Pak Jokowi dalam strategi pembangunan ekonomi Indonesia sangat bergantung pada BUMN. Hal ini terlihat dengan jelas pada program Nawacita, salah satunya adalah program Kemandirian Energi yang sangat bergantung pada Pertamina, pemerataan pembangunan melalui konektivitas ekonomi dengan pembangunan infrastruktur sangat bergantung pada BUMN konstruksi (baca : Wiyaja Karya, Adhi Karya, Hutama Karya, Waskita Karya dll), dan tentu saja BUMN sektor semen seperti Semen Indonesia. Lihatlah program Tol Trans Sumatera yang digenjot Jokowi, ataupun upaya Presiden untuk segera menyambung Tol Trans Jawa di 2019. Strategi penguatan BUMN, khususnya yang mendapatkan tugas khusus seperti di sektor infrstruktur melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) terus digenjut, puluhan triliun APBN diinjeksikan sebagai modal BUMN diberbagai sektor.Â
Mengapa Swasta tidak dilibatkan?, tentu saja untuk pembangunan yang bersifat rintisan, sangat tidak mungkin melibatkan swasta. Lihatlah skema PPP (Public-Private-Patnership) yaitu pelibatan swasta dalam pembangunan sektor rintisan khususnya infrastruktur di jaman Sby yang gagal. Karena tentu saja Swasta akan mengandalkan modal dari pinjaman perbankan ataupun lembaga keuangan lainnya, yang tentu saja hitungan ekonomi sangat menentukan. Jika Internal Rate of Return (IRR) jalan tol kurang dari 10% mana mungkin perbankan tertarik untuk membiayainya. Maka keberanian Jokowi untuk memposisikan negara yang bekerja dalam penyiapan infrastruktur dan sarana publik lainnya adalah langkah yang patut diapresiasi.
Pertanyaannya, sampai kapan negara dan BUMN bisa memposisikan diri sebagai "Robinhood", seberapa banyak dana yang dimiliki untuk mewujudkan semua program yang baik tersebut. Bicara BUMN tentu harus bicara keseluruhan BUMN, jika ada BUMN yang mendapatkan penugasan tentu saja laporan keuangannya jadi kurang bagus karena investasi yang butuh biaya tinggi dan waktu yang lama, Â belum diimbangi dengan pendapatan dari investasi. Namun ada pula BUMN yang secara rutinitas dalam operasionalnya berpotensi terus mendapatkan laba yang tinggi. Sehingga bicara BUMN maka bicara total kinerja seluruh BUMN, berapa deviden yang disetor ke Negara, berapa hasil setoran tersebut yang diajukan sebagai dana public service obligation (PSO) ataupun PMN untuk memperkuat BUMN yang bertugas membuka jalan lajunya ekonomi (baca BUMN Karya, BUMN perumahan dll).
Salah Urus, Kinerja BUMN 2016 Turun
Publik mungkin tidak menyadari bahwa ada yang salah dalam pengelolaan BUMN. Karena publik sering kali disuguhi iklan BUMN yang besar-besar setiap BUMN tersebut memiliki momentum yang dipandang perlu untuk menunjukkan kinerjanya. Ada 118 BUMN, berapa BUMN yang "ekpose kinerjanya karena dianggap membanggakan". Berbagai program Charitiy BUMN yang dikoordinasikan Kementerian BUMN melalui slogan BUMN Hadir Untuk Negeri  terus dilakukan setiap tahun seperti kegiatan serentak BUMN setiap bulan Agustus seluruh Indonesia yang diperkirakan membutuhkan dana sekitar Rp 7 miliar setiap provinsi atau lebih dari Rp 238 miliar setiap tahun dengan program bedah rumah, bantuan veteran, bantuan peralatan sekolah, siswa mengenal nusantara dan lainnya (anggaran Rp 238 miliar belum termasuk anggaran internal untuk mobiltias karyawan BUMN). Maka dapat dikatakan program charity yang dikoordinasikan Kementerian BUMN setiap tahunnya mencapai lebih dari Rp 500 miliar (bukankah setiap BUMN diminta juga membuat Balai Ekonomi Desa (Balkonedes) @ Rp 1 miliar)).
Masyarakat dan Pemerintah Daerah tentu saja senang dengan program charity tersebut yang setidaknya memberikan dampak positif bagi masyarakat. Namun ada yang tidak kelihatan, apakah BUMN tersebut akan sustainable dalam jangka pendek maupun jangka panjang?. Apalagi sebagian BUMN sudah terlanjur "menelan hutang yang besar, khususnya dari China" untuk mendukung pembiayaan Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung dan berbagai pembiayaan lain dalam skema (OBOR: One Belt One Road) yang digagas Pemerintah China. Apakah nanti ada BUMN yang bernasib seperti Indosat ataukah tidak?.
Dengan program Jokowi yang masif, mestinya BUMN sebagai "anak emas" mendapatkan banyak manfaat?. Teorinya seperti itu. Mari dibandingkan kinerja BUMN tahun 2014 sesaat setelah Sby lengser dan Menteri BUMN kala itu adalah Dahlan Iskan dengan kinerja BUMN tahun 2016 atau 2 tahun Pemerintahan Jokowi dengan Menteri BUMN Rini Sumarno.Â
- Return on Asset (ROA) BUMN tahun 2014 sebesar 3,23% sedangkan tahun 2016 hanya Rp 2,98%. ROA BUMN dibawah bunga deposito sebesar 6,75%. Jadi Pemerintah lebih untung menjual semua BUMN lalu menaruh uangnya di Deposito. Dengan aset BUMN yang sudah tembus diatas Rp 6.500 triliun, maka setiap penurunan 1% ROA ada potensi pemasukan negara yang hilang sebesar Rp 65 triliun.Â
- Bahwa target laba BUMN 2016 sebesar Rp 172 triliun dibandingkan tahun 2015 sebesar Rp 149 triliun tidak tercapai. Laba BUMN 2016 hanya tercapai Rp 164 triliun atau 95% dari target. Itupun laba BUMN 2016 ditopang oleh laba Pertamina (BUMN Migas ini laba naik 120% dari Rp 18,6 triliun di tahun 2015 naik menjadi sekitar Rp 42,7 triliun ditahun 2016 atau ada kenaikan laba sekitar Rp 24,1 triliun).
- Jika laba Pertamina tahun 2016 dianggap stagnan atau sama dengan laba tahun 2015 sebesar Rp 18,6 triliun, maka laba keseluruhan BUMN tahun 2016 hanya sekitar Rp 145 triliun atau menurun dibandingkan dengan laba tahu 2015 bahkan lebih kecil dibandingkan laba tahun 2014. Mengapa?, optimisme Menteri Rini bahwa laba BUMN perbankan akan moncer di tahun 2016 ternyata tidak tercapai. Padahal dalam berbagai statemen di media pada awal 2016, laba BUMN akan ditopang sektor keuangan.
- Bank Mandiri yang dianggap jempolan dan "melahirkan" banyak Dirut/Direksi untuk BUMN lainnya, kinerja tahun 2016 justru "Anjlok". Laba Bank Mandiri tahun 2015 sebesar Rp 19,9 triliun di tahun 2016 anjlok menjadi Rp 13,8 triliun. atau turun hampir 40%.