Mohon tunggu...
Arief Nur Rohman
Arief Nur Rohman Mohon Tunggu... Guru - Manusia

Pegiat Moderasi Beragama Provinsi Jawa Barat. Menaruh minat pada Pendidikan, Pengembangan Literasi, Sosial, Kebudayaan, dan Pemikiran KeIslaman.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menyingkap Reifikasi Identitas Arab

13 Maret 2023   06:51 Diperbarui: 13 Maret 2023   07:06 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Identifikasi isi buku (Sumber: Dok.Pribadi)
Identifikasi isi buku (Sumber: Dok.Pribadi)

Tahun 2020 akhir, saya sempat ingin melakukan riset kecil di Dawuan – Kadipaten terkait fenomena komunitas Arab yang cukup lama mendiami kedua wilayah itu. Mulai dari pencarian riwayat awal masuk komunitas Arab, fenomena otoritas ke-Habib-an, interaksi dengan masyarakat setempat, hingga corak berpikir dan praktik keberagamaan. Bahkan sempat pula ingin melakukan riset terkait komunitas etnis Tionghoa yang menduduki pertokoan sepanjang pasar Kadipaten. – meski hal ini akan menjadi bahasan di lain tulisan – Namun rupanya keinginan itu pupus, sebab tak “cukup bekal” referensi, dan boleh jadi tak memiliki “beban institusi.”
Tahun ini, penantian dan “dahaga” kuriositas saya terbayarkan dengan terbitnya buku “Identitas Arab Itu Ilusi” Karya Musa Khazim Al-Habsyi. Buku ini banyak memuat data yang berbasis pada fenomenologis, sosiologis, dan linguistic-genealogis terkait komunitas, etnis, dan identitas Arab. Termasuk di antaranya memuat soal diaspora Hadhrami Bani Alawiyyin dan Sayyid di Indonesia.
Musa Kazhim Alhabsyi, dalam bukunya membagi menjadi tiga bagian utuh. 1). Ilusi identitas Arab; 2). Melacak keturunan penutur bahasa Arab; 3). Habaib dalam pendulum dilema, nostalgia, dan paranoia. Secara garis besar, buku ini mengambil dua bahasan yang berkait kelindan. Pertama, mendedah secara linguistik kata “Arab”, dan Kedua, menelusuri secara genealogis-historis masuknya diaspora Hadhrami ke Indonesia.

Reifikasi Identitas Kearaban
Fenomena Arabisasi mengemuka belakangan ini. Mulai dari cara berpakaian yang ke-Arab-araban, penggunaan Bahasa dan terminology ke-Araban, hingga cara berpikir dan praktik ajaran keagamaan yang cenderung dipengaruhi identitas ke-Araban. Hal ini tentu dipicu dengan banyak variable yang memengaruhi di dalamnya, termasuk karena segregasi dan pilihan politik.
Pilihan politik hari ini cenderung didominasi oleh isu identitas yang mencuat dan mengemuka. Dalam kontestasi kehidupan sosial politik kita hari ini, politik identitas tengah menyambangi ruang dan lingkup etnisitas termasuk di dalamnya menyentuh etnis kearaban. Mulai dari habibisme, sayyidisme, dan segenap diaspora Hadhrami di Indonesia untuk merogoh sumber daya suara demi kepentingan sesaat. Dalam dua dekade terakhir, kontestasi identitas kearaban tidak pernah terkira sebelumnya, sebab ruang etnis, suku, hingga agama sama sekali tak pernah terjamah oleh politik.
Namun belakangan, agama dijadikan alat yang direifikasi untuk kepentingan sesaat. Agama pula dijadikan sebagai alat politik untuk mendongkrak suara masyarakat akar rumput. Bahkan siapapun bisa “berbaju” dan “berjubah” untuk menampilkan wajah agamis mereka yang dibalut dengan etnisitas untuk mengeksploitasi, lebih mirisnya hal ini diidentikan dengan Islam dan identitass kearaban.
Lebih jauh kita melihat, para sayyid, habib, dan keturunan Arab lainnya turut serta dan menceburkan diri dalam pertarungan elektoral guna mendompleng suara. Para keturunan Arab belakangan menjadi juru bicara politisi dan mengeksploitasi dukungan dengan dibumbui agama. Dirinya menjadi bagian dari kaum oportunis sesaat meski resiko yang dihadapi cukup berat. Sebab masyarakat Indonesia pada umumnya, memiliki cara pandang kemuliaan tersendiri bagi keturunan Arab, sayyid, dan habib.
Dahulu para sayyid, habib, dan keturunan arab lainnya tidak pernah turut serta dalam pergolakan politik dan perebutan kekuasaan. Jikapun mereka menjadi pemimpin, pejabat dan tugas lainnya dalam pemerintahan yang berkuasa, maka dilakukan dengan cara-cara dan jalan yang damai. Bentuknya beragam, mulai dari jalur pernikahan dengan keluarga di nusantara, relasi kekerabatan, keilmuan dan keluhuran nasab. Sama sekali tidak pernah melakukan mobilisasi, propaganda, dan Gerakan politik untuk merebut kekuasaan.
Fenomena kearaban dan kehabiban ini tiada lain sebagai motif politik. Bahkan sejatinya tidak ada dasar autentik yang berkait kelindan dengan religiusitas, spiritualitas, hingga otoritas. Di belakangan fenomena ini semua tiada lain untuk mengentalkan identitas berbasis etnis. Musa Kazhim Alhabsyi memberi satu terminologi asertif bahwa sesungguhnya identitas arab itu hanya ilusi.

Ilusif Identitas Kearaban

Identifikasi keturunan Arab belakangan terkesan “dipaksakan” untuk mengonstruksi sebuah etnisitas dan identitas kesukuan. Dalam hal ini, identifikasi kearaban diidentikan dengan sebuah wilayah, kafilah, sekumpulan suku bangsa dengan ciri fisik, tradisi, dan budaya tertentu. Padahal konstruksi ini patut sekali kita curigai sebagai intrik elit politik tertentu untuk melegitimasi kekuasaan dan kedudukannya yang boleh jadi rapuh dan tidak memiliki pijakan yang kuat. Konstruksi identitas kearaban ini tak lain hanya ilusif belaka. Ia justru melepas unsur paling sentralnya dari satu tubuh utuh kearaban.
Musa Kazhim Alhabsyi, dalam buku ini berupaya melakukan dekonstruksi terhadap konstruksi identitas Arab tersebut dengan melakukan penelusuran linguistik dari kata “Arab” yang notabene pengertian “Arab” di sini sebagai bahasa, suku bangsa, hingga demografis tertentu. Namun pengertian ini boleh jadi tidak merujuk pada satu hal. Ia bisa merujuk pada pengertian tertentu bergantung konteksnya. Hingga hari ini, para peneliti Arab masih terus melakukan penelitian hingga berselisih paham soal penggunaan kata “Arab”. Apakah kata “Arab” sesungguhnya merujuk pada kelompok etnik, lokus geografis, karakteristik budaya, ataukah hanya mengacu pada bahasa tertentu. Saya kira penulis buku ini, lebih condong pada definisi bahwa “Arab” adalah nama sebuah bahasa yang sebagian penuturnya hidup nomaden dan melakukan pengembaraan hingga menetap di Semenanjung Arab. Dasar inilah yang menjadikan penutur bahasa tersebut disebut “Arab”.
Identitas kearaban sesungguhnya terletak pada bahasa. Di luar unsur bahasa, termasuk di dalamnya wilayah geografis, genealogis, adat istiadat, tradisi, dan suku bangsa sepenuhnya hanya turunan belaka. Sebagaimana riset yang dilakukan Musa Kazhim Alhabsyi soal problematika dan kompleksitas bahasa Arab, membawanya pada kesimpulan umum, bahwa unsur dan elemen pembentuk identitas kearaban tidak lain hanya bahasa. Hal yang paling kecil dari unsur pembentuk kearaban adalah nasab dan kesukuan. Adapun bagian paling besarnya adalah bahasa, tutur kata, perilaku dan lokus geografis. Jika dilakukan pemeringkatan, maka hal ini memuat; 1). Bahasa sebagai pembentuk utama; 2). Lokus geografis yang membentang semenanjung Arab; 3). Budaya dan gaya hidup; 4). Nilai-nilai, pola hidup, dan adat istiadat tertentu; 5), Ikatan agama/ kepercayaan; 6). Nasab dan keturunan.
Hal ini perlu kita sadari bersama bahwa, jika satu unsur pembentuk identitas kearaban dalam hal ini adalah bahasanya sirna, maka boleh jadi unsur pembentuk lainnya kian ilusif. Oleh karena itu, reifikasi dan pemberhalaan terhadap satu identitas tertentu sama sekali tidak berkait kelindan dengan kemuliaan lahiriah yang dangkal. Hal ini sama sekali tidak berkorelasi dengan satu suku tertentu, bahkan satu otoritas tertentu hingga satu nasab tertentu. Jika hal ini dipahami demikian, maka siapapun itu yang bernasab Arab secara otomatis akan merasa lebih unggul ketimbang yang lain. Tentu hal ini kontradiktif dengan pesan inti agama yang menghendaki semua manusia sama, setara, egaliter, kecuali tingkat ketakwaan di hadapan Tuhan-Nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun