Mohon tunggu...
Arief
Arief Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Pernah nulis dibeberapa media seperti SINDO, Jurnas, Surabaya Post, Suara Indonesia (dulu dimasa reformasi), Majalah Explo dll. ( @arief_nggih )

Selanjutnya

Tutup

Money

2015 Tahun Pengorbanan Rakyat Indonesia

31 Desember 2015   16:56 Diperbarui: 31 Desember 2015   17:54 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Betapa luar biasanya pengorbanan rakyat Indonesia. Sepanjang tahun 2015, rakyat harus menanggung kebijakan Pemerintah yang dapat dikatakan "tidak pro rakyat" dengan alasan untuk pengalihan subsidi untuk sektor yang produktif dan lainnya. Tentu posisi rakyat hanyalah bisa menerima apapun kebijakan Pemerintah. Tinggal nantinya Pemerintah merealisasikan janjinya untuk "mensejahterakan rakyat" dari hasil pengalihan subsidi tersebut.

Meskipun hasil pembangunan tidak serta merta berhasil dengan cepat, tetapi tentunya pasti ada hasil juga dalam jangka pendek, selain jangka menengah dan jangka panjang. Tentu Pemerintah memiliki segudang ahli di Pemerintahan yang dapat merealisasikan hasil pembangunan jangka pendek. Karena tentunya, dengan modal dan kemampuan terbatas, tentu rakyat tidak kuat jika harus "puasa" dalam waktu yang lama.

1. Pencabutan Subsidi BBM
Sebuah langkah yang luar biasa, ada keberanian untuk mencabut subsidi BBM ditengah harga minyak mentah dunia yang sangat tinggi saat itu yg mencapai kisaran US$ 100 per barrel. Keputusan politik yang brilian dan penuh resiko, namun ada potensi fiskal lebih dari Rp 100 triliun yang bisa dialihkan ke sektor produktif. Uang Rp 100 triliun jika dibagi ke 50 juta kepala keluarga, maka setiap keluarga akan mendapatkan Rp 2 juta rupiah.

2. Mencabut subsidi listrik
Perlahan namun pasti, Pemerintah menghilangkan subsidi listrik. Per November 2015, maka seluruh golongan 1.300 W ke atas sudah tidak ada subsidi, ditambah rencana verifikasi ke golongan 450 dan 900 tentu akan semakin banyak kelompok masyarakat yang harus melepas subsidi disektor listrik

3. Kewajiban mengikuti BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dengan program BPJS Kesehatan, karena sudah terlaksana dibeberapa daerah dalam bentuk pengobatan gratis (kartu sehat), seperti di Sumatera Selatan, Jakarta dan lainnya. Bahkan ada beberapa pemerintah daerah yang membayar premi tahunan kepada perusahaan asuransi dan seluruh warganya akan mendapatkan pengobatan gratis.

4. Kebijakan harga pangan murah, korbankan petani dan peternak
Heboh harga daging sapi yang sempat menyentuh harga Rp 120 ribu - Rp 150 ribu/kg disikapi dengan kebijakan menambah impor sapi hidup dari 50.000 menjadi 200.000, yang pada akhirnya juga sulit menurunkan harga daging dibawah Rp 100.000 /kg. Artinya justru peternak yang rugi karena harga jual ke tengkulak akan dinego turun lagi, sedangkan harga jual daging tidak kunjung turun. Artinya keuntungan justru dinikmati para tengkulak (rantai distribusi). Ramainya pemberitaan, peternak sapi di NTT yang harus menjual harga sapi hidup per kg yang sangat rendah saat launching kapal khusus ternak, menunjukkan bahwa orientasi kebijakan Pemerintah masih fokus pada sisi "konsumen".

Konsistensi Kebijakan Pemerintah Diuji saat harga minyak dunia jatuh
Asumsi-asumsi dalam membuat kebijakan energi, berbanding terbalik ditengah jalan, ketika pasar minyak mentah dunia "banjir pasokan" yang menyebabkan mulai Nopember 2014 sampai saat ini harga minyak mentah terus turun dari kisaran US$ 80 perbarrel menjadi kisaran US$ 38 per barrel. Jika memperhatikan asumsi APBN-P 2015 yang mematok harga minyak mentah diangka US$ 50 barrel, maka dapat dikatakan sejak bulan Oktober 2015 yang lalu dengan harga Premium Rp 7.400 per liter, maka Pemerintah sudah untung jualan BBM, meskipun secara tahunan kumulasi sejak Januari 2015 masih rugi. Ini nampak dari pernyataan dari Pertamina yang sampai Nopember 2015 masih rugi triliunan rupiah.

Bos IMF Cristian Lagarde memprediksi harga minyak mentah dunia di tahun 2016 bisa menembus dibawah US$ 20 per barrel, artinya adalah harga premium bisa dibawah Rp 5.000 per litter.

Sikap diam dan pasrah rakyat, rupanya diartikan lain oleh Pemerintah yang berencana memungut pajak ketahanan energi Rp 200 per liter pada setiap Premium yang dijual dan akan menghasilkan dana puluhan triliun dalam waktu 5 tahun. Dilain pihak Pemerintah terus menambah hutang untuk pembangunan. Lalu kapan rakyat bisa mulai menikmati hasil pembangunan?

Ubah Kebijakan Agar Rakyat Tidak Posisi Tergencet terus
Ada banyak hal yang bisa dilakukan di tahun 2016, agar beban berat masyarakat dapat dikurangi dan justru mendapatkan manfaat yang besar, antara lain :
Pertama, hilangkan ketakutan rakyat dengan melakukan perubahan cara dalam membangun kedaulatan energi. Caranya adalah kurangi potensi penggunaan premium (BBM bersubsidi) oleh masyarakat, antara lain untuk sektor otomotif buat kebijakan agar mobil mengadopsi standar EURO 5 yang akan memaksa produsen otomotif nasional menaikkan standar penggunaan BBM dalam desain mesinnya. Dengan standar otomotif yang rendah, maka industri otomotif nasional akan memproduksi kendaraan bermotor dengan spek yang rendah, artinya diakali pakai premium juga sudah cukup. Kedua, dengan mengganti semua nozzle pengisian bahan bakar yang mampu mencegah penggunaan BBM bersubsidi oleh mobil-mobil mewah. Melalui rekayasa kebijakan ini, maka tidak terjadi pukul rata yang akibatnya rakyat kecil yang paling banyak terkena dampak negatif kebijakan pungutan dana ketahanan energi Rp 200 per liter.
Kedua, segera di tahun 2016 bangun ratusan SPBG yang menunjukkan komitmen Pemerintah untuk membangun energi yang ramah lingkungan dan justru berbiaya lebih murah. Buat kebijakan mobil 2017 harus disertai konverter kit (mobil baru produksi dalam negeri maupun impor). Setidaknya sepanjang jalur sibuk seperti pantura, sepanjang tol trans jawa, tol trans sumatera berjejer tangki SPBG di setiap SPBU. Sementara ini alihkan dana dari "polling dana sawit untuk EBT" yang jumlahnya sudah triliunan tersebut untuk membangun SPBG.
Ketiga, segera kasih kepastian Pertamina untuk menyerap bioetanol yang sudah diproduksi oleh puluhan perusahaan di Indonesia, yang karena tidak terserap sebagian di ekspor atau mengurangi utilitas produksi. Jelas harga minyak mentah dikisaran US$ 30 per barrel, maka bioetanol tidak bisa bersaing.
Keempat, segera dorong pengembang perumahan, khususnya di perkotaan (apartemen, hotel gedung) dan perumahan kelas menengah-atas untuk mulai menggunakan energi terbarukan yaitu energi surya (matahari) sebagai salah satu sumber energi selain listrik dari PLN. Langkah beberapa BUMN/BUMS yang membangun penerangan jalan sepanjang jalan tol dengan pakai energi surya adalah hal yang bisa ditiru untuk diterapkan disektor lain seperti properti.
Kelima, belanja Pemerintah dibidang energi sangat besar, termasuk ketika belanja kendaraan bermotor. Indonesia memiliki 34 provinsi dan 431 kabupaten/kota. Tentu ada jumlah kendaraan dinas besar sebagai "backbone" untuk mulai melakukan kebijakan diversifikasi energi.
Keenam, serapan belanja Pemerintah tidak pernah bisa 100% di akhir tahun dan selalu ada Sisa Anggaran Lebih (SAL) yang tinggi. Namun tiap tahun, target pengeluaran APBN terus dinaikkan yang pada akhirnya diisi dengan hutang. Kenyataannya banyak anggaran yang tidak digunakan sedangkan hutang sudah terlanjur dilakukan, sehingga ditahun berikutnya muncul beban bunga selain angsuran pokok. Tahun 2017 terapkan resoluasi APBN nol persen (0%) dari hutang, sehingga aparat pemerintah didorong untuk menyusun program berdasarkan anggaran yang tersedia.
Ketujuh, naikkan peran BUMN dalam menguasai sektor strategis dan sektor yang diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 33, sehingga jika ada turbulensi ekonomi Pemerintah memiliki ruang yang memadai untuk melakukan intervensi kebijakan tanpa harus takut ekonominya terguncang karena tergantung sama dana asing.
Kedelapan, berikan peran yang lebih besar kepada perusahaan nasional (BUMN/BUMS) dan kurangi peran asing dalam investasi. Jika berpikiran butuh modal untuk investasi tentu muaranya adalah asing, tetapi harus diingat di era yang semakin canggih seperti ini, maka akan ada lisensi merk, lisensi teknologi, lisensi SDM dan lainnya yang akan menjadi beban pengeluaran perusahaan asing di Indonesia. Akibatnya dapat dipastikan akan menggerus keuntungan perusahaan asing tersebut, sedangkan Pemerintah hanya menerima pajak saja sesuai besaran keuntungan. Semisal, semua perusahaan asing di Indonesia rugi, lalu Pemerintah Indonesia dapat apa?. Perusahaan asing di Indonesia bisa saja rugi, tetapi dipastikan induknya sudah menikmati terlebih dahulu dalam bentuk lisensi merk, lisensi teknologi dan lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun