Mohon tunggu...
Arief Kurniawan
Arief Kurniawan Mohon Tunggu... -

Wartawan Tabloid Bola yang akrab dipanggil "Kumis" ini sering diminta menjadi komentator F1 karena pengamatannya yang jeli. Setelah melanglang buana meliput F1 kini dia lebih banyak mengurusi pengembangan produk turunan Bola.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rejeki Gak Lari Ke Mana

23 Oktober 2008   07:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:25 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rejeki atau rezeki? Biar kata di kamus yang benar adalah rezeki, tapi lidah lebih enak dan lebih sering bilang rejeki. Kalau ada idiom rejeki gak lari ke mana, sekarang ini pun sedang berlaku di F1. Mungkin saya runutkan dulu peristiwa-peristiwa dalam 10-15 tahun terakhir berkaitan dengan ini. Beberapa pembalap yang saya ceritakan nanti sempat "dicoba kekuatan imannya" sebelum akhirnya dia mendapatkan apa yang semestinya dia dapat.

Michael Schumacher 1994
Ada beberapa peristiwa kontroversial pada tahun di mana Ayrton Senna mangkat ini. Schumi yang sudah unggul poin jauh sejak awal musim, lalu dua kali didiskualifikasi dari lomba, di GP Inggris dan Belgia. Di Inggris gara-gara melanggar regulasi formation lap dan di Belgia karena menggunakan peranti ilegal. Bahkan, dampak dari black flag di Inggris itu Schumi lantas mendapat hukuman tambahan berupa 2x tak boleh ikut GP. Tim Benetton yang dibela Schumi protes karena hukuman itu tak setimpal dengan kesalahannya. Bagi mereka, jelas ini hukuman terberat bagi seorang Schumi yang sedang berebut titel dunia untuk kali pertama. Walau Schumi merebut titelnya juga dengan kontroversial karena bertabrakan dengan Damon Hill pada seri terakhir di Australia, tetap saja usaha dia yang membangun prestasi hebat sejak awal musim (bahkan sebelum Senna tewas) layak dihadiahi titel dunia.

Jacques Villeneuve 1997
Sama seperti Schumi 1994. Villeneuve telah membangun kekuatannya sejak awal musim. Memasuki dua seri terakhir, ia diharuskan pada kondisi poinnya terpangkas karena berbagai sebab. Pembalap Kanada ini bahkan sempat memaksakan ikut GP Jepang sambil berharap poin yang didapatnya akan tetap berlaku. Kenapa? Karena saat itu ia balapan "under appeal". Ia sudah tahu sedang disorot FIA karena beberapa kali mengabaikan bendera kuning. Ia sudah diperingatkan, tapi mengabaikannya. Akhirnya ia di-ban tak boleh ikut 1 race dengan catatan kalau melanggar sekali lagi pelanggaran. Celakanya, ia dianggap melakukan itu lagi di Jepang. Tim Williams yang menaungi Villeneuve tahu ini bahaya bagi jagoannya. Tapi Williams akhirnya melakukan appeal, walau kemungkinan besar banding itu ditolak FIA. Dan benar, Villeneuve yang dapat 2 poin di Jepang akhirnya kehilangan poin itu akibat appeal Williams ditolak. Villeneuve yang sempat unggul jauh dalam perolehan poin berangkat ke seri terakhir di Jerez malah tertinggal 1 poin dari Schumi. Balapan kontroversial di Jerez, di mana Schumi menabrakkan mobilnya ke mobil Villeneuve, adalah tanda awal rejeki Villeneuve. Schumi kandas, Villeneuve terus melaju dan mendapat poin cukup untuk kemudian jadi juara dunia.

Mika Hakkinen 1999
Perjalanan Hakkinen meraih double champion tersendat. Jika pada 1998 dia mulus, maka menjelang akhir musim 1999 kerikil terhampar akibat kasus Ferrari di GP Malaysia. Walau Ferrari finis 1-2 di Malaysia setelah Schumi comeback pasca-patah kaki, tapi steward kemudian menganggap mobil mereka ilegal. Serta merta hasil finis 1-2 Eddie Irvine-Schumi itu batal, namun Ferrari appeal. Kalau batal, berarti Hakkinen dan McLaren otomatis jadi juara dunia pembalap dan konstruktor. Namun, dalam appeal beberapa hari kemudian, FIA secara kontroversial menyetujui banding Ferrari dan menganggap mobil Ferrari di Malaysia legal. Mereka bahkan justru menyalahkan bahwa merekalah yang salah di Malaysia dalam menggunakan ukuran sehingga mobil Ferrari waktu itu dianggap ilegal. Seri terakhir di Jepang jadi tempat Hakkinen memburu Irvine dengan defisit 4 poin. Hakkinen butuh menang karena itulah satu-satunya cara ia jadi juara dunia lagi. Dengan tanpa kontroversi Hakkinen akhirnya memang menang, Schumi kedua, Irvine ketiga.

Fernando Alonso 2006
Alonso dan Renault benar-benar keringat dingin sepanjang 2006. Masalahnya, secara teknis dan nonteknis mereka menghadapi lawan berat: Schumi dan Ferrari. Bagaimana tidak, mobil Renault yang sudah kencang sejak awal musim tiba-tiba dianggap bermasalah dengan mass damper-nya (semacam ballast/pemberat yang bisa menjadi penyeimbang mobil). Mass damper itu akhirnya tak boleh dipakai lagi pada beberapa seri terakhir 2006. Belum cukup, Alonso diteror di Monza, kandang Ferrari. Pada sesi kualifikasi ia yang ada di depan sekitar dalam jarak ratusan meter dianggap memblok Felipe Massa, teman Schumi di Ferrari. Alonso kena hukuman dan ia menerimanya dengan tertawa geli. Schumi jelas tertolong karena Alonso start dari belakang dan bahkan di race pembalap Spanyol itu rontok di mana Schumi menang. Namun dalam perburuan titel berikut di antara dua pembalap ini, Schumi ketiban sial. Di Jepang terjadi peristiwa sebaliknya, mesin mobil Schumi meledak dan Alonso menang. Alonso pun tinggal mengamankan poinnya pada seri terakhir di Brasil. Schumi pensiun dan Alonso mendapatkan haknya: juara dunia, meneruskan pencapaian 2005. Renault juga jadi juara konstruktor biar sudah dipaksa untuk mengurangi kekuatannya.

Lewis Hamilton 2008
Ini memang belum terbukti, namun kayaknya (dan selayaknya) Hamilton meraih impian akibat penampilan hebatnya: juara dunia, sekaligus termuda sepanjang sejarah. Masih ada 1 seri lagi memang, tapi keunggulan 7 poin atas Felipe Massa tampaknya akan membuat Hamilton belajar banyak dari tahun lalu. Kondisi memang sama, Hamilton unggul 7 poin atas musuh dari Ferrari (Kimi Raikkonen). Bedanya, tahun lalu Hamilton punya musuh dalam selimut pada diri Fernando Alonso. Kini tidak lagi. Heikki Kovalainen akan mendukungnya habis-habisan. Tapi, sesungguhnya, Hamilton sudah menggenggam titel itu sebelum seri terakhir di Brasil digelar tahun ini. Kemenangannya di Belgia dirampok, gara-gara FIA menganggap ia mengambil keuntungan akibat memotong chicane. Banding McLaren ditolak dan Hamilton akhirnya dianggap finis di urutan 3. Banyak pengamat menganggap keputusan FIA itu kejam karena Hamilton membalap dengan fair dan sudah memberikan kesempatan Kimi untuk mendapatkan haknya setelah ia memotong chicane itu. Seperti kasus-kasus sebelumnya di atas, pembalap yang dizalimi akan menjadi mereka yang tertawa terakhir. Saya yakin, itu akan terjadi pada Hamilton tahun ini. Tapi sabar ya, tunggu hasil GP Brasil...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun