.
Mimpi buruk warga Porong seolah-olah dilupakan oleh SBY. Kita semua masih ingat atas tragedi 29 Mei 2006 ketika untuk pertama kalinya lumpur panas tersebut menyembul dari perut bumi. Perlahan tapi pasti, lumpur tersebut telah mencabut kehidupan, memori, dan harapan warga yang nasibnya sampai sekarang banyak yang tak menentu. Pemerintah dalam hal ini terkesan diam saja dan ‘mengaku” kalah dengan korporasi. Pengamat politik Eep Saefullah Fatah di Majalah Tempo menyatakan, “tapi Paloh dikalahkan Aburizal Bakrie, sang penyokong finansial besar Yudhoyono-Kalla dalam Pemilu 2004, sang menteri setia yang diselamatkan dengan sigap oleh Yudhoyono dari luapan lumpur Sidoarjo.”
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan, pemerintah dan korporasi patut diduga telah melakukan pelanggaran berat HAM atas luapan lumpur panas ini. Pemerintah dalam hal ini patut diduga melakukan pelanggaran berat HAM karena tindakan by ommisson. Terlibat secara tidak langsung karena tidak berupaya mencegah terjadinya pelanggaran atau hanya menonton saja. Karena itu, penyelidikan proyustisia dilakukan Komnas HAM atas luapan lumpur lapindo ini.
Tentu saja hal ini sangat kontras dengan pernyataan SBY dalam Rapim tersebut. SBY telah berbohong kepada khalayak karena apa yang terjadi di Sidoarjo tak diungkapnya. Malah menyatakan tak ada pelanggaran berat HAM sejak 2004. Walaupun masih dalam taraf “patut diduga”, tak seyogyianya presiden menyatakan sejak 2004 nihil pelanggaran berat HAM. Presiden ternyata telah menyembunyikan fakta menderitanya warga Porong yang masih belum menerima ganti rugi akibat luapan lumpur lapindo. Presiden juga menyembunyikan penderitaan warga pada umumnya yang senantiasa diselimuti ketakutan jebolnya tanggul lumpur dan gangguan kesehatan, serta kerugian yang dialami oleh masyarakat Jawa Timur akibat ketidaktegasan pemerintah terhadap PT Lapindo brantas Inc.
Dimana Mereka Berada?
Ucapan presiden tentang pelanggaran berat HAM sejak 2004 sangat bias dan penuh misteri. Benar apa yang dikatakan para pemuka agama, Presiden telah berbohong soal penegakkan HAM di tanah air. Janjinya tak pernah ditepai meskipun semua sudah tahu kalau suatu tindakan harus dia ambil. Penghilangan orang secara paksa masih misterius meski DPR periode 2004-2009 telah merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk penyelesaian kasus ini.
Presiden dalam hal ini benar telah melakukan kebohongan publik karena antara janji dan implementasinya sangat jauh. Pengadilan HAM Ad Hoc yang diamanatkan Poleh DPR tak kunjung dibentuk. Apa benar penegakkan HAM berjalan seperti retorika presiden kepada khalayak? Sangat, sangat jauh dari kenyataan yang sesungguhnya terjadi. Malah seolah-olah hendak menutupinya dengan “prestasi” yang sesungguhnya melompong itu.
Para orangtua korban penghilangan paksa tersebut masih terus dibanyangi misteri, dimana anak mereka berada. Mereka senantiasa mencari anak-anaknya yang hilang secara misterius itu. Bukan sekedar dalam hitungan bulan, sudah 13-14 tahun mereka mencari dan sampai detik ini pun belum dapat kepastian meski, menurut UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM, presiden wajib membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc setelah mendapat rekomendasi DPR untuk peristiwa yang terjadi sebelum UU tersebut diundangkan. “Kalau sudah meninggal, dimana kuburnya? Kalau masih hidup, dimana keberadaan anak saya,” ujar oang tua Suyit, salah satu korban penghilangan paksa, di film Stage Limit.