Mohon tunggu...
Arief Maulana
Arief Maulana Mohon Tunggu... -

hanya sekadar mengisi kekosongan saja...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jenang Gulo*)

27 Januari 2011   16:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:08 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jenang gulo, kowe ojo lali marang aku iki yo kangmas

Nalikane nandang susah sopo sing ngancani…

Bambang menatap jendela kaca. Kereta yang ia tumpangi sudah sampai di daerah Tegal. Berarti beberapa jam lagi, bila tak ada halangan, ia akan sampai di stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Sudah lama ia meninggalkan kampung halaman, meninggalkan keluarga, juga meninggalkan Asih—istrinya yang tercinta—pergi mengadu nasib di Jakarta. Sepuluh tahun lamanya ia mengejar sesuatu yang selalu dicita-citakan oleh banyak orang yakni kesuksesan dan kekayaan. Baginya, Jakarta adalah tempat untuk mewujudkan impian tersebut. Sepuluh tahun lamanya.

Sudah sepuluh tahun, sudah sepuluh tahun ia meninggalkan Asih dan hanya satu kali saja ia sempat menemui istrinya tersebut. Ia mengingat-ngingat, terakhir kali ia menemui istrinya tersebut sewaktu Lebaran lima tahun yang lalu. Dan pertemuan yang selalu diharapkan oleh Asih dengan penuh keharuan dan kerinduan tersebut tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan Asih selama ini. Bambang ingat, bagaimana ketika pertemuan tersebut hanya menghasilkan sebuah luka yang dalam bagi Asih. Luka yang harus Asih terima atas kesetiaannya menunggunya selama lima tahun. Bambang masih mengingat kejadian itu. Bambang masih ingat bagaimana perlakuannya terhadap Asih kala itu.

Malam semakin beranjak malam. Perjalanan ini dirasakannya penuh dengan perasaan rawan. Kereta api terus melaju menuju Yogya, semakin dekat dengan tujuannya semakin takut pula Bambang untuk bertemu dengan Asih. Asih yang mencintainya, Asih yang merindukannya, Asih istrinya yang paling setia. Akh, seandainya lima tahun yang lalu ia bisa membahagiakan Asih dengan pertemuan yang teramat singkat tersebut, tentu Asih akan berbahagia sekali. Namun, Bambang seakan sudah berubah bukan lagi Bambang yang dulu. Lima tahun yang lalu, ketika Bambang sudah berhasil menjadi orang kaya dan sukses, ia lupa akan semuanya. Ia lupa bahwa Asih begitu tulus mencintainya. Dan kedatangannya lima tahun yang lalu ke hadapan Asih tidak lain hanya untuk menceraikannya. Ia sudah tidak sudi beristri seorang perempuan dusun. Hatinya gelap. Rasa cintanya hilang sama sekali semenjak ia bertemu dengan Frida di Jakarta.

Kini, lima tahun berselang Bambang kembali kehilangan segalanya. Frida, wanita kaya pemilik perusahaan developer, justru memanfaatkan kekayaan Bambang untuk menambah kekayaannya. Setelah Bambang jatuh, perusahaan yang ia pimpin bangkrut dan Frida meninggalkannya begitu saja, ia kembali teringat Asih. Hanya butuh waktu sepuluh tahun saja untuk mengubah keadaan, dari miskin menjadi kaya lalu kembali miskin lagi. Ia begitu bersalah terhadap Asih. Sangat bersalah.

***

Dhek semono aku tetep setyo serta tetep tresno yo kangmas.

Durung nate gawe gelo lan gawe kuciwo

Asih bimbang. Bambang akan kembali dari Jakarta. Entah apa yang kini hendak diperbuatnya. Ia masih ingat, lima tahun yang lalu Bambang telah berubah. Bambang, lelaki lugu yang selalu ia temui di sawah berpeluh keringat dan kulit yang legam, adalah lelaki yang sanggup merebut hatinya. Asih takhabis pikir, apa yang telah diperbuat oleh Jakarta sehingga Bambang yang dicintainya menjadi berubah seperti itu? Seperti apakah rupa Jakarta itu? Pikir Asih.

Lima tahun yang lalu Asih begitu setia menunggu Bambang kembali. Baru menginjak sebulan usia perkawinan mereka, Bambang memutuskan untuk merantau ke Jakarta demi menjadi orang kaya. Sebenarnya ia takingin lelakinya tersebut pergi ke Jakarta. Bahkan ia berniat untuk ikut bersama Bambang namun Bambang menolaknya. Betapa terbebaninya Asih ketika suaminya memutuskan pergi tanpa mengajaknya dan entah sampai kapan Bambang kembali lagi padanya. Ia ingat perkataan Bambang sepuluh tahun lalu yang ia ucapkan di Lempuyangan menjelang malam.

“Cah Ayu, Mas pergi bukan untuk meninggalkanmu, tetapi demi kebahagiaan kita selamanya.”

“Kangmas tidak bahagia bersama Asih di desa?”

“Mas bukan tidak bahagia, mas hanya ingin mengubah hidup saja.”

“Di desa pun kita bisa mengubah hidup kita, mas.”

Bambang tersenyum.

“Aku ingin mencari kebahagiaan kita di kota.”

“Tapi Kangmas…”

“Asih, istriku,” Bambang membelai kepala Asih, “percayalah, aku akan kembali lagi padamu dan kita akan hidup kaya, percayalah pada mas.”

“Kangmas..”

Belum sempat Asih berkata kembali, Bambang harus segera menaiki kereta. Asih hanya bisa melihat Bambang dari kaca jendela dengan linangan air mata. Bambang sempat memberikan kecupan hangat di keningnya sebelum ia pergi menuju barat. Dan Asih pun sempat memberikan sebuah tasbih untuk Bambang agar ia selalu ingat Allah dan dirinya.

Asih yang lugu, Asih yang sendu.

Kecantikannya takkan memudar meski wajahnya selalu pucat selama sepuluh tahun. Sudah sepuluh tahun, sudah sepuluh tahun rasa rindu itu takkan sirna dari hatinya meski lima tahun lalu Bambang berniat menceraikannya tanpa alasan yang jelas. Namun bagi Asih, cinta yang tulus adalah cinta yang selalu terjaga dan tidak akan pernah lekang sampai kapan pun. Cintanya telah utuh menjadi milik Bambang meski ia tahu Bambang telah berusaha membuang cintanya tersebut lima tahun yang lalu. Ia tidak tahu dimana Bambang hendak membuangnya, entah di tong sampah Lempuyangan, di kloset kereta, di Wates, di Brebes, di Cirebon, atau pun di Jatinegara. Ia takkan pernah tahu. Yang ia tahu hanya Bambang dan cintanya. Dan mungkin cintanya itu akan ia bawa mati.

***

Ning saiki bareng mukti kowe kok njur malah lali marang  aku

Sithik-sithik mesti nesu terus ngajak padu

Jo ngono… jo ngono…

Gunung Kidul, malam Lebaran lima tahun yang lalu…

Betapa bahagia Asih mendengar kabar bahwa Bambang akan pulang Lebaran ini. Sudah empat kali lebaran Syawal ia hadapi tanpa kehadiran Bambang, suaminya. Sudah ia siapkan pakaian yang indah, ketupat sayur dan sambal goreng ati kesukaan Bambang, kamarnya yang juga telah ia bersihkan. Ia ingin merasakan lagi kehangatan Bambang yang sudah lima tahun tidak ia rasakan. Ia dengar pula bahwa Bambang kini sudah menjadi direktur. Secepat itukah Bambang bisa menjadi direktur? Allah memang penuh dengan misteri. Bambang, lelaki desa yang tidak punya apa-apa ternyata bisa menjadi direktur. Impiannya telah menjadi kenyataan, dan sudah saatnya Asih menjemput kenyataan tersebut dari Bambang.

Sengaja ia jemput Bambang di stasiun Tugu—kali ini ia naik kereta eksekutif—dengan penuh semangat dan kebahagiaan. Ia sudah merancang bagaimana pertemuannya dengan Bambang kelak, tentu dengan kehangatan sebagai seorang istri yang setia.

Sampai di Tugu ia bingung, begitu banyak lajur kereta di sini. Harus ia tunggu di jalur mana? Asih belum pernah ke stasiun Tugu, ia hanya pernah ke stasiun Lempuyangan. Tentunya stasiun Tugu lebih besar dari Lempuyangan. Untuk pertama kalinya itulah Asih yang lugu mondar mandir di stasiun Tugu mencari kereta Bambang dengan penuh pengharapan.

Ketika terdengar olehnya pengumuman bahwa kereta dari Jakarta akan masuk ke jalur tiga, buru-buru ia mendekati jalur tiga. Ia takingin Bambang sampai tidak melihatnya. Begitu banyak orang yang turun, begitu banyak barang, dan begitu banyak kuli angkut yang menawarkan jasa sehingga pandangannya menjadi terhalang. Asih gugup, khawatir kalau Bambang tidak melihatnya. Di manakah Bambang?

Akhirnya pandangannya menangkap sosok Bambang yang turun dari gerbong ketiga. Sosoknya telah berubah kini, tidak lagi memakai kaos belel dan celana sobek. Bambang yang ia lihat kini sudah memakai kemeja dan pantalon. Sepatunya pun hitam mengilap. Rambutnya disisir rapi dan di tangannya terlihat jam tangan emas. Alangkah gagahnya Bambang sekarang, pikir Asih. Buru-buru dihampirinya Bambang.

“Kangmas Bambang,” sapa Asih lembut.

Bambang terkejut melihat istrinya menjemputnya di Tugu.

“Kenapa kamu jemput aku di sini, Asih?” tanya Bambang gusar.

“Aku ingin melihat Kangmas secepatnya. Aku sudah tidak sabar ingin bertemu Kangmas.”

“Kan di rumah bisa?”

“Aku wis ndak sabar tho Kangmas,” Asih tersenyum malu.

Dengan pandangan tidak suka Bambang berkata.

“Ya sudah, bawakan koper aku!”

Asih pun membawa koper Bambang dengan bahagia. Inilah kali pertama setelah lima tahun bertemu lagi dengan Bambang suaminya. Mereka berdua meninggalkan stasiun dan Bambang memanggil sebuah taksi. Dalam perjalanan pulang Asih menanyai beribu pertanyaan padanya.

“Kangmas gimana tho di Jakarta, betah?”

“Kangmas sudah jadi orang gede. Asih bahagia sekali!”

“Oiya, Kangmas jadi apa di sana? Katanya jadi direktur?”

“Kangmas, aku sudah siapkan makanan enak untuk Kangmas di rumah. Pasti Kangmas suka,” ujar Asih berturut-turut.

Bambang hanya diam saja dengan pandangannya sedari tadi ke luar jendela.

“Kangmas diam saja tho? Kenapa?” tanya Asih sambil memgang bahu Bambang.

“Diam!! Aku capek tahu! Jangan kasih aku pertanyaan yang takpenting seperti itu!!” hardik Bambang.

Asih diam. Ia ingin menangis namun segera ia tahan karena mungkin ucapan Bambang benar. Perjalanan Jakarta-Yogya bukanlah sebentar. Dan Asih yang lugu pun terdiam dengan rasa keterkejutannya atas sikap Bambang yang keras tadi.

Sesampainya di rumah, Bambang seakan risih kembali lagi ke rumahnya yang dulu. Meskipun saat itu ialah saat Idul Fitri, Bambang tetap bersifat angkuh. Keangkuhannya tersebut menjadikan Asih sebagai sasarannya. Ia takubahnya pembantu bagi Bambang sekarang.

“Asih, buatkan aku kopi!” teriak Bambang.

Maka Asih pun segera ngeloyor ke dapur dan membuatkan segelas kopi untuk Bambang tercinta.

Malam menjelang. Burung hantu terdengar di kegelapan malam. Mereka berdua tidur di kamar. Inilah saatnya bagi Asih untuk merasakan kembali kehangatan Bambang setelah lima tahun berlalu. Namun, Bambang sudah bukan lagi Bambang yang dulu.

“Kau kira aku sudi tidur denganmu lagi malam ini?” teriak Bambang ketika Asih memintanya tidur.

Asih yang lugu, Asih yang sendu. Ia hanya bisa menangis mendengar perkataan tersebut.

“Asal kau tahu! Aku kembali ke sini bukan untuk menemuimu! Aku cuma ingin bawa barang-barang dan bilang padamu kalau…”

“Kalau apa kangmas?” potong Asih.

“Jangan seenaknya memotong! Tidak tahu sopan santun!”

Asih terdiam. Pucat pasi.

“Ya, aku ke sini cuma mau bilang kalau aku akan menceraikanmu sekarang! Malam ini kau sudah bukan istriku lagi!”

Terkejut Asih mendengar ucapan Bambang. Jantungnya serasa berhenti. Inikah hasil dari kesetiaannya selama ini? Oladalah, Asih takbisa menerima perkataan Bambang.

“Kenapa kangmas menceraikan aku?” tanya Asih lirih.

“Aku sudah jadi orang besar Sih, masa iya istriku orang kampung? Malu aku!”

Asih takbisa menutupi kesedihannya. Ia hanya bisa menangis dan takpunya daya untuk melawan kehendak Bambang. Lima tahun ia menunggu Bambang kembali, namun bukan untuk dicerai. Ia telanjur cinta terhadap Bambang. Ia tidak ingin berpisah dengan Bambang. Ia tidak ingin dicerai dari Bambang. Ia ingin selalu hidup bersama Bambang, susah atau pun bahagia, meski Bambang kini bukan lagi Bambang yang dulu ia kenal. Sekali Bambang tetap Bambang. Selalu bersama Bambang, meski mati sekali pun…

***

Opo kowe pancen ra kelingan jamane dek biyan yo kangmas

Kowe janji bungah susah padha dilakoni

Kereta api ekonomi tiba di Lempuyangan. Malam semakin beranjak akhir. Bambang keluar dari stasiun dan menyalakan sebatang rokok. Alangkah dinginnya malam. Bambang ingat dulu lima tahun yang lalu ketika ia pulang ke Yogya ada Asih yang menjemputnya. Namun, kini Asih tak kunjung datang. Baru ia sadari betapa besar cinta Asih padanya. Alangkah sunyinya kehidupan Bambang tanpa Asih. Di kota ini, hanya Asihlah wanita yang setia kepadanya. Namun, akh… lima tahun yang lalu…

Bayangan Asih yang begitu kuat menghantui pikiran Bambang akhir-akhir ini. Bayangan tersebut tidak pernah hilang dan terus menghantui kemana pun Bambang melangkah. Setelah harta kekayaan dan jabatannya habis diambil Frida, ia takpunya kekuatan lagi untuk bisa bertahan. Dan wajah Asih yang belum sempat ia ceraikan karena sibuknya pekerjaan Bambang kembali hadir. Asih yang cantik, Asih yang lembut, Asih yang sendu. Seandainya lima tahun kemarin ia bisa membahagiakan Asih, tentu ia tidak akan setakut ini.

Sepanjang perjalanan menuju Gunung Kidul, takhenti-hentinya bayangan Asih yang cantik menghantui pikirannya. Apa yang dilihat adalah sosok Asih. Asih…Asih…Asih… ia terus memanggil dalam batinnya, “maafkan aku Asih,” teriaknya dalam hati.

Dua jam kemudian ia sampai di desanya. Begitu asing kini desa tersebut baginya seakan desa tersebut belum pernah ia tinggali sebelumnya. Sampai di rumahnya ia bingung, banyak sekali orang berkerumun. Orang tua Asih terlihat menangis tersedu-sedu. Ada gerangan apakah yang menyebabkan kedua orang tuanya menangis tersedu-sedu seperti itu?

Banyak sekali orang-orang menyebut nama Asih dengan penuh keharuan. Ia bertanya pada Waluyo, tetangganya yang saat itu muncul di hadapannya sambil membawa batang pisang.

“Asih sudah meninggal tengah malam tadi,” katanya dengan suara lirih pada Bambang.

Bandung, 22 Januari 2011, 20.34

Dengan ingatan yang kuat kepada Yogyakarta

*) Judul dan semua lirik berbahasa Jawa dalam cerpen ini diambil dari lagu campursari Jenang Gulo.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun