Mohon tunggu...
Arief Setiawan
Arief Setiawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

pecinta kegilaan http://arieflmj.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pulang: Kisah Eksil di Uni Soviet (4)

5 April 2016   10:28 Diperbarui: 5 April 2016   11:13 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam ketidakpastian di tanah rantau, melupakan tanah air berserta kenangan dan harapan menjadi suatu kemustahilan. Bagaimana pun juga, Indonesia bukanlah selembar paspor. Bukan juga terkait persoalan legalitas status kewarganegaraan ketika di rantau. Lebih dari itu, Indonesia merupakan identitas sosial, budaya, dan politik yang tak terikat pada status kewarganegaraan. Indonesia adalah imajinasi tentang tanah air dan janji bhakti.

Memelihara rasa ke-Indonesia-an menjadi obat mujarab untuk tetap ingat tanah air. Bahasa menjadi alat untuk tetap mengidentikan diri sebagai Bangsa Indonesia bagi eksil 1965 di Uni Soviet saat itu hingga sekarang. Mereka tetap mengajarkan Bahasa Indonesia kepada anak-cucunya dengan kadar kefasihan tertentu. “Agar mereka (anak-cucunya) tahu jika darah Indonesia masih mengalir di badannya,” ujar salah seorang eksil dengan mantap. 

Seorang eksil yang anaknya menjadi desainer kelas dunia juga menuturkan hal sama. Sejak kecil, beliau senantiasa mengenalkan kosakata Bahasa Indonesia ketika berbicara dengan putrinya. Ini hanyalah upaya kecil untuk tetap menjaga identitas ke-Indonesia-an di tanah rantau yang sangat berbeda keadaannya dibanding tanah air. “Setidaknya, dia tahu Bahasa Indonesia meski hanya sedikit saja,” katanya. 

Terus mengajarkan Bahasa Indonesia kepada khalayak di Uni Soviet juga menjadi sarana untuk tetap menjagha ke-Indonesia-an. Di Uni Soviet saat itu, ada empat Universitas/Institut Uni Soviet yang tetap memberikan pengajaran Bahasa Indonesia di tengah kebekuan hubungan diplomatik kedua negara ini pada era rezim Suharto. Ini menjadi salah satu cara untuk menngenalkan Indonesia kepada para pemuda-pemudi Uni Soviet meski sang pengajarnya tak diauki sebagai Warga Negara Indonesia. 

Tak hanya Bahasa indonesia, bahasa daerah pun digunakan dalam komunikasi sehari-hari di dalam rumah. Ada satu keluarga eksil di Moskow yang dalam komunikasi sehari-hari masih menggunakan Bahasa Jawa. Beliau menggunakan Bahasa Jawa bukan hanya kepada anaknya, juga pada cucunya. Tak pelak lagi, keluarga besar ini pun masih menggunakan Bahasa Jawa di dalam rumah. “Bagaimana pun, kami orang Jawa. Tak mungkin kami meninggalkan Bahasa Jawa begitu saja,” tuturnya. 

Pertemuan singkat di sebuah hotel di pinggir Leninskiy Prospekt (Jalan Raya Lenin) menjadi awal dari penegasan masih digunakannya Bahasa Jawa di keluarga mereka. Salah satu anggota keluarga beliau yang lahir di Uni Soviet berbicara menggunakan Bahasa Jawa meski tampak kaku. Beliau pun mengajak Berbahasa Bawa meski tahu jika saya bisa berkomunikasi dengan Bahasa Rusia. “Saya agak sulit jika berbicara Bahasa Indonesia. Kalau Bahasa Jawa saya bisa meski ngoko. Mas Arif bisa kan Bahasa Jawa?” katanya kepadaku. 

Selanjutnya, kami pun berbincang menggunakan Bahasa Jawa dengan segala keterbatasan yang ada. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun