Mohon tunggu...
arief hafidiyanto
arief hafidiyanto Mohon Tunggu... -

bekerja sebagai instruktur ketenagakerjaan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Kartini", Film Jempolan Tahun Ini

28 April 2017   17:01 Diperbarui: 28 April 2017   17:06 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Kartini”, Film Jempolan Tahun Ini

Sangat sedikit film Indonesia yang mampu menggetarkan hati serta membuat penonton larut secara emosional.  Untuk “Kartini” besutan Hanung Bramantyo ini, lain. Saya pikir tak cukup diberi dua jempol.  Saking bagus tentunya.

Bolehlah di awal penayangan perdana, muncul berita tak sedap tentang ulah bintang utamanya yang kurang senonoh melayani penggemar. Atau imej bahwa film bergenre biopic hanya akan mambuat penonton lelah mata di kegelapan gedung bioskop. Sehingga hingga kini jumlah penontonnya menjadi kalah dibanding film-film Indonesia populer yang belakangan ini beredar.  Namun meski berdurasi relatif panjang (2 jam 2 menit), penonton yang jumlahnya tidak melebihi seperlima kapasitas, tak beringsut dari kursinya. Bahkan sebagian rela menangis bombay.

Selain didukung artis-artis dengan kemampuan akting papan atas dan penulisan alur cerita yang prima, maka kemampuan penyutradaraan Hanung juga menunjukkan kelasnya. Semua adegan seolah-olah tertayang  tanpa sia-sia. Kisah sedih pemingitan, hasrat kuat kartini untuk mempelajari dunia modern, serta perbenturan dengan tradisi dan agama, semua diungkapkan dengan mengharu biru. Dan dari sekian itu, sesi konflik batin Kartini dan ibu kandungnya menurut saya tergambar paling “makjleb”.

Jauh sebelumnya, tahun 1982, Sjuman Djaja pernah membuat film serupa, “R.A. Kartini”. Namun sebagaimana diketahui bersama, kebanyakan film di masa itu memiliki gaya dialog formal serta terkesan kurang natural. Penggambaran sosok Kartini pun dibatasi “pagar-pagar” mengingat ia pahlawan nasional.  Film Kartini yang sekarang, tidak. Dia sosok perempuan Jawa yang tampak luarnya patuh dan kalem, tetapi tampak dalamnya pemberontak dan nakal layaknya remaja belasan tahun.  

Sebelumnya saya tak pernah bercapek-capek ria menulis tentang sebuah film. Biasanya setelah sebuah film bagus saya tonton, cukup ceritakan ke teman sejawat saja. Yang ini kuputuskan tidak. Bukankah berbagi kesan positif itu juga ibadah?

Namun sebagai penikmat film bernuansa masa lalu, saya rasakan masih ada kekurangan dalam film ini. Salah satunya mengenai penggambaran setting lokasi. Kurang berani menampilkan wajah kota saat itu. Tetapi harap maklum mengingat bila dipaksakan, akan berbanding lurus dengan kenaikan biaya produksi. Jadi biarlah kekecewaan itu terpendam saja.  Juga tentang akhir hayat Kartini yang tidak sampai setahun setelah waktu pernikahannya, tidak tergambarkan. Seolah bukan menjadi bagian dari pazel cerita. Padahal Kartini meninggal hanya beberapa hari setelah kelahiran anak pertama sekaligus terakhirnya.  

Terlepas dari kekurangan, “Kartini” merupakan film sejarah yang tidak sekedar menonjolkan kilasan peristiwa, tetapi sebuah kisah pergulatan hidup yang layak menjadi hikmah. Kalau sudah begini, masih adakah yang enggan untuk menyempatkan diri ke bioskop guna mengapresiasinya? Bila anda termasuk yang merindukan film Indonesia berkualitas, mestinya tidak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun