Mohon tunggu...
Arief Muhajir
Arief Muhajir Mohon Tunggu... wiraswasta -

Seorang Penulis Freelancer yang bertekad menyebarkan hal-hal baik dan bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sehat dan Sejahtera dengan One Day No Rice

14 November 2013   08:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:12 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seperti yang pernah diucapkan Bung Karno, “Bila ketahanan pangan suatu bangsa dapat terjaga dengan baik  niscaya kedaulatan negara tersebut akan terpenuhi. Namun sebaliknya, bila ketahanan pangan diabaikan, tentu bangsa ini akan menjadi bangsa yang lemah.”

One Day No Rice atau disingkat ODNR bukanlah gerakan yangg melarang atau "mengharamkan" masyarakat makan nasi atau makan olahan lainnya yang berasal dari beras, sama sekali bukan. Gerakan ini bermaksud menumbuhkan kesadaran dengan mengubah perilaku (mindset) masyarakat  sehingga mereka mau mulai mengurangi konsumsi nasi dan mulai membiasakan mengonsumsi makanan yang beragam dan aman, murah dan menyehatkan berbasis sumberdaya lokal. Makanan tersebut di antaranya: singkong, ubi, talas, kentang, ganyong, dan umbi-umbian lainnya.

Perlahan namun penuh kepastian, gerakan diversifikasi pangan yang digagas Wali Kota Depok Dr. Ir. H. Nur Mahmudi Isma’il, M.Sc. ini terus mendapatkan sambutan di sana-sini. Bukan hanya  pengakuan semata, namun atas usaha keras dan ketulusan untuk bangsa ini, Wali Kota Depok yang memang pakar di bidang teknologi pangan menyabet dua penghargaan untuk kategori pembina diversifikasi pangan terbaik se-Provinsi Jawa Barat dan penghargaan lainnya yakni sebagai Wali Kota Teladan dalam bidang diversifikasi pangan dalam rangka Hari Pangan Sedunia ke XXIII di Padang 2013 lalu. Sebuah torehan prestasi yang mengharuskan sang Wali Kota melakukan ekspos di depan para profesor dan ahli pangan.

Menurut survei Badan Pangan Dunia (FAO) pada 2011,  sekitar 925 juta penduduk pada 2011 mengalami kekurangan gizi di seluruh dunia. Indonesia yang memiliki jumlah penduduk sebanyak 241 Juta (BPS, 2012) telah mengalami permintaan pangan bertambah dalam jumlah, mutu, dan keragamannya. Sementara itu, pertumbuhan kapasitas produksi pangan lokal telah menghadapi hambatan dengan adanya alih fungsi lahan, dukungan infrastruktur pangan yang kurang memadai, regulasi yang kurang mendukung  produksi pangan lokal, agroekosistem yang tidak sesuai, keberpihakan pada pangan impor, iklim usaha yang tidak kondusif dan perubahan iklim.

Karena itu sungguh ironis. Negeri kita yang kaya raya dan subur makmur-kata grup musik legendaris Koes Plus-tapi justru mengimpor beras dari negara tetangga. Belum lagi kultur mindset yang ada di benak masyarakat Indonesia yang merasa belum makan kalau belum mengonsumsi nasi makin memperparah negeri dengan jumlah deposit emas nomor dua terbesar setelah Brazil ini. Rakyat yang menderita penyakit dan kemiskinan ada di mana-mana.

Untuk itu, menyebarluaskan gerakan ODNR harus terus dilakukan. Jika gerakan ini berjalan, kedaulatan pangan nasional akan sukses. Lontaran pernyataan ini didasari data dan fakta bahwa konsumsi beras masyarakat Indonesia semakin tinggi seiring bertambahnya jumlah penduduk. Konsumsi beras yang tinggi memicu impor beras, yang artinya devisa kita terbang ke luar negeri. Selain itu, ketergantungan terhadap satu makanan pokok akan berdampak pada ketahanan pangan.

Jika kesadaran untuk mengurangi konsumsi beras berhasil, maka akan terjadi penghematan yang luar biasa. Jika satu hari saja masyarakat Indonesia tidak makan nasi dari beras, kita dapat berhemat hingga 35,4 triliun rupiah. Jika kita tidak mengimpor beras alias tidak bergantung kepada negara lain, Indonesia akan menjadi negara berdaulat di tengah percaturan global. Itulah salah satu alasan yang mendasari gerakan One Day No Rice di Kota Depok. Indonesia kaya akan pangan alternatif pengganti beras, antara lain singkong, sagu, umbi-umbian, jagung, dan lainnya.

Gerakan ODNR terbukti membuat sehat dirasakan langsung oleh Hary (34 tahun). Pria yang sehari-hari bekerja sebagai kepala kantor ini menjelaskan, “Saya dan keluarga memiliki diabetes dari faktor keturunan. Sehingga saya sangat membatasi diri dalam mengonsumsi makanan mengandung glukosa yang berlebih seperti nasi. Karena ketika saya mengonsumsi nasi, gula darah saya cepat sekali meningkat, badan cepat lemas dan mengantuk. Dengan kondisi demikian, saya ingin menghilangkan atau mengurangi ketergantungan terhadap nasi. Saya mengganti nasi dengan umbi-umbian yang memiliki kandungan karbohidrat dan zat lain yang diperlukan oleh tubuh kita. Umbi-umbian tersebut saya kombinasikan dengan sayur dan lauk pauk layaknya orang mengonsumsi nasi dengan sayur dan lauk pauk juga, “jelasnya.

Selama beberapa bulan saya lakukan program tanpa nasi tersebut, alhasil ada beberapa manfaat yang saya dapatkan sejak secara langsung bagi tubuh di antaranya adalah: berat badan tetap seimbang, gula darah normal, sakit tulang yang saya idap berangsur hilang, dan saya selalu sehat dan aktif dinamis di lingkungan kerja, “tambah Hary.

Dari sisi dunia usaha, muncul-lah para pengusaha yang melihat gerakan ini dari sisi bisnis. Kelompok pengusaha ini tentu melihat peluang bisnis yang sangat terbuka terhadap menu dan produk olahan berbahan nonberas dan nonterigu. Karena pada dasarnya kebutuhan akan konsumsi itu tiap hari dan pasti.

Hadirnya pabrikasi mie dari tepung mocaf (singkong) di Desa Ngawu Kecamatan Playen Kabupaten Gunung Kidul, beras jagung dari Kecamatan Manglie Magelang, dan menyusul dari beberapa tempat lain di Indonesia menandakan bahwa gerakan ini telah membuat para kreator pangan mendapatkan ide yang implementasinya dapat menyerap tenaga kerja baru. Petani pun dibuat senang karena hasil bumi mereka jauh-jauh hari sudah dikontrak beli oleh pabrikasi pangan ODNR tersebut. Hal tersebut tentu akan mendorong pertumbuhan ekonomi sebuah daerah, peningkatan lapangan kerja, dan menjadi kebijakan yang membela rakyat kecil.

Sebuah gerakan sederhana namun hasilnya luar biasa. Negeri ini jangan terlalu sering diberi adegan politik yang membuat rakyat tambah jengah dan muak. Korupsi yang merajalela, kemiskinan di mana-mana, penyakit yang menyiksa merupakan buah dari pola kepemimpinan yang jauh dari keberkahan. Karena itu, sayangi alam dengan kembali kepada kearifan pangan lokal adalah sebuah solusi bijak menjadikan negeri ini untuk menjadi negeri yang nyaman untuk penduduknya sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun