Perjuangan Tan Malaka dalam mengelorakan perjuangan menumbangkan pemerintah kolonial dan imperialis menginspirasi dibuatnya karya fiksi. Roman ini terbit di Medan dengan julukan khas Patjar Merah Indonesia bagi Tan Malaka menjelang dan di awal kemerdekaan Indonesia. Penulisnya yang paling terkenal adalah Matu Mona.
Beberapa judul kisah Patjar Merah, yang tercatat adalah : 1) Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia) (Medan, 1938); 2) Rol Patjar Merah Indonesia cs. (Medan, 1938); 3) Tan Malaka di Medan. (Medan, 1940); 4) Tiga kali Patjar Merah Datang Membela (1940); 5) Patjar Merah Kembali ke Tanah Air (1940). Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat legenda Tan Malaka di Indonesia, terutama di Sumatera.
Setelah itu, tak ada lagi fiksi yang langsung menuliskan tentang Tan Malaka. Pasalnya rezim Orde Baru telah memukul habis segala hal yang berbau komunis paska tumbangnya Orde Lama. Tan Malaka yang sebenarnya tidak terkait langsung dengan peristiwa itu juga diberangus. Tan Malaka sejatinya adalah pahlawan nasional, tetapi namanya menghilang dalam buku-buku sejarah sekolah. Jangankan fiksi, bahkan buku-buku pikiran Tan Malaka harus beredar di bawah tanah. Mencari Madilog, serupa menemukan jarum di jerami, karena jika ketahuan aparat salah-salah akan digelandang ke penjara.
Setelah angin reformasi berhembus, terbitan-terbitan Tan Malaka pun kembali muncul ke hadapan publik. Sejarah dan pikiran Tan Malaka baik yang ditulis sendiri maupun yang ditulis oleh orang lain mulai beredar ke khalayak. Penghargaan setinggi-tingginya patut dihaturkan kepada Harry Poeze, sejarahwan Belanda, yang empat puluh tahun lebih kehidupannya dihabiskan untuk menyusun kisah hidup Tan Malaka.
Tindakan Poeze patut pula dinilai sebagai tamparan terhadap pemerintah. Poeze telah mengambil alih peran pemerintah yang seharusnya menjadi institusi yang paling berkewajiban untuk menyusun kisah hidup, serta menularkan semangat dan gagasan patriotism Tan Malaka kepada anak bangsanya.
Kembali ke fiksi Tan Malaka, setelah 76 tahun terakhir ditulis, ada seorang anak bangsa yang kembali mencoba mengguratkan kisah hidup Bapak Repulik Indonesia yang pertama ini dalam bentuk novel berjudul TAN. Saya sendiri belum membacanya, jadi tidak bisa berkomentar bagaimana kualitasnya, karena novel ini belum beredar di toko buku, tetapi semangatnya patut dihargai. Pasalnya, bagi anak muda khususnya, membaca Tan Malaka merupakan sesuatu yang jlimet.Meletihkan pikiran. Sebaiknya dalam bentuk fiksi, paling tidak bisa memancing para generasi muda untuk mulai menggali Tan Malaka dari sumber-sumber aslinya.
21 Februari ini berarti sudah 67 tahun, Tan Malaka berpulang. Amat banyak sumbangannya terhadap negeri Indonesia tercinta. Sekitar 34 tahun kehidupannya telah didedikasikan untuk kemerdekaan 100 % Indonesia dari cengkraman kekuatan asing. Dengan fiksi-fiksi Tan Malaka, semoga gagasan Bapak Republik Indonesia ini bisa terus dilestarikan dan diwarisi oleh generasi penerus bangsa.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H