Mohon tunggu...
Arief Maulana
Arief Maulana Mohon Tunggu... -

hanya sekadar mengisi kekosongan saja...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bayang-bayang

28 Januari 2011   03:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:07 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Selalu bersama,” katamu, “kita selalu bersama.”

Dalam dunia yang tidak pernah tercatat waktu, kami selalu berjumpa dan bersama. Dalam semesta ruang yang tak berhampa, kami selalu mencatat sebuah sejarah dan masa gemilang. Karena masa akan terus berganti, melenyapkan kini menjadi masa-masa berikutnya, lalu ia pun akan berganti juga begitu seterusnya. Apakah masa-masa yang telah hilang tersebut secara harfiah akan hilang tanpa ada bekasnya? Betapa masa-masa lalu selalu penuh dengan kenangan. Dan tentu saja kenangan tidak akan melayang, lenyap hilang di udara manakala kita selalu abadikan bagai sebuah foto yang selalu tersimpan rapi dalam album.

Kami selalu bertemu tanpa cahaya, karena apakah cahaya akan selalu ada mempertemukan kami? Masalahnya, dunia tidak selamanya disinari oleh cahaya. Adakalanya cahaya akan hilang datang pergi bagai langkah kaki bagai guguran daun, muncul lagi hilang lagi muncul lagi hilang lagi. Betapa cahaya tidak akan selamanya bersinar benderang. Karena itulah kami memutuskan bertemu tanpa cahaya yang membiasi kami. Bagaimanakah bisa melihat wajah masing-masing; seseorang kelak akan berkata seperti itu pada kami. Betapa tanpa cahaya pun, aku sudah bisa melihat wajahnya karena mata kami tidak pernah berdebu. Mata kami bisa menembus kegelapan, bisa menjelajahi semesta gelap yang sunyi dan kelam. Mata kami berada di hati dan siapa yang hendak mencarinya?

“Jangan ragu,” katamu lagi, “jangan ragu memegang tanganku.”

Dalam keremangan, di mana udara menjadi hampa dan membisu. Permukaan langit akan menjadi ungu pekat tanpa bulan, tanpa bintang. Kami lupa di mana kami terakhir melihat senja ataupun pagi. Kami hanya bisa melihat malam yang gelap saja, karena kami telah sepakat untuk bertemu tanpa cahaya bukan? Langit gelap tanpa pesona namun ia menjelma menjadi puisi yang selalu teralun meski permukaannya selalu gelap dan remang. Puisi yang akan selalu kau baca ketika kami bertemu membaca masing-masing ke dalam jiwa kami yang membeku. Jiwamu beku dan jiwaku juga. Aku selalu menatapmu tanpa cahaya dan tidak kupedulikan meski tanpa cahaya juga. Aku telah hafal setiap sudut wajahmu, setiap lekuk yang ada di tubuhmu, bahkan jiwamu yang membeku itu pun bisa kurasakan. Pikiranmu bisa kuterka. Amarahmu bisa kuredam. Nalurimu bisa kuikuti. Langkahmu bisa kubuntuti. Percaya atau tidak, percayalah karena ini nyata.

Dalam kegelapan, kami bertemu. Melepas rindu yang menggebu. Menyisir asmara yang terlihat kusut. Aku ragu memegang tanganmu karena jiwaku dingin sedingin kulkas sedang kau sebaliknya. “Jangan ragu,” katamu. Maka kuikuti kata-katamu yang kau ucapkan tanpa kata-kata, tanpa suara. Karena bagaimanakah kata-kata akan mampu membahasakan jiwa kami yang terikat oleh cinta? Aku dan dirimu berkata, namun tanpa kata-kata, hanya naluriah belaka. Tetapi kami yakin bahwa kami sedang berkata dan berbicara.

***

“Apa kita akan tetap bersama?” katamu lagi memecah kesunyian. Aku diam, karena memang aku hanya bisa terdiam. Tetapi bukankah di balik diamku itu aku sedang berkata? Kita akan tetap bersama meski usia tidak akan pernah sama, begitu kataku dengan kata-kata yang tidak terbahasakan oleh suara. Bukankah kami telah ditakdirkan untuk bertemu tanpa cahaya dan setelah itu berpisah dengan saling mengenang dan mencumbu bayang-bayang? Aku selalu membayangkanmu, dan aku bisa menduga kau pun akan sama dengan apa yang kulakukan padamu. Kami tidak pernah alpa untuk saling bersama, bahkan kami lupa mereka-reka alasan untuk tidak bertemu.

Seperti bayang-bayang, ya seperti bayang-bayang. Jiwa kami akan menyatu lekat tidak akan terpisah satu sama lain manakala kami telah bertemu. Dalam dunia yang tidak pernah tercatat waktu, satu hari bisa saja menjadi seribu tahun, atau bahkan beberapa abad yang tetap bergulir. Seperti bayang-bayang, aku akan mengikuti ke mana kau pergi ketika bertemu, dan hilang di udara ketika kami berpisah. Betapa mengasyikkan menurutku saat aku mengekornya ketika bertemu dan tiba-tiba aku hilang saja tanpa jejak ketika aku berpisah denganmu. Memang menyakitkan, tetapi aku menjalaninya dengan sangat santai dan bahkan begitu bahagia kulakukan.

Tanpa cahaya, jiwa kami bersatu. Saling merindu dan melekat. Jiwa bertemu dengan jiwa. Mata bertemu dengan mata. Dan hati bertemu dengan hati. Siapa yang bisa mengira kami akan bertemu dan melekat sampai sejauh ini? Kami hidup di antara dua dunia, dan kami bertemu pada sebuah dunia yang lain yang belum pernah kami pijaki sebelumnya. Jika memang di dunia yang tidak pernah tercatat waktu ini, kami ditakdirkan untuk selalu bersama, maka kami akan tetap bersama melekat dan menyatu tanpa pernah terpisah satu sama lain. Berkembangbiak dan beranak pinak dengan bahagia. Lalu jiwa kami akan selalu berbaring menentang langit, menentang kegelapan, sekali lagi tanpa cahaya. Dalam kegelapan kami bisa saling berkata, bercerita, memandang wajah dengan penuh cinta, dengan kain selimut yang membalut tubuh kami. Berdua dalam gelap. Berdua dalam kelam. Mendengarkan suaranya yang menjelma menjadi sajak dalam lautan darahku. Tiadalah yang lebih indah selain merasakan kehidupan seperti itu. Tentu saja denganmu.

Tanpa suara, bagaimanakah kedua jiwa ini akan berbicara? Kami sering mendengar sesekali lautan bisu berkecipak di pasir-pasir yang basah tanpa cahaya. Lautan itu berkata dan bersuara lantang namun tidak pernah dimengerti oleh manusia. Laut seakan menyapa kami dan membelai kami dengan sapuan ombaknya yang lembut bagai sapuan sutra dan kain beludru. Laut menyapa kami dalam bayangan saja. Membayangkan segala yang indah dan barangkali hanya kami jumpai dalam semesta bayangan saja. Betapa kami ditakdirkan hanya bertemu pada sebuah tempat saja. Tidak pernah dan tidak bisa kami bertemu di tempat lain di mana segala sesuatu yang pernah kami bayangkan terhampar dengan sangat nyata di hadapan kami. Tidak lagi menjadi sebuah bayangan. Namun entah kapan hal itu akan terjadi.

Segala sesuatu akan menjadi bayang-bayang. Bayang-bayang yang terbentuk meski tanpa cahaya sekali pun. Hmm, bayang-bayang yang terjadi tanpa cahaya. Bukankah itu adalah sesuatu yang ganjil? Dan seringkali sesuatu hal yang ganjil memang tidak bisa diterima dengan mudah semudah membalikkan telapak tangan. Tapi kami menyukai segala hal yang ganjil dan nadir. Tidak akan pernah sama dan disamai. Itulah keinginan kami.

“Kau cantik sekarang,” katamu, “melebihi kecantikanmu kemarin.”

Kau memujiku. Atau memang kau bukan hendak memuji, melainkan berkata apa adanya. Pujian memang indah, namun apakah sebuah pujian itu benar-benar berasal dari jiwa? Apakah sebuah pujian itu berdasar pada kenyataan yang ada? Adakalanya sebuah pujian diucap hanya sekadar menghibur saja, bukan untuk mengungkapkan apa yang terasa di jiwa dengan tulus dan ikhlas. Ketika kau memujiku, apakah memang kau benar-benar memuji atau hanya berucap untuk membuat pipiku merona saja? Kuharap pujianmu itu selalu berdasar di hatimu, tidak ditambah-tambah apalagi dikurangi.

Waktu kurasa semakin merambah tua. Kami berjalan menyusuri kegelapan. Dalam semesta tanpa cahaya ini, kurasakan hangat tubuhnya telah menjalari tubuhku yang kutahu dingin membeku sedingin kesunyian. Apalah yang bisa kami lihat dalam kegelapan—tetapi barangkali kami tidak butuh melihat apa-apa. Kami telah saling mengenal, hingga seluk beluk akarnya. Jika telah begitu, haruskah kami masih memaksa untuk saling melihat dengan cahaya sedang ketika telah lama saling melihat, kami akan cenderung menjadi bosan?

Betapa kami saling mencintai dan memiliki hingga tidak ingin ada di antara kami harus pergi meninggalkan segala yang ada tanpa pernah menoleh lagi ke belakang. Kami saling mencintai, menyayangi, memiliki dan tentunya kami tidak ingin berpisah satu sama lain. Tetapi jika kenyataan berbalik? Apa yang harus kami lakukan untuk mempertahankan cinta kami? Jika memang kami telah berpisah dan tidak akan bertemu lagi seperti sekarang, tanpa cahaya dalam semesta kelam yang tidak terjangkau waktu, maka kami akan hidup kembali dalam kehidupan kami yang baru dan memaksa untuk bersama kembali. Tidak peduli kami terlahir bukan lagi menjadi sepasang manusia, kami akan memaksa untuk bersatu. Tidak peduli apa yang terjadi, karena kami saling mencintai. Itulah janji kami. Itulah hasrat kami pada semesta ini.

“Dapatkah kau menyentuh jiwaku ini dengan kelembutan hatimu sayang?” tanyamu.

Kenapa tidak? Jawabku tanpa berkata.

“Jika bisa, nanti aku akan berkata ‘bawalah aku dengan kehangatan bibirmu’ apakah kau akan melakukannya?”

Aku tidak sempat menjawab dengan kata-kata karena jawabanku aku ungkapkan dengan ciuman terhangatku padanya.

***

Terus terang aku tidak pernah memiliki raga. Jiwaku tidak pernah mempunyai raga yang melindunginya dari terpaan dan godaan. Jiwaku melayang-layang di udara, timbul tenggelam di antara riak air, dan berenang-renang bersama ombak di lautan bisu. Dan barangkali aku juga bisa ditemui di dasar tanah bersama jasad-jasad yang membusuk di pusara. Namun aku akan selalu ada, selalu bertemu denganmu meski tidak memiliki raga. Meski ragaku hanya sebongkah kerinduan yang aku tuangkan pada jiwamu selalu ketika kami bertemu.

“Ucapkan satu kata padaku sebelum aku pergi,” katamu ketika kami akan berpisah.

Apa yang akan kuucapkan padamu? Kata-kataku membeku dan segala yang kurasa telah aku keluarkan padamu.

“Barangkali esok-esok kita tidak akan bertemu lagi. Bukankah takdir tiada yang bisa menerka?”

Apa kelak kita akan berpisah selamanya? Tidak akan bertemu lagi?

“Takdir tidak ada yang bisa menerka. Segala yang terjadi esok adalah misteri.”

Hmm, misteri. Terbuat dari apakah misteri yang tidak bisa diterka itu? apakah misteri akan selamanya tidak bisa dicerna oleh akal dan nalar? Lantas bagaimana untuk mengungkap misteri tersebut?

“Seandainya aku bilang padamu ‘kita akan selalu bersama’ apakah kau akan menerimanya dalam keadaan yang bahagia?”

Betapa tidak? Aku mengangguk.

“Dan seandainya aku bilang padamu ‘kau adalah wanita terindah’ apakah kau juga akan menerimanya dalam keadaan yang bahagia?”

Aku kembali mengangguk dengan kata-kata yang kubahasakan melalui senyuman.

“Dan seandainya lagi aku bilang padamu ‘barangkali esok kita tidak mungkin bersama’ apakah kau akan kembali menerimanya dengan sabar?”

“Barangkali…”

Ya barangkali… barangkali akan kuterimanya dengan sabar dan tetap bahagia. Hmm… barangkali…

Waktu ternyata terus bergulir melenyapkan jam-jam lalu yang terus berputar tanpa terasa. Dan kami tetap bersama…

***

“Sudah waktunya. Maaf saya tidak bisa menolongnya lagi. Tuhanberkehendak lain…”

Isak tangis terdengar. Ruangan serba putih melingkupi peredaran mataku yang berputar-putar. Ruangan serba putih, namun bagiku terhampar kerlap-kerlip lilin yang bernyanyi sunyi. Dan rasanya hanya aku yang bernyanyi sunyi itu. Terdengar isak tangis. Rintihan kehilangan yang begitu mencekam, tetapi tidak kutemukan dirimu. Apakah cinta kami telah dipisahkan lagi oleh waktu dan ajal?

Kubayangkan kelak kami menjelma menjadi apa untuk bisa bersama kembali. Apakah kami akan menjelma menjadi bubuk kopi?

Bandung, 26 September 2009

14.30

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun