Mohon tunggu...
Mohamad Arief
Mohamad Arief Mohon Tunggu... -

Marine Surveyor

Selanjutnya

Tutup

Nature

Tantangan Kapal Tangki Minyak Lambung Tunggal di Indonesia Tahun 2010

22 Oktober 2010   07:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:12 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Indonesia merupakan satu-satunya negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau. Untuk menggerakkan roda ekonomi di Indonesia, satu-satunya moda transportasi yang paling ekonomis adalah dengan transportasi laut menggunakan kapal. Salah satu komoditas yang harus didistribusikan ke seluruh Indonesia adalah Minyak, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun untuk kebutuhan Industri.

Sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan No. 66 / 2005 dimana dalam keputusan tersebut, pemerintah telah meratifikasi ketentuan International Convention for The Prevention of Oil Pollution from Ship, 1973. Konvensi internasional tersebut mengatur mengenai larangan beroperasi bagi kapal minyak dengan lambung tunggal (Single Hull Tanker). Konvensi tersebut berlaku sejak 5 April 2005. Konvensi tersebut berlaku bagi tiga kategori SIngle Hull Tanker, berdasarkan bobot mati dan jenis minyak yang dibawanya, yang pada intinya bahwa konvensi ini berlaku bagi kapal-kapal dengan bobot mati di atas 5.000 DWT. Bagi ketiga kategori tersebut, tahun 2010 adalah batas terakhir berlakunya konvensi tersebut.

Pada Keputusan Menteri No.66/2005, pelarangan beroperasinya kapal-kapal SIngle Hull Tanker tidak dibatasi bobot mati minimal, sesuai dengan konvensi internasional seharusnya berlaku bagi kapal dengan bobot mati 5.000 DWT. Pada Kepmen tersebut tercantum bahwa, bagi setiap kapal tanki minyak lambung tunggal diwajibkan adanya Penilaian Kondisi Kapal (Condition Assesment Survey / CAS) dimulai dari tahun 2010.

Satu pertanyaan besar bagi pelaku industri pelayaran di Indonesia adalah bahwa Kepmen ini tidak sejalan dengan konvensi Internasional, dan hal ini berdampak bagi pelaku industri pelayaran di Indonesia. Dari sisi pelaku industri pelayaran terkena dampak dua kali, yang pertama, bahwa kapal-kapal tanker lambung tunggal sudah tidak bisa lagi beroperasi di perairan Internasional, yang kedua, pemerintah Indonesia melalui Kepmen tersebut semakin mempersulit posisi perusahaan pelayaran.

Langkah yang seharusnya ditempuh oleh industri pelayaran adalah mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang Kepmen No.66, minimal pemberlakuan Kepmen tersebut mengacu Konvensi Internasional yang hany berlaku bagi Single Hull Tanker dengan bobot mati di atas 5.000 DWT. Bagi pemerintah, seharusnya juga lebih peka, bahwa dengan diberlakukannya Kepmen tersebut dengan sendirinya akan lambat laun mem"bunuh" industri pelayaran secara tidak langsung.

Mohamad Arief

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun