Mohon tunggu...
Arief Gununk Kidoel
Arief Gununk Kidoel Mohon Tunggu... lainnya -

"Sejenak Menapak Riuhnya Dunia Maya" ~ penghobi tanaman hias dan koleksi ~ di desa di Gunung Kidul DIY Hadiningrat yang mencoba belajar menulis ~

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mana Ada Maling Mau Ngaku

21 Juli 2011   11:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:30 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mana ada maling mau ngaku. Dimana-mana umumnya maling ya nggak mau ngaku. Menepis tuduhan, mengingkari kenyataan, menolak anggapan: sudah lumrah menjadi pakaian maling. Mulai dari maling jemuran sampai maling kendaraan. Kecuali maling hati. Tidak hanya ngaku, tapi malah menyatakan untuk mencuri hati. Hehe, jadi inget lagu Romo Ono Maling - nya Mus Mulyadi jaman baheula dulu.


Gimana ya ? Kalo dipikir-pikir memang pengakuan itu menakutkan. Banyak resiko dari akibat pengakuan. Punya pasangan selingkuh tapi ngaku ? Waw, bisa ditebak akibatnya. Mending tidak terjadi perang UFO alias piring terbang di dalam rumah. Bahkan yang sudah jelas ketahuan pun masih juga ingkar : mana ada maling ngaku. Lho ? Berarti selingkuh itu bersifat maling alias pencuri ya ? Kan sama-sama takut ngaku . . . He he he.


Karena itu diperlukan pengacara atau pembela hukum untuk penjahat-penjahat yang tertangkap. Tujuan mulanya pengacara bisa jadi untuk membela hak-hak terdakwa saat menghadapi tuntutan jaksa. Mungkin begitu, ahli hukum yang lebih tahu. Tapi perkembangannya, bisa lho pengacara atau pembela hukum ini menjadi jalan bagaimana caranya agar penjahat bisa bebas hukum. Minimalnya negosiasi agar di penjara nanti bisa dapat penjara mewah yang bebas keluar masuk. Hehe... Asas persamaan di depan hukum apakah berlaku juga untuk persamaan perlakuan di dalam penjara ? ( Sebuah potret buram ).

Hanya bisa jadi lho . . Toh saya bukan praktisi hukum dan atau ahli hukum.


Pengingkaran, mengelak dari tuduhan, menangkis tuntutan : menjadi makanan sehari-hari. Apalagi kalau yang sedang merintis karir, kasus pun bisa jadi harus beli. Siapa tau . . . .


Mana ada maling mau ngaku. Mana ada koruptor bertepuk dada, berbesar hati, dan bertanggung jawab atas semua tindakannya. Mana ada politisi tak pandai silat lidah, berjiwa besar menyatakan pengakuan untuk suatu kesalahan, mungkin dikecualikan ada pistol menempel di kepalanya, baru terpaksa bungkam seribu basa. Bisa-bisa malah maling teriak maling.


Pengakuan, memang terasa perih jika dilaksanakan. Tentunya terutama untuk yang memang melakukan kesalahan. Sebisa mungkin membantah, mengelak, menepis, atau bahkan mengandalkan kata sakti: "itu fitnah".


Setelah itu semuanya menjadi kabur, buram, temaram.... Dan berbagai kasus mengalir hilang ke laut atau sembunyi di bunker-bunker aman semacam Singapura. Seluas apa sih negara itu ?


Muak disuguhi kemunafikan. Memangnya ada makanan yang bernama "kemunafikan" ? ?

Terus mau apa ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun