[caption id="attachment_156251" align="aligncenter" width="400" caption="Sumber: edisantana.blogspot.com"][/caption]
Menyimak pemberitaan soal penegakkan hukum di tanah air akhir-alhir ini, keadilan tampak nyata sekali hanya sekedar slogan. Rakyat kecil dengan kesalahan kecil diproses secara hukum, tapi jika elit yang melanggar, tak ada gerak sama sekali. Salah satunya Rekening Gendut Perwira Polisi yang sempat menghebohkan tanah air pada medio 2010 lalu. Niatan Polri untuk membongkar kasus yang diduga melibatkan petingginya tersebut tampak tidak ada sama sekali. Bahkan, putusan Komisi Informasi dianggap angin lalu. Bagaimana dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)?
Aksi dari KPK tak kunjung ada terkait rekening gendut yang diduga milik para petinggi Polri ini. sampai saat ini, belum tampak juga aksi nyata lembaga anti-korupsi ini. Mungkin mereka melakukan penyelidikan secara diam-diam. Barangkali ini yang bisa jadi sedikit penenang di tengah kekalutan penegakkan hukum di tanah air yang karut-marut. Namun, dugaan tersebut sudah lama muncul. Sekiranya perlu bagi kita semua untuk memberi dukungan kepada KPK untuk ambil alih dugaan korupsi tersebut.
Ketidakseriusan Polri untuk mengusut dugaan ini sangat jelas sekali. Komisi Informasi yang sudah mengeluarkan putusan bahwa data tersebut termasuk ranah informasi publik tak digubris juga. Bahkan, Peraturan MA pun dianggap angin lalu. Dengan berbagai argumen, data pemilik (yang diduga) rekening gendut tersebut tetap aman sampai sekarang. Entah apa karena benar-benar murni alasan perlindungan hukum atau sekedar melindungi para mantan atau elit di kepolisian yang diduga pemilik rekening tersebut. Polri bersikukuh untuk tak membuka informasi tersebut, apalagi memrosesnya.
Merunut sejarah, KPK sejatinya bisa mengambil-alih kasus tersebut. Berkaca dari kasus korupsi mantan Bupati Situbondo, KPK dapat mengganti peran Polri dalam proses penegakkan hukumnya. Saat itu (2008), KPK menetapkan Bupati Situbondo, Jawa Timur, Ismunarso, sebagai tersangka dugaan korupsi kas daerah Situbondo. Aksi tersebut dilakukan setelah Pimpinan pondok pesantren Salafiah Sarifiah, KH. Fawaid As’ad, meminta KPK segera beraksi. Mereka meminta KPK mengambil alih kasus dugaan penyelewengan kas daerah sebesar Rp 45,7 miliar karena penegak hukum di Situbondo dianggap tidak serius menanganinya.
Berkaca dari aksi KPK di Situbondo tiga tahun silam, bukanlah sesuatu yang ahistoris bagi lembaga anti-korupsi ini untuk mengambil alih dugaan korupsi rekening gendut. KPK bisa berargumen, Polri tidak serius dalam menangani dugaan tersebut. Tentunya, politicall will para Pimpinan KPK jadi penentu semua ini. sekaligus membuktikan, KPK lembaga yang benar-benar independen meskipun personelnya banyak juga yang berasal dari Polri. Inilah saatnya KPK menunjukkan independensinya meski personelnya berasal dari berbagai institusi.
Sampai kapan menunggu? Inilah pertanyaan yang mungkin ada di benak masyarakat Indonesia ke KPK yang rasa keadilannya terusik oleh penegakkan hukum a la Polri. Pencurian sandal jepit diproses cepat, tapi soal rekening gendung yang diduga dimiliki 17 petingginya tak juga diproses. KPK harus kembali menengok dokumen saat mengambil alih dugaan korupsi yang melibatkan Bupati Situbondo 2008 silam. Tentunya, agar mereka punya landasan hukum jelas karena ada yurisprudensinya. Apalagi soal rekening gendut ini juga dinyatakan sebagai salah satu prioritas kasus yang hendak dituntaskan. KPK, dimana tinjumu?
Referensi:
http://regional.kompas.com/read/2008/11/30/19174411/KPK.Tetapkan.Bupati.Situbondo.Tersangka.Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H