Penandatanganan "Head of Agreement" (HOA) pengembangan lapangan hulu migas Abadi di Blok Masela, di Kepulauan Tanimbar, Maluku  tanggal 16 Juni 2019o oleh Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto dengan Shunichiro Sugaya, President Direktur INPEX Indonesia yang disaksikan oleh Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia, Hiroshige Seko, Menteri Ekonomi, Perdagangan dan Industri (METI) Jepang, dan Takayuki Ueda, CEO dan Presiden Direktur INPEX Corporation, memiliki beberapa catatan penting yang akan merubah landscape strategi pembangunan di Indonesia dimasa mendatang.
Pertama : Setelah hampir 20 tahun sejak ditemukannya lapangan migas di Masela tahun 2000 atau sejak Presiden Gus Dur sampai Presiden SBY, potensi luar biasa tersebut belum dapat dieksekusi dengan baik.Â
Jika melihat masa Pemerintahan Gus Dur dan Megawati yang pendek, maka di era SBY yang 2 periode kepemimpinan juga belum mampu merealisasikan potensi menjadi lapangan gas yang berproduksi.Â
Kompleksivitas Blok Masela memang membutuhkan pimpinan negoisasi yang menguasai dunia perminyakan, memiliki integritas dan rekam jejak yang mumpuni serta capaian prestasi dalam memimpin sebuah korporasi/kelembagaan.
Kedua : Penandatanganan HOA di acara G-20 Summit atau pertemuan para pemimpin negara dengan 20 negara yang memiliki GDP terbesar di dunia ditengah perang dagang antara USA dan China, serta sentiment negatif yang dibangun dalam narasi-narasi politik bahwa perekonomian Indonesia dimasa mendatang akan dibanjiri investasi dari negara China, momen penandatanganan di G-20 Summit yang diselenggarakan di Karuizawa Jepang, menunjukkan investasi di Indonesia terbuka bagi negara manapun di dunia sepanjang memberikan keuntungan yang maksimal bagi Indonesia.Â
Bahkan dengan investasi sd US$ 20 miliar akan menjadi investasi terbesar negara Jepang di luar negeri dalam 5 tahun terakhir. Â Ini juga menegaskan posisi Indonesia yang sangat penting bagi negara Jepang. Bagi Indonesia, dalam hal ini SKK Migas menunjukkan bahwa lembaga ini bersifat fair tidak melihat dinamika politik antar negara, tetapi lebih mengedepankan aspek kemanfaatan dan keberlangsungan investasi untuk Indonesia. Kebuntuan pembahasan yang pernah terjadi yang mungkin saja dibumbui dengan isu-isu politik antar negara menjadi sirna, karena SKK Migas bekerja penuh profesionalisme, transparan, akuntabilitas untuk mewujudkan kepentingan negara Indonesia agar memperoleh manfaat yang terbaik.
Ketiga : Tren investasi asing di Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir menguat di sektor ritel, infratruktur dan konsumerisme atau sektor yang padat tenaga kerja dan impor produk asing, yang mana sektor tersebut sebagian besar akan bersaing dengan pelaku usaha dalam negeri yang sudah lebih dahulu eksis sehingga memunculkan sentiment negatif yang dijadikan narasi politik keberpihakan, maka keberhasilan SKK Migas menandatanganai HOA untuk blok Abadi Masela maka akan mendorong investasi asing untuk masuk ke sektor hulu Migas yang padat modal dan padat teknologi, sehingga aliran Foreign Direct Investment (FDI) yang akan menjadi multiplier effect ekonomi di Indonesia akan mengalir deras dan memberikan dampak positif bagi ekonomi nasional.
Keempat : Sektor Migas perlahan namun pasti akan bergeser dari menjadi beban Pemerintah menjadi penopang kinerja ekonomi Pemerintah. Impor BBM yang luar biasa dan menyebabkan defisit neraca perdagangan Indonesia semakin melebar serta menyebabkan tekanan kurs, perlahan sektor Migas yang utamanya ditopang sektor Gas akan menjadikan neraca Migas menjadi positif, sehingga Migas tidak lagi menjadi beban bagi negara.
Kelima : Transformasi di SKK Migas yang seolah-olah tenggelam kelembagaannya setelah gugatan Mahkamah Konstitusi yang berujung pembubaran BP Migas dan dibentuk kembali SKK Migas.Â
Keberadaan SKK Migas menjadi seolah-olah lembaga yang "menunggu pensiun" semata, sehingga dalam perjalanannya SKK Migas saat itu lebih fokus pada aspek operasional semata.Â
Tidak terlihat semangat untuk berperan lebih besar. Ini pula yang menyebabkan mangkraknya negoisasi di Masela yang seolah-oleh kelambanan Pemerintah, padahal dalam konteks ini dari SKK Migas dimasa tersebut juga berkontribusi besar, karena yang harusnya menjadi panglima dan bahkan menyetujui/menandatangani adalah SKK Migas, pihak Pemerintah dalam hal ini Menteri ESDM hanyalah menyaksikan.Â