Indonesia merupakan negara dengan banyak ragam budaya di dalamnya. Setiap pulau memiliki satu khas dan corak kebudayaan masing-masing. Mulai dari bahasa, kesenian, cara berperilaku, cara berpakaian, dan lain sebagainya. Keragaman ini menjadi satu indentitas kebudayaan bagi bangsa Indonesia. Namun, apakah bangsa kita benar-benar serius dalam menggali, merawat, dan melestarikan budayanya? Apakah para pekerja seni, penggiat kebudayaan, pelestari bahasa, sudah benar-benar sejahtera dalam menjalani kehidupannya? Mari kita urai bersama.
Hari ini, apresiasi pemerintah kepada para budayawan, sastrawan, seniman, dan lain sebagainya – profesi yang menunjukkan konsen dalam berkebudayaan— hanya sekadar apresiasi semu. Dalam hal ini pemerintah hanya sebatas memberikan penghargaan dan apresiasi dalam bentuk artifisial-formal dengan sedikit uang tunai dalam menunjang keberlangsungan hidup para pekerja seni. Wajar saja dahulu Eka Kurniawan – seorang sastrawan dengan banyak karya – mengembalikan anugerah sastra yang diberikan oleh Kemendikbud atas raihannya. Jika saya melihat, hal ini adalah satu bentuk kekecewaan Eka terhadap keseriusan pemerintah dalam menjaga, merawat, dan melestarikan kebudayaan kita. Padahal jika memang benar-benar serius dalam menangani hal ini, banyak bentuk apresiasi lain yang bisa dilakukan. Misalnya, menjadikan para pekerja seni dan budaya sebagai satu profesi atau pekerjaan tetap yang diberi biaya oleh pemerintah. Juga menjadikan layaknya sebagai pegawai negeri sipil yang mempunyai gaji tetap dan berbagai tunjangan kelak ketika sudah tidak bekerja lagi. Sebut saja misalnya: Penyair Negeri Sipil (untuk sastrawan), Pelukis Negeri Sipil, Pekerja seni Negeri Sipil atau banyak lain sebutan dan nomenklatur yang layak disandangkan pada berbagai macam pekerjaan budaya lainnya. (Mohon, istilah ini jangan dianggap serius, namun idenya jangan dianggap bercanda).
Dengan diberikannya satu pekerjaan tetap, saya berasumsi bahwa produktifitas penggalian budaya – baik produk, pemikiran, karya, dan nilai – akan semakin meningkat. Dengan pemberian dana tersebut, Dirjen Kebudayaan, dinas atau lembaga di daerah memberikan berbagai macam program dan kegiatan yang dapat dijadikan sebagai satu upaya produktif penggalian kebudayaan. Bisa dengan riset budaya, kajian naskah kuno, merawat dan melestarikan bahasa daerah, dan lain-lain. Wajar saja jika kebudayaan kita stagnan pada program pelestarian, tidak pada penggalian, menemukan, mengkaji, dan meneliti, berbagai produk budaya lainnya.
Tidak sedikit hari ini sastrawan menggantungkan hidupnya pada hasil royalti dari cetak dan penjualan buku, apakah ini cukup? Tentu tidak. Tidak sama sekali cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup, paling hanya sepuluh persen yang ia dapat dari hasil penjualan. Itupun jika buku dan karya mereka laku keras di pasaran. Jika misalnya, dalam satu tahun ia hanya menerbitkan dan menghasilkan karya satu sampai tiga buku, maka dalam satu tahun tersebut ia hanya memperoleh tiga puluh persen dari hasil penjualan masing-masing buku. Belum dengan potongan pajak, dan lainnya. Padahal pekerjaan dan aktivitas ini tidaklah gampang. Ia perlu riset, mengeluarkan berbagai kreatifitas idenya, memiliki pengalaman estetis untuk dapat menghasilkan karya.
Wajar saja jika mereka identik hidup dalam bohemian, walaupun tidak semua sastrawan, budayawan, dan seniman atau pekerja seni lainnya. Akan tetapi hidup bohemian sudah menjadi ciri khas dan ujian mental pertama bagi mereka yang hidup dan konsen mewakafkan dirinya pada kesenian. Kita lihat misalnya, dulu Chairil Anwar hidup bohemian di Jakarta. Untuk sekadar tidur saja ia berpindah tempat, dari mulai studio lukis sampai ke garasi mobil. Selain pada gaya hidup bohemian, hari ini kita melihat ketidak seriusan pemerintah dalam menangani kebudayaan, terutama bagi mereka pekerja seni.
Memang benar adanya, investasi dalam bidang kebudayaan profit dan benefitnya tidak dirasakan secara langsung dan nampak sekaligus. Akan tetapi ia tumbuh, berkembang, membesar jadi satu pola pikir masyarakat yang mengejawantah dalam perilaku, cara hidup, bersikap, tradisi, dan nilai budaya lain dalam jangka waktu yang panjang. Hari ini pemerintah kita sibuk berupaya mendatangkan berbagai investor luar untuk pembangunan fisik dan mempercantik infrastruktur di berbagai kawasan Indonesia. Â Akan tetapi mereka lupa berinvestasi di negeri nya sendiri dalam bidang kebudayaan. Saya berpikir bahwa wajar saja jika negara tetangga lagi-lagi mengklaim bahwa sebagian produk budaya kita dibawa dan diakui oleh mereka. Hal ini karena tidak adanya keseriusan yang intens dari pemerintah setempat untuk mengklasifikasikan, memberdayakan para praktisi dan pekerja seni.
Budayawan, seniman, sastrawan tidak butuh sekadar penghargaan yang berupa kertas dan sejumlah uang kecil yang akan habis seketika. Ia butuh keseriusan sejauh mana pemerintah kita mau dan serius mengurusi kekayaan budaya kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H