Selagi jiwamu menyala, semasa hidupmu masih berjalan, dan meskipun kulitmu terus berantakan mengelupas, kau harus tetap mencintai. Mungkin sebagian orang menganggap kalimat di atas adalah nyala asa yang baranya tak dapat dihabisi, sebab banyak puntung berserakan dan dikumpulkan menjadi senjata.
Seorang pemulung menanggalkan suratnya di beberapa map yang terbuang. Sekelompok pengamen mengumandangkan sumbang di zebra cross, trotoar, memasuki warung dan kafe, tanpa sepasang sepatu dan topi kesayangan. Sekumpulan tukang buah tak pernah menyicipi bahkan membawa pulang sebelum memadamkan kantuk dan malu yang sering mengganggu. Lantas, pantaskah orang-orang dengan puntung rokok di tangannya mendapat bagian yang sama? Atau ikut terlindas di jalanan sambil mengacungkan jempol atau bisa mengepalkan tangan?
Aroma masakan tetap tercium di pagi hari. Alangkah baiknya para ibu-ibu menyisipkan pesan di kotak nasi kepada mereka; kasih sayangku hanya sebatas oseng tempe, cintaku yang tulus tersimbol dalam sesendok nasi, ditutup dengan segarnya teh hangat yang kususun harumnya seusai azan subuh. Itu apimu, itu semangatmu, yang terus ibu bangunkan selagi kau hidup. Mereka melalui lencana, kemeja lusuh, dasi-dasi berbau parfum, hingga mencium manisnya pantofel yang baru dicuci. Mereka tak mengapa, namun khawatir dengan kedangkalan peci dan akar rambut yang dibombardir dogma merana.
Tidakkah malu? Tidakkah lacur? Bahkan berani telanjangi diri di depan para gentayangan yang terus menagih? Hmm, mereka tak yakin, pengamen ingin memukul talu, tukang buah ingin mengiris dengan merdu, pemulung mendamba congkelan lembut dan seraknya teriakan, mereka menginginkan pembunuhan kata latah dan tergesa-gesa yang selalu memekik telinga. Kain simbol cinta, sudah tertanam tak tergantikan.
Mereka pulang tanpa haru dan bahagia. Medium, teduh, sunyi, namun memberi harum. Kembali pada kegiatan-kegiatan sebelumnya. Berdagang, bernyanyi, bersalaman dan menyediakan jajanan dengan apik. Malamnya berkumpul bersama di gazebo kepala desa yang sering kabur. Dalam dongengnya kepada anak-anak selepas mengaji;
"Kalian sudah berhasil menanam, jangan tunggu kalian bersekolah atau menjadi apa kemudian hari. Kiranya tak mengenakkan hati dan meresahkan banyak orang, sepatutnya kalian dengan bijak menyusun anyaman dan tebarkan penuh kasih. Pesanku: jadilah diri kalian saling cinta, saling anyam, saling paham dan memberi balon setiap harinya. Agar tak tertinggal dan mudah terkesima, tancapkan puisi-puisi satire di tangan-tangan saudaramu agar terus mengingat kita ini siapa dan darimana asalnya."
Tiga hari ke belakang, lebur. Dua hari ke depan, semoga mereka tertanam sempurna dengan tanpa nista, tetapi sama menderitanya seperti yang telah dilakukan.
Jakarta, 24 Agustus 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H