Mohon tunggu...
Arief Setiawan
Arief Setiawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

pecinta kegilaan http://arieflmj.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

"Jangan" Hukum Mati Koruptor

22 Januari 2011   15:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:17 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mencuatnya kasus mafia pajak (hukum) yang melibatkan Gayus Tambunan yang kemudian membuka selubung lainnya semakin membuat masyarakat marah. Wacana pengenaan hukuman mati bagi para koruptor menguat. Hampir seluruh lapisan masyarakat menginginkan agar mereka dihukum mati karena telah merugikan masyarakat. Dana yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat “dimakan” sendiri sehingga pembangunan terhambat. Menurut Peter Eigen dari Transparency International, korupsi tak hanya menghambat upaya kemiskinan, malah melahirkan kemiskinan baru.

Maraknya korupsi di Indonesia membuat masyarakat seringkali merujuk China yang keras terhadap para koruptor. China menghukum para koruptor itu tanpa ampun. Mereka dihukum mati apabila memenuhi kriteria tertentu dan hal itu sering terjadi. “Proyek” hukuman mati ini tak bisa lepas dari tekad Presiden China Jiang Zhe Min ketika terpilih. Dengan tegas dia menyatakan agar dibuatkan 1000 peti mati untuk koruptor. Sebanyak 999 buah untuk para koruptor, dan sisanya untuk dia bila melakukan korupsi. Tak bisa dipungkiri, hal ini menjadi shock therapy tersendiri untuk tidak melakukan korupsi.

Begitu pula di Indonesia, desakan untuk menghukum mati para koruptor meluas akibat kegeraman tingkat tinggi. Korupsi yang merajalela itu membuat masyarakat marah sehingga mereka menilai hukuman mati memang layak. Secara psikologi sosial, kondisi demikian memang wajar terjadi. Kemarahan masyarakat yang terakumulasi tersebut pada dasarnya adalah suatu fenomena yang sangat mungkin muncul. Karena itu, perlu hati-hati dalam merespon hal ini agar tak terjadi blunder dikemudian hari serta dapat jadi pelajaran tersendiri.

Suara keras pengenaan hukuman mati bagi koruptor tak hanya mencuat di masyarakat. Beberapa pejabat negara tak ketinggalan agar jenis hukuman tersebut diterapkan di Indonesia. Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar mendukung penerapan hukuman tersebut. Menurut dia, hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi pada dasarnya diatur dalam UU No 31/1999 yang diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hukuman tersebut dapat dikenakan pada pelaku korupsi saat negara sedang dilanda krisis, saat bencana alam, atau dalam keadaan tertentu. (Hukuman Mati bagi Koruptor, Kompas, 6/4).

Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD juga mengemukakan pendapat senada. Menurut dia, hukuman mati layak diberikan bagi para koruptor. Namun, sebelumnya harus ada pembenahan terlebih dulu pada sistem hukum yang ada, salah satunya adalah penerapan pembuktian terbalik. (Kompas.com, 8/4). Lebih jauh lagi, sikap tegas terhadap pelaku tipikor di Indonesia pada dasarnya terlambat diambil. Menurut Mahfud, hal ini menyebabkan korupsi merajalela sehingga ia meyakini bahwa hukuman mati mampu mencegah terjadinya tipikor. “Kalau sampai ada vonis mati tetapi orang tetap korupsi, berarti keterlaluan,” ujarnya. (Kompas.com, 18/4).

Terhadap polemik ini, penulis berpendapat, hukuman mati bukanlah jawaban untuk menjawab persoalan korupsi di Indonesia. Praktek hukuman alternatif perlu dikenalkan sebagai bentuk sanksi atas perbuatan korupsi. Tentu saja tak cukup dengan paksa badan, harus ditambah dengan sanksi lainnya. Hukuman alternatif yang dapat ditempuh tersebut tentu saja tak bisa langsung sekejap mata ada. Harus ada perubahan beragam regulasi mengenai peraturan pemidanaan pelaku tipikor. Beberapa alternatif hukuman tersebut antara lain:
1. Penyitaan seluruh harta terpidana pelaku tipikor tanpa menyisakan sepeser pun;
2. Hukuman kerja sosial di tempat umum dalam jangka waktu panjang dengan memasang identitas khusus bagi pelaku;
3. Dipenjara pada lembaga pemasyarakatan yang letaknya tengah tempat umum secara terbuka (tembok kaca/tembus pandang);
4. Hukuman paksa badan dalam jangka waktu panjang, misal: penjara selama 150 tahun, bahkan 5000 tahun (meski meninggal, status “terpidana” tetap melekat pada pelaku sampai masa hukumannya selesai);
5. Terpidana tidak berhak mendapatkan grasi, amnesty, abolisi, dan rehatilitasi serta remisi kecuali bila dikemudian hari terbukti adanya salah tangkap.

Penerapan hukuman mati bagi koruptor, juga tindak pidana lainnya, pada dasarnya bertentangan dengan prinsip HAM. Manusia secara mendasar memunyai hak hidup yang tidak dapat dicabut oleh siapa pun kecuali terjadi secara alamiah meskipun MK memutuskan berlainan. Di samping itu, praktek hukuman seperti ini sudah ditinggalkan oleh banyak negara karena negara pada dasarnya tidak berhak menentukan hidup matinya seseorang. Tentu saja, persoalan ini masih menimbulkan perdebatan panjang. Menurut Wakil Ketua Internal Komnas HAM Yosep Adi Prasetyo, selain bertentangan dengan HAM, terjadinya korupsi tak hanya akibat ringannya hukuman selama ini. Hukuman mati juga tak menjamin efektif untuk memberantas angka kejahatan (okezone.com, 6/4)

Hukuman mati terhadap para koruptor pada dasarnya tak menurunkan tingkat korupsi secara signifikan di negeri tirai bambu. Korupsi tetap merajalela sehingga korelasi antara penurunan tipikor dengan penerapan hukuman mati tak selamanya linear. Menurut Prof Huang Zongliang dari Beijing University, meskipun telah banyak penangkapan banyak pejabat tinggi, situasi korupsi di China belum menunjukkan tanda-tanda mulai mereda. Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan Transparansi Internasional menempatkan China di posisi ke-72 dari 180 negara yang disurvei. China sendiri telah menghukum lebih dari 106.000 pejabat pemerintahnya karena pelanggaran disiplin antara Januari hingga November 2009. (Partai Berperan Kunci Perangi Korupsi, Kompas, 8/4)

Menurut penulis, pengenaan hukuman mati bagi pelaku tipikor secara mendasar “tak menyiksa” mereka. Mereka hanya merasakan sakit dalam hitungan beberapa detik saja, dan harta kekayaannya masih tetap bisa dinikmati, entah oleh keluarga atau koleganya. Dengan pengenaan hukuman alternatif tersebut, pelaku tipikor dapat menderita lahir dan bathin secara berkepanjangan. “Siksa” dapat mereka rasakan dalam waktu lama dan mendapatkan rasa malu berkepanjangan. Namun, anak-anak mereka yang belum cukup umur harus dilindungi negara. Mereka tak selayaknya mendapatkan perlakuan serupa dari masyarakat karena anak-anak tersebut memunyai hak untuk tumbuh-kembang dengan wajar dan menjadi manusia berguna di masa mendatang. Hal ini sebagai refleksi agar model hukuman tumpas kelor yang pernah diberlakukan oleh rezim Suharto kepada individu yang dicap PKI tak terulang lagi.
Dimuat juga di blog pribadi

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun