Mohon tunggu...
Arief Setiawan
Arief Setiawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

pecinta kegilaan http://arieflmj.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pulang: Kisah Eksil di Uni Soviet (5)

28 Juni 2016   14:43 Diperbarui: 28 Juni 2016   15:28 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat itu sore yang biasa-biasa saja bagi ku. Tak ada ubahnya dengan sore-sore sebelumnya. Matahari tetap tampak gagah meski saat itu menunjukan waktu maghrib jika di tanah air. Matahari tetap terik dengan sesekali hujan mengguyur bumi. Meski jam menunjukan hampir pukul 19.00, geliat manusia masih terus berjalan dengan pancaran mentari yang masih menyengat. Itulah wajah sore pada musim panas 2013 di Moskow, Rusia.

Setelah membereskan tugas ujian akhir semester, media sosial di laptop menunjukan adanya pesan notifikasi. Pengirim pesan bukan orang yang ku kenal sebelumnya, sama sekali. Perkenalan diri dilakukan di pesan tersebut. Ternyata, pengirim pesan merupakan temannya teman media sosial yang beberapa hari sebelumnya ku temui. Apa pun itu, bertambah teman satu di media sosial dan terus berlanjut sampai sekarang (offline).

Pertanyaannya sangat jelas, yakni tentang situasi di Moskow saat ini. Sebagai penghuni kota tempat Lenin bersemayam, aku pun menjelaskan situasi yang ada. Pada dasarnya, Moskow tak tak seseram penggambaran film-film produksi Hollywoodyang begitu dingin, kaku, dan penuh dengan aksii-aksi kriminalitas. Seperti kota besar lainnya, kriminalitas pasti ada dengan kadar tertentu dan kita tetap harus waspada.

Selain itu, sang kawan ini juga mengabarkan jika ada keluarga temannya yang akan berkunjung ke Moskow. Bukan untuk plesiran atau kunjungan bisnis, melainkan nyambung balung pisah(menyambung tulang yang terpisah). Kunjungan seorang keponakan kepada pamannya yang tak pernah bertemu lagi sejak 1958. Sejak sang paman melanjutkan studi ke Rusia (mahasiswa ikatan dinas) sebagai bagian dari proyek Sukarno untuk mempercepat kemajuan Indonesia saat itu.

“Apakah ada hotel yang dekat dengan rumah saudaranya,” tanyanya. Aku jawab dengan tegas, “ada”. Beberapa daftar hotel terdekat pun ku berikan. Tentu saja, daftar hotel yang ku cari dari internet dan tanya beberapa teman yang mungkin mengetahuinya. Setidaknya, ini informasi awal yang bisa ku berikan sebagai gambaran mengenai Moskow. Ternyata tak seseram di film-film produksi Hollywood.

Setelah sekian lama, notifikasi muncul lagi di media sosial. Seseorang yang meminta kontak pribadi ku. Aku memberinya setelah dia menjelaskan maksud dan tujuannya. Ternyata dia si empunya (bagian dari keluarga) yang akan melakukan randezvoussetelah puluhan tahun terpisah. Percakapan demi percakapan pun dimulai, terutama pertanyaan seputar Moskow dan apa saja yang perlu dipersiapkan di kota tersebut.

Pertemuan memang tak pernah bisa dilakukan di Moskow meski keluarga ini sudah tiba. Saat itu, aku harus pergi ke negri kincir angin selama sekitar tiga bulan. Seorang kawan yang masih tinggal di Moskow saat musim panas itu bersedia menjadi teman bagi keluarga tersebut selama melakukan randezvous.Suatu pertemuan yang, mungkin, sebelumnya tak pernah terbayangkan karena tertelan waktu yang terus berjalan.

Dari pertemuan tersebut, ada satu hal yang membuatku sangat penasaran. Aku yakin, semua orang akan penasaran akan hal ini, suasana ketika keponakan dan sang paman bertemu untuk pertama kali setelah puluhan terpisah oleh kebijakan negara. Pertemuan kedua, ketiga, dan seterusnya pasti tak semenarik yang pertama.

“Aku keluar dari ruangan ketika pertemuan tersebut berlangsung. Aku juga ikut terharu bro,” ujarnya dengan singkat.

Hari pun berganti dan aku harus kembali ke Moskow. Ketika tiba di kota ini, sang kawan memberi sekantong kresektitipan dari tanah air. Bumbu masakan Indonesia, sambal pecel, dan mie instan, serta lainnya diberikan kepadaku. Artinya, untuk beberapa pekan ke depan aku bisa menikmati masakan Indonesia dengan rasa huru-hara dan bertambahnya anggota keluarga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun