Seringkali kita mendengar dan membuat hati ini merasa bangga bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia yang paling demokratis. Pujian-pujian pun datang bertubi-tubi dari berbagai negara. Prestasi sangat gemilang tersebut diraih karena percepatannya sangat tinggi mengingat hal itu dilakukan “baru” sebelas tahun silam. Tentu saja, hal ini layak untuk dirayakan pleh siapa saja karena prestasi ini merupakan hasil kerja bersama seluruh elemen bangsa, bukan satu atau dua kelompok saja.
Pemilihan umum yang demokratis secara periodik, kebebasan bicara dan berpendapat, serta militer tak lagi berpolitik praktis merupakan beberapa indikator dari keberhasilan itu. Masyarakat pun bebas berserikat dan mengeluarkaan pendapatnya di depan umum secara bertanggungjawab, kontras saat rezim despotik memerintah selama 30 tahun. Hantu pembredelan terhadap pers pun lenyap seiring dengan langkah demokrasi yang telah diambil tersebut.
Langkah demokrasi yang diambil bangsa Indonesia sejak 11 tahun silam masih menyisakan persoalan mendasar terkait keadaan internal. Demokrasi yang saat ini berjalan masih bersifat prosedural belaka, hanya dalam ranah politik. Kesejahteraan rakyat yang merupakan elemen terpenting dalam demokrasi masih ketinggalan jauh dari capaian demokrasi secara politik tersebut. Fenomena tersebut ditandai dengan semakin meningkatnya angka kemiskinan. Menggunakan data Bank Dunia, pada 2008, jumlah penduduk miskin di Indonesiaa mencapai sekitar 100 juta jiwa dengan ukuran batas minimum pendapatan 2 dollar AS per kapita per hari.
Situasi seperti demikian mereduksi makna dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi hanya milik segelintir orang saja yang memunyai sumber daya memadai dan dapat mencurahkan perhatiannya pada masalah-maslah politik. Mereka yang senantiasa bergelut dengan kemiskinan akan terpinggirkan olehnya karena harus memenuhi kebutuhan dasar terlebih dulu. Demokrasi tak akan berjalan maksimal bila para pelakunya dalam keadaan perut kosong. Pemaknaan yang hanya mencakup aspek prosedural saja perlu digeser ke arah substansi sebagaimana model teorisasi demokrasi sebelum dekade 1970-an. Demokrasi tak hanya prosedur, tapi lebih menekankan pada aspek substantif yang berwujud jiwa, kultur, atau ideologi (Mas’oed, 2003).
Demokrasi bukan saja berkutat pada soal-soal kebebasan berpendapat dan berserikat belaka. Lebih dari itu, kebebasan dari kemiskinan dan kelaparan merupakan bagian integral dari demokrasi. Tanpa itu, demokrasi tak akan membumi karena salah satu pra-syaratnya gagal untuk dipenuhi. Demokrasi politik saja tak cukup untuk mengatakan sebagai negara demokratis, tapi juga harus mengakomodasi demokrasi ekonomi untuk menciptakan kebebasan dari kemiskinan dan kelaparan.
Hak Asasi Manusia
Pelaksanaan demokrasi pada dasarnya akan mengalami reduksi besar-besaran bila hanya bersandar pada prosedur belaka. Demokrasi secara mendasar bertemali erat dengan aspek-aspek lain, salah satunya adalah hak asasi manusia (HAM). Demokrasi tanpa dilandasi nilai-nilai HAM akan menjadi peluru kosong saja. Tak punya kekuatan untuk menjadikan setiap individu dalam masyarakat sebagai manusia yang utuh dan bermartabat.
Pemaknaan demokrasi dari aspek prosedural tanpa memperhitungkan substansi didalamnya hanya akan mampu member perlindungan pada hak sipil dan politik (sipol) saja. Padahal, dalam pemenuhan terhadap HAM, hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) merupakan satu kesatuan dengan hak sipol. Salah satu diabaikan akan megakibatkan terjadinya pelanggaran HAM, dan hal itu mencederai demokrasi itu sendiri.
Dalam konteks pelaksanaaan demokrasi di Indonesia, penilaian positif dari masyarakat internasional perlu direnungkan kembali. Penilaian positif tersebut ternyata tak berkorelasi positif dengan pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan terhadap HAM. Berdasarkan catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pada periode September 2007-September 2008, jumlah pelanggaran HAM yang diadukan masyarakat cukup besar, sebanyak 4.142 kasus. Dalam hal ini, pelanggaran atas hak ekosob menjadi mayoritas pengaduan masyarakat.
Ditambah lagi dengan fenomena besarnya angka kemiskinan, pelaksanaan demokrasi yang hanya bersandar pada prosedur dengan hak sipol sebagai sandaran, demokrasi jadi pincang. Demokrasi menjadi kehilangan arah karena aspek substansinya direduksi sedemikian rupa. Untuk mewujudkan demokrasi yang sebenarnya, HAM merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan daripada sekedar proses-proses politik. Hak ekosob tak boleh diabaikan karena pemenuhan HAM merupakan salah satu elemen dari demokrasi. Tanpa pemenuhan HAM, sipol dan ekosob, demokrasi hanya akan jadi keranjang sampah kekuasaan saja.
Melampaui Prosedur