Siang-siang rampungan kandang, eh... Ada tamu datang. Tumben, lama tak bertemu. Bolehlah kalau mau ngobrol-ngobrol. Di sini saja. Sambil mendengarkan cuit cuit dan gaduhnya burung puyuh mematuk-matuk makanan.
Datang jauh-jauh sekitar 8 km dari tempat saya. Ternyata memang ada kepentingan. Setelah serah terima. Urusan selesai. Terus tema pembicaraan berganti-ganti tidak jelas. Ngalor ngidul. Ke utara ke selatan. Tergantung mood.
Dari berbagai ngalor ngidul. Ada satu yang menarik dari ceritanya. Bagi saya menarik. Entah bagi yang lain. Yaitu tentang pemberantasan riba dari bunga bank. Hehe, baru kali ini saya dengar. Walaupun mengenai pembahasan tentang riba. Sudah dari dulu. Tidak ada habisnya.
Tapi yang ini lain. Karena itu menjadi menariknya.
Di desa tempat tamu saya itu datang. Mendapat warga baru. Karena pernikahan. Sementara tinggal di situ. Walaupun nglaju juga desa - kota.
Beberapa minggu tinggal di desa itu. Ternyata menjadi heboh.
Nah, di sinilah informasi menarik itu berasal.
Berdasar cerita dari tamu saya itu. Si mantu warga baru pendatang dari kota, ternyata seorang ustad. Atau mirip ustad lah. Memberi ceramah, menjadi khotib, mengisi pengajian, sudah biasa.
Secara akademis ataupun latar belakang pendidikannya tidak diceritakan. Namun salah satu ajarannya, adalah tentang haramnya bunga bank sebagai riba. Baik itu dari tabungan, maupun modal usaha. (Wah, kali ini kena saya sangat dalam. Hahaha)
Namun warga baru yang ustad itu terlihat konsekuen dengan ajarannya. Terutama tentang haramnya riba. Berdasar cerita dari tamu saya itu, sudah lebih dari dua RT di sekitar sana, siapapun yang punya pinjaman bank, dilunasi oleh warga baru itu. Seolah levering, pengangsuran dialihkan ke sang ustad, tapi tanpa bunga sedikitpun. Besarnya pinjaman, sesuai dengan jumlah pelunasan.
Hebat. Saya bilang begitu. Mengharamkan, tapi tanggung jawab. Sehingga yang punya usaha tetap bisa jalan, mengikuti ajarannya. Bahkan dari pelunasan itu, selanjutnya tidak dianggap sebagai kerjasama syirqoh bagi hasil.
Wow... Menggiurkan.
Tentu, saya mau juga seperti itu. Hehehe... Maksudnya mau, tapi jadi pihak yang dilunasi. Bukan pihak yang jadi ustad dermawan. Memangnya saya milyarwan...
"Pinjaman saya pengen juga dilunasi. Kapan saya bisa bertemu dengan beliau?" Tanya saya dengan penuh antusias.
"Wah, kalau njenengan apa ya mau?" Tamu saya balik bertanya. (Njenengan = anda)
"Siapa yang tidak mau kalau seperti itu!" Kata saya dengan dobel antusias.
"Syaratnya, jadi pengikutnya. Ya ajaran-ajarannya. Aneh lho, mas." Tamu saya menegaskan.
Kurang mendetil memang ceritanya. Tapi sedikit dijelaskan, salah satu ajarannya, yaitu tidak boleh membawa oleh-oleh makanan kalau bertamu. Pakaian, juga jenggot, kumis, rambut, ada aturannya.
Waduh. Tak pikir-pikir dulu saja kalau begitu. Bukan masalah ajarannya. Tapi mengatur tentang pakaian segala. Wah, upamanya pinjaman saya dilunasi, tapi selanjutnya harus pakai pakaian yang saya tidak sreg. Hehe... Ya nanti dulu. Jangan grusa grusu tergiur pemberantasan riba bunga bank.
Sampai tamu saya itu pulang. Masih jadi pikiran juga. Pilih hutangnya hilang dilunasi, tapi ganti pakaian. Atau, tetap punya hutang, tidak ganti pakaian.
Kira-kira bisa dinego tidak ya, tidak usah ganti pakaian, tapi pinjamannya dilunasi? Sepertinya tidak mau.
Wah, kenapa tidak ada tokek bunyi ya. Tokek. Tokek. Mau. Tidak. Mau. Tidak. Tokek. Tokek.
Biarpun seperti itu, tidak lantas menelan cerita begitu saja. Mengingat pepatah bahasa jawa "sakdawa-dawane lurung, isih dowo gurung", yang artinya sepanjang apapun jalan, masih lebih panjang tenggorokan. Terkadang sering, cerita bisa lebih dari kenyataan. Entah, bagaimana yang sebenarnya. Saya belum pernah bertemu ustad itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H