Mohon tunggu...
Arief Santoso
Arief Santoso Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pekerja Lepas

Peserta BPJS tanpa Ketenagakerjaan, sebab semu dengan status pekerjaan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puntung Rokok dan Garapan

24 Agustus 2024   13:24 Diperbarui: 24 Agustus 2024   13:27 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Selagi jiwamu menyala, semasa hidupmu masih berjalan, dan meskipun kulitmu terus berantakan mengelupas, kau harus tetap mencintai. Mungkin sebagian orang menganggap kalimat di atas adalah nyala asa yang baranya tak dapat dihabisi, sebab banyak puntung berserakan dan dikumpulkan menjadi senjata.

Seorang pemulung menanggalkan suratnya di beberapa map yang terbuang. Sekelompok pengamen mengumandangkan sumbang di zebra cross, trotoar, memasuki warung dan kafe, tanpa sepasang sepatu dan topi kesayangan. Sekumpulan tukang buah tak pernah menyicipi bahkan membawa pulang sebelum memadamkan kantuk dan malu yang sering mengganggu. Lantas, pantaskah orang-orang dengan puntung rokok di tangannya mendapat bagian yang sama? Atau ikut terlindas di jalanan sambil mengacungkan jempol atau bisa mengepalkan tangan?

Aroma masakan tetap tercium di pagi hari. Alangkah baiknya para ibu-ibu menyisipkan pesan di kotak nasi kepada mereka; kasih sayangku hanya sebatas oseng tempe, cintaku yang tulus tersimbol dalam sesendok nasi, ditutup dengan segarnya teh hangat yang kususun harumnya seusai azan subuh. Itu apimu, itu semangatmu, yang terus ibu bangunkan selagi kau hidup. Mereka melalui lencana, kemeja lusuh, dasi-dasi berbau parfum, hingga mencium manisnya pantofel yang baru dicuci. Mereka tak mengapa, namun khawatir dengan kedangkalan peci dan akar rambut yang dibombardir dogma merana.

Tidakkah malu? Tidakkah lacur? Bahkan berani telanjangi diri di depan para gentayangan yang terus menagih? Hmm, mereka tak yakin, pengamen ingin memukul talu, tukang buah ingin mengiris dengan merdu, pemulung mendamba congkelan lembut dan seraknya teriakan, mereka menginginkan pembunuhan kata latah dan tergesa-gesa yang selalu memekik telinga. Kain simbol cinta, sudah tertanam tak tergantikan.

Mereka pulang tanpa haru dan bahagia. Medium, teduh, sunyi, namun memberi harum. Kembali pada kegiatan-kegiatan sebelumnya. Berdagang, bernyanyi, bersalaman dan menyediakan jajanan dengan apik. Malamnya berkumpul bersama di gazebo kepala desa yang sering kabur. Dalam dongengnya kepada anak-anak selepas mengaji;

"Kalian sudah berhasil menanam, jangan tunggu kalian bersekolah atau menjadi apa kemudian hari. Kiranya tak mengenakkan hati dan meresahkan banyak orang, sepatutnya kalian dengan bijak menyusun anyaman dan tebarkan penuh kasih. Pesanku: jadilah diri kalian saling cinta, saling anyam, saling paham dan memberi balon setiap harinya. Agar tak tertinggal dan mudah terkesima, tancapkan puisi-puisi satire di tangan-tangan saudaramu agar terus mengingat kita ini siapa dan darimana asalnya."

Tiga hari ke belakang, lebur. Dua hari ke depan, semoga mereka tertanam sempurna dengan tanpa nista, tetapi sama menderitanya seperti yang telah dilakukan.

Jakarta, 24 Agustus 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun